"Selamat pagi, Seok-Jin!"
Seorang wanita dengan rambut kuncir kuda melangkah masuk ke dalam kamar pasien penuh percaya diri. Di tangan perempuan berjas putih panjang itu tergenggam seikat krisan segar, sedangkan lengannya mengempit satu eksemplar majalah serta koran terbitan hari ini. Sembari mengumbar senyum, ia meletakkan semua barang bawaannya di atas nakas, tepat di samping ranjang pasien yang disapanya tadi.
Tapi, bukannya menyahut, sama seperti hari-hari sebelumnya lelaki itu hanya mengerjap tanpa ekspresi. Menyadari ini, dokter muda tersebut menghela napas.
"Seok-Jin, lama-lama aku bisa kesal kalau kau acuhkan seperti ini terus," gurau Min-Hee pada lelaki yang dipanggilnya "Seok-Jin" itu. Jari-jemarinya mencubit gemas hidung bangir pasiennya, sekedar memberi rangsangan dengan harapan pria itu akan merespon. Sayangnya, yang Min-Hee harapkan tidak terwujud.
Atau, belum?
Sebab, di menit berikutnya ketika perempuan itu berbalik untuk menata tangkai-tangkai bunga dalam vas, sebuah suara muncul dari balik punggungnya.
"Uhuk!"
Tanpa sempat meragukan indra pendengarannya, Min-Hee pun lekas menoleh dan membulatkan matanya menghadapi Seok-Jin. Alis tebal yang memayungi mata sayu pria berpundak lebar itu bertaut, seolah memberi Min-Hee tatapan 'apa-yang-kau-lihat'.
"Seok-Jin, apa kau baru saja melotot padaku?" goda Min-Hee. Ia sengaja berkacak pinggang, balas memelototi pasiennya yang semakin menyatukan alisnya.
Bagi orang awam, pemandangan seperti ini bukan sesuatu yang dapat diabadikan, namun bagi Min-Hee justru sebaliknya. Min-Hee terkagum-kagum melihat umpan balik yang dilontarkan Seok-Jin. Bagaimana tidak, selama hampir tiga bulan menerapinya, Min-Hee nyaris berputus asa sebab ia merasa seperti sedang berinteraksi dengan mayat hidup.
Kerja jantungnya normal, begitu pula dengan sistem sarafnya. Ia pun dapat melakukan berbagai aktifitas dengan baik : tidur, makan, membaca majalah, hingga menonton TV. Kendalanya satu : ia takut pada manusia, atau mungkin lebih tepatnya 'enggan berhubungan dengan manusia'.
Dari sekian banyak perawat yang menanganinya, tidak ada satupun yang pernah mendengar suara Seok-Jin, tak terkecuali Min-Hee sebagai dokter penanggung jawabnya. Dan hari ini, setelah melewati hari-hari penuh kesunyian, Min-Hee berhasil!
Memang sih, hanya satu batuk ekstra singkat dan itu pun bisa disebabkan oleh bermacam-macam hal, tapi tetap saja Min-Hee terlonjak kegirangan. Setidaknya batuk ringan itu dapat ia simpulkan sebagai respon kecil untuk laporan terapi hari ini.
Dasar sifat bawaan manusia yang tidak pernah puas setelah mencapai satu keberhasilan, Min-Hee pun ingin mengulang peristiwa yang baru saja ia alami. Jadi, setelah menarik satu kursi mendekati ranjang, ia menatap lekat-lekat pada Seok-Jin dan,"Jangan mengacuhkanku lagi, okay?"
Harap-harap cemas, Min-Hee mengulurkan tangannya untuk meremas lembut punggung tangan Seok-Jin yang tertangkup kaku.
Satu detik, dua detik, tiga detik... Pasien dan dokter itu berpandang-pandangan dalam hening, menyisakan degup organ vital keduanya yang bersahut-sahutan, juga tik tok jam pada dinding sebagai musik latar.
Apa respon tadi hanya imajinasi belaka?
"Baiklah, kalau kau tidak mau menjawabnya, maka–"
"Uhuk!"
...
"Seok-Jin! Tuhan, terima kasih!" Min-Hee pun menghambur pada tubuh pria itu dan menghadiahinya sebuah pelukan. Saking eratnya, Seok-Jin rasa ia bisa mati kehabisan napas. Namun, ia tidak berucap sedikit pun.
Diam-diam, ia mengukir senyum simpul melalui binar di mata redupnya.
Sedangkan Min-Hee? Dokter tersebut tak ubahnya seperti seorang ibu, perasaan bangga yang teramat sangat mengalir di sekujur pembuluh darahnya. Di akhir peluknya ia berucap,"Mulai hari ini kita berteman baik ya, Tuan Kim!"
"Uhuk!"
YOU ARE READING
Sakit
Fanfiction-"Menurut perspektifmu sebagai seorang dokter, bagaimana jika dua adam menjalin hubungan spesial? Jatuh cinta, misalnya?" -"Pernahkah kau mendengar istilah 'love knows no boundaries'? Kurasa bukan masalah." -"Ibu, ayah, maafkan anakmu ini. Maafkan a...