Shabrina mengaduk makanannya dengan ganas sambil sesekali melirik Arsyad yang terlihat sangat akrab dengan kedua orangtuanya. Mereka bertiga seperti teman lama yang baru bertemu kembali setelah berpisah selama berpuluh-puluh tahun. Kesal dengan laki-laki menyebalkan di depannya ini, Shabrina akhirnya memutuskan untuk tidak menyentuh makanannya dan menyilangkan sendok beserta garpunya di atas piringnya. Tindakannya itu membuat kedua orangtuanya, juga monyet iblis di depannya itu mengerutkan kening dan menatap ke arah piringya yang masih terisi penuh, tanpa ada satu butir nasi pun yang masuk ke dalam mulutnya.
“Makanannya kok nggak dimakan, Sayang?” tanya mama Shabrina lembut. Shabrina harus menahan diri untuk tidak mendengus kepada mamanya. Biar bagaimanapun, Shabrina tidak pernah bersikap tidak sopan terhadap orangtuanya. Namun ternyata butuh self control yang sangat kuat untuk tidak melakukan hal tersebut, mengingat ada iblis berbentuk manusia di hadapannya.
“Shabrina lagi nggak lapar, Mah,” dusta gadis itu sambil memaksakan seulas senyum. Kerutan di kening mamanya semakin terlihat jelas.
“Loh, tumben… biasanya kamu paling lahap kalau udah ada bakwan jagung sama sate ayam. Itu kan, makanan kesukaan kamu, Sayang….”
Shabrina melirik ke arah Arsyad yang terlihat sangat jelas tengah menahan senyumnya. Selagi perhatian orangtua Shabrina terpusat pada anak gadis mereka, Arsyad mengangkat sebelah tangannya yang menggenggam gelas ke udara, dengan maksud mengajak Shabrina untuk minum. Shabrina yang sudah tahu kelakuan musuhnya itu hanya bisa mendesis pelan ketika sadar bahwa saat ini laki-laki itu tengah mengoloknya secara tidak kentara.
“Shab… kok ngelamun?”
Suara berat papanya membuat Shabrina tersentak dan cepat-cepat menggeleng. Gadis itu meminum air jeruknya perlahan lalu bangkit dari duduknya.
“Pah… Mah… Shabrina ke taman belakang dulu, ya? Nanti Arsyad ngajarin Shabrina nya di taman, aja, disana udaranya segar.”
Tanpa menunggu balasan dari orangtuanya, Shabrina langsung pergi meninggalkan meja makan, menuju taman belakang rumahnya.
Sesampainya di taman, Shabrina langsung menghentakkan kakinya ke rumput sambil menggeram tertahan. Gadis itu mengatur deru napasnya dan menarik napas panjang lalu membuangnya. Kemudian, Shabrina meraih ponselnya dari saku celana, menekan angka satu, dan menunggu nada sambung untuk seseorang yang saat ini akan diteleponnya. Belum lagi orang yang ditelepon mengucapkan salam pembuka, Shabrina dengan cepatnya langsung berseru.
“Lo mendingan cepat datang ke rumah gue, sebelum gue jadi sarap dan gila!”
Victor mengerutkan kening ketika mendengar nada keras dari mulut sahabatnya itu. Laki-laki itu menutup novel yang tengah dibacanya, memindahkan ponselnya dari telinga kanan ke telinga kiri dan melangkah mendekati jendela kamarnya.
“Lo kenapa, sih, Shab? Lagi PMS?” tanya Victor polos. Karena, terus terang saja, Shabrina selalu bertingkah aneh dan menyebalkan, hingga sanggup membuat Victor kelimpungan karena emosi gadis itu yang tidak stabil, saat gadis itu sedang mengalami PMS.
Mendengar ucapan Victor, Shabrina kontan meradang.
“Nggak usah sok tau, deh, Vic! Gue lagi nggak bercanda, sekarang!” desis gadis itu kesal. Victor makin bingung. Laki-laki itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan mendesah berat.
“Terus elo lagi kenapa sekarang, hmm?” tanya Victor sabar dan lembut. Entah kenapa, Victor tidak pernah bisa untuk marah pada Shabrina, meskipun gadis itu kadang selalu marah-marah padanya dan melampiaskan kekesalannya pada Victor.
KAMU SEDANG MEMBACA
BESTFRIEND AND ENEMY
Novela JuvenilShabrina Elvariana dan Victor Daniel Pradipta sudah bersahabat semenjak keduanya duduk di bangku SMP. Keduanya sangat dekat sampai-sampai semua orang yang melihat mereka berdua akan menganggap mereka berpacaran. Tanpa disadari, Shabrina ternyata sud...