Janji

25 0 0
                                    

Sore yang sangat nyaman untuk bermain. Anak-anak mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ada yang sedang menuruni perosotan, naik-turun di atas papan jungkat-jungkit, atau sedang berayun di ayunan yang tergantung di pohon.

Tidak jauh dari sana, gadis kecil berambut gelap itu tengah sendirian, jongkok di samping taman. Gadis kecil itu menggunakan tangannya untuk mengorek tanah. Dia terlihat begitu fokus dengan yang dikerjakannya. "Uhm, mana ya?" gerutunya.

Sedetik kemudian, seorang anak laki-laki datang mendekatinya. Mata biru laki-laki itu melebar memandangi tingkah si gadis. Gadis kecil sendiri tak menyadari bahwa dirinya tengah diperhatikan dari belakang, dia tetap fokus mengorek tanah.

Si bocah lelaki mendekatkan diri lebih dekat. Dia kini tepat di belakang si gadis. Dia menelengkan kepalanya sedikit ke kiri sembari membungkuk badan. Mengamati dan masih keheranan.

Gadis kecil itu menjulurkan lidah hingga ujung lidahnya muncul dari sudut bibir sebelah kanan, dia menggigitnya. Ya, begitulah raut muka gadis polos ini ketika serius. "Emm, di mana ya?" rengeknya lagi. Suaranya bergetar.

Si bocah lelaki tersenyum. Dia tahu, gadis di hadapannya ini pasti mencari sesuatu yang sangat penting baginya. Kalau dilihat-lihat, gadis ini tak memakai kucir rambut berwarna kuning pemberiannya, kenapa? Apa mungkin gadis itu sedang mencari kucir rambut hadiah si bocah lelaki?

Kemudian senyum si bocah lelaki semakin lebar.

"Utena!" Si bocah lelaki menepuk keras kedua pundak si gadis, di saat yang sama, si gadis melompat dari tempatnya karena kaget.

"Kudo! Kamu mengangetkanku!" kesal si gadis saat menoleh dan memandangi bocah laki-laki. Tangannya mengepal di samping paha, dan dahinya mengerut saat si bocah lelaki tak tahu diri itu malah asik tertawa.

"Jangan tertawa, kamu ini jahat sekali." Si gadis menunduk, matanya berkaca-kaca. Ingin menangis bukan karena sudah dijahili sahabatnya, tapi karena malu. Malu akibat si gadis sebetulnya jarang bicara dengan nada keras. Ini pertama kalinya. "Jahat sakali, aku ... hiks," suara tangisnya mulai keluar.

"Ehh," si bocah lelaki sontak kebingungan. Dia tak menyangka, Utena, gadis itu, akan menangis akibat ulahnya. "Maaf Ena, aku tidak bermaksud—"

Kemudian suara tangis Utena meledak sebelum Kudo menyelesaikan kalimatnya. semua anak yang ada di sana berhenti melakukan aktifitas bermain, kepala mereka berputar ke satu titik. Mata mereka memandang dengan tatapan menuduh ke arah Kudo. Lantas bocah laki-laki itu hanya bisa terperanjat mengetahui dirinya sedang disalahkan oleh semua orang. Tak mau lama-lama disalahkan, Kudo buru-buru menarik tangan Utena menjauh.

Utena menurut saja akan dibawa kemana, dia dengan satu tangannya mengucek mata yang berair, terus mengikuti langkah Kudo. Sampai di belokan, Kudo memilih bersembunyi di sana. Di belakang gedung Sekolah Dasar.

"Ena, sudah jangan menangis. Aku kan cuma mengangetkanmu. Aku sebenernya tak bermaksud membuatmu menangis." Kudo mencoba menjelaskan. Tapi gadis itu terus menangis.

"Ena, tolong berhenti menangis, kau ini sudah tujuh tahun." Usahanya ternyata sia-sia, Utena masih menangis bahkan sekarang lebih kencang suaranya. Kudo segera memutar otak cerdasnya, dia memandangi mulut mewek gadis sebaya di hadapannya itu.

"Aku harus menghentikan tangisannya sebelum guru datang dan menyalahkanku!" pikir Kudo dalam hati. Sekali lagi mata biru miliknya memandangi bibir Utena. Sedetik setelahnya dia meneguk ludah. "Aku harus melakukannya!"

Dengan cepat, Kudo menyingkirkan kedua tangan Utena yang menghalangi muka. Kudo segera mengambil kesempatan itu untuk memajukan kepalanya ke kepala Utena. Sejenak, Utena menyadari sesuatu yang aneh, tangisannya pun berhenti. Matanya membulat tajam saat melihat muka Kudo kian dekat dengannya. Dia bingung, tapi hanya diam. Hingga ciuman itu terjadi.

BeastWhere stories live. Discover now