8: Cahaya

2.9K 366 5
                                    

     Iya, gue sadar, kok.
Selama ini gue nganggep gue paling tersiksa,
Paling sengsara,
Paling menyedihkan.
Padahal nggak.

     Gue pengen jadi ilmuan. Biar bisa menciptakan mesin waktu, bawa gue ke masa dimana awal debat gue sama Rista.
Gue pengen bilang ke dia saat itu:
"Kalo lo nyuruh gue ngehitung semua bintang di langit, asal karena itu lo mau maafin gue, gue lakuin, Ris."

***

Hujan gerimis seakan menjadi saksi bisu peristiwa ini. Hawa dingin yang menusuk kulit juga menjadi saksi buta.
Hilang sudah kesabaranku. Barusan, hendak aku berkata "Oh, apa maksud pelukan barusan? Kalo mau nusuk gue, langsung tusuk aja."

"CUKUPP!!!" Teriak Rista tiba-tiba. Membuatku, dan yang lainnya hening. Aku menggigit bibir, menahan tangis, dan sangat amat ingin hilang sekarang. Aku capek.

"Jangan coba-coba buat gue benci sama kalian karena kalian benci sama sahabat gue."
Sahabat Ris? Setelah perlakuan lo ke gue selama ini, dan lo masih nganggep gue sahabat? Lelucon lucu.

"Jangan sampe lo buat gue terbawa permainan gue ini sendiri!"

"DIEM! URUSAN GUE SEKARANG SAMA ALEA YEMENIA MAULIDYA, BUKAN SAMA LO, DETANYA ALIFYA ARISTA!" Bentak Andina, yang sekarang menatapku sinis.

"Gue minta maaf.." Ujarku pelan,
Andina yang menatapku sinis, kini menatapku bingung. Begitu pula dengan Rista, Kamila, dan Alicia.

"Kalian bilang gue egois, iya gue egois.
Gue semaunya sendiri, iya gue semaunya sendiri.
Gue aneh, iya gue aneh."

"Dan atas nama beribu dosa yang telah gue lakukan, gue minta maaf," Rista terlihat bingung, menatapku dalam-dalam.

"Gue tau, dengan permintaan maaf, gelas pecah ga akan balik lagi seperti semula."

"Maafin gue," Aku meraih tangan Andina yang saat itu membeku, bingung, tak percaya. Tapi aku tetap memegangi tangannya yang dingin.
Andina tidak melepas genggamanku, aneh, gumamku dalam hati.

Andina membalas tatapanku. Tapi kali ini tatapan yang berbeda keluar dari sorot matanya,
"Iya gue juga minta ma.."

"PENDUSTA!" Teriak Khansa tiba-tiba.
Membuat seluruh pasang mata melirik kehadirannya disana; dengan napas yang belum stabil, dan tatapan kebencian yang serius ditujukan pada Andina.

"DIA BOHONG YAK! DIA BOHONG! DIA CUMA MANUSIA RENDAHAN YANG KEJAM! JANGAN PERCAYA SAMA DIA! PERMINTAAN MAAF DARI MULUTNYA YANG KOTOR ITU CUMA ILUSI, TAK NYATA!" Khansa langsung mendorongku mundur, membuatnya berhadapan langsung dengan Andina. Aku terbelalak kaget melihat tingkahnya yang begitu aneh, buas, seperti Andina telah melakukan hal yang merusak hidupnya.

Setiap orang menatapnya kaku. Kebingungan menyelimuti kami sekarang.

PLAKK!!
Tangan kanan Khansa menyambar pipi Andina. Iya, dia menamparnya.
Kami terbelalak kaget, tak percaya apa yang telah terjadi di depan mata kami. Bingung, dan takut. Apalagi Andina, dia bingung.

"Awh!" Andina merintih kesakitan, memegangi pipinya yang masih merah-merah, bekas tamparan Khansa.

"Dulu, gue deket sama lo. Dulu, lo nganggep gue sahabat lo. Dan nyatanya apa? Gue seakan-akan babu lo untuk nyampein rencana busuk lo! Gue dari dulu berusaha mendem rapet-rapet, Na, kalo gue itu capek, gue capek jadi jahat. Gue dari dulu pengen bilang lo kalo lo itu salah, tapi lo seakan-akan nganggep gue sampah saat itu. Lo dari dulu ga suka sama Alea kan? Gue tau, Na! Gue tau, lo benci sama dia, padahal dia ga berbuat salah apa-apa ke lo,"

"Dan suatu hari lo nyuruh gue untuk deketin Alea, buat dia seneng, pura-pura jadi sahabat dia. Dan gue lakuin. Gue sadar, gue seneng deket sama dia, gue udah nganggep dia temen deket gue. Diapun juga gitu ke gue. Andina, lo harusnya sadar. Dan setelah gue nyaman sama Alea, Rima, Aisyah, lo ngancurin semuanya."

"Lo kira ini menyenangkan? Lo kira ini lucu? Orang lain sakit hati karena lo, dan lo masih nganggep ini lucu?"
Andina hanya bisa diam, seakan-akan telah bisu, kalah telak karena apa yang dikatakan Khansa adalah fakta.

     Hujan telah reda, cahaya terang memasuki bangunan sekolah melalui celah-celah jendela. Meskipun jenda ditutup rapat, cahaya itu masih memaksa masuk, cahaya itu memaksa menjadi saksi nyata kejadian barusan ini.

"Gue ga suka Na, gue ga suka lo nganggep Alea sebagai titik hitam hidup lo. Iya, putih itu terbentuk dari campuran semua warna, kecuali warna hitam, lo nganggep dia titik hitam kan?"

"Alea!" Rima dan Aisyah keluar dari bilik pintu, memelukku tiba-tiba.

"Khansa marah besar," bisik Aisyah pelan, aku hanya meresponnya dengan anggukan pelan. Aku sudah tau ini akan terjadi, semuanya terbawa dalam permainan ini masing-masing, batinku.

     Angin kencang masuk melewati celah-celah jendela, menemani cahaya yang telah masuk sebelumnya. Mereka sekarang sedang berbincang-bincang, tentang dosa manusia-manusia yang ada di hadapan mereka.

"ANDINA!!" Jerit Alicia, tangannya dengan cepat merangkul tubuh Andina yang seketika tumbang. Aku kaget, Rista kaget, semuanya kaget.

"ANDINA!? KAMU KENAPA?" Alicia mengguncang-guncangkan tubuh Andina yang dingin. Andina pingsan.

Saat ini aku berada di posisi kaget, bingung, serta khawatir. Ya, aku khawatir dengan orang yang menjadikanku titik hitam dalam warna putihnya.

"You should finish this game!" seruku, menoleh pada Khansa

"Tapi, nggak mungkin kita ngecewain dia!"

***

UranusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang