9. It's started

57.7K 4.3K 569
                                    

“HAI ladies!” Tomy menyelusup duduk di antara aku dan Kath, memaksa kami untuk bergeser memberi ruang untuknya.

“Iiih, Tomy apaan, sih,” keluh Kath kesal, namun segera menyerah saat Adam datang. “Hi, Adam.”

Yang disapa bahkan tidak menanggapi sapaan Kath dan malah langsung duduk di sebelah Val untuk merayunya. Kath menutupi kekecewaannya dengan langsung berbincang dengan Ro tentang Telebes.

Aku memutar bola mata. Ternyata drama semacam itu bukan hanya terjadi di dalam cerita fiksi dan film remaja saja.

Tomy menyenggol bahuku. “Mau pergi ke prom sama gue?” tanyanya, memamerkan undangan prom di tangannya.

Aku mengerutkan dahi. Ujian Akhir saja belum mulai, tiket prom sudah dijual saja. Biasanya kalau sudah dekat begini aku akan mendapat banyak ajakan. Walau akhirnya aku sama sekali tidak menikmati acara prom itu sendiri, tapi aku merasa perlu datang, hanya untuk melihat wajah-wajah sinis dan iri dari mereka yang tidak pernah menyukaiku.

“Jangan buang-buang waktu, Tom. Paling Terre mau pergi sama pacar pecundangnya. Biar sekalian ngajarin dia cara bersosialisasi.” Adam menyela sebelum aku sempat menjawab Tomy.

“Riiiight,” kata Tomy dengan seringaian yang mencurigakan. “Damn. Gue pikir tahun ini gue punya kesempatan.”

Aku memandangi mereka satu per satu. Gengnya Adam ini makin gencar saja mem-bully Jeha. Senin kemarin mereka sampai bertindak jauh melampaui yang biasanya, yaitu mengeroyoknya. Aku memang tidak melihatnya langsung, tapi mereka yang keluar dari tempat yang sama dan wajah Jeha yang lebam dan sudut bibirnya berdarah cukup untuk menjadi buktinya.

“Denger, yah,” kata Jeha kesal waktu itu, “gue udah ngebiarin elo gangguin hidup gue. Gue nggak mau lo juga bikin gue kelihatan lemah. Gue ngga perlu seorang cewek buat ngebela gue.” 

Tuh, kalau marah pakai gue-elo lagi.

“Jadi hanya karena gue cewek?” Aku jadi ikut kesal. “Itu namanya diskriminasi.”

Dia mengetuk dahiku dengan ujung jarinya. “Itu namanya pride.” Dia mengusap darah di bibirnya, membuatku mengernyit. “Kalau gue mau, gue bisa menghabisi mereka sendiri.”

“Terus kenapa nggak dilakuin?” tuntutku. Karena sejujurnya aku juga sering ingin menghajar mereka.

“Gue lagi menyamar jadi anak baik-baik.”

“Preet.”

“Aku serius.” Dia menatapku pernuh peringatan. “Aku nggak butuh kamu buat jadi pahlawan kesiangan. Mereka cuma bakal nemu alasan lain yang lebih kuat untuk mem-bully kalau kamu ikutan ngomong.”

Aku hanya menghela napas. Karena memang pikirannya itu ada benarnya juga. Adam tipe orang yang kalau semakin dilarang malah akan semakin melakukannya. Jiwa pemberontak sedang panas-panasnya membara.

Setelah menghabiskan jus jeruk dalam gelas di depanku, aku berdiri. Hendak mengajak Kath atau Luna pergi, tapi ternyata mereka sudah menghilang lebih dulu. Dih, aku ditinggal.

Tomy memegang lenganku, menahanku pergi. “Eh, mau ke mana? Sini duduk aja. Bel masuk masih lama juga,” katanya.

“Males, ah!” Aku menarik lenganku dari genggaman tangannya. Perhatianku beralih pada orang di samping Tomy. “Ro, Kath ke mana?”

“Ke UKS. Pusing katanya.”

“Thanks,” ucapku sembari melangkah pergi.

“Hei, Re! Kalau si cupu itu nggak mau pergi sama lo, pintu gue selalu terbuka buat lo!”

Sebelum SelamanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang