Prolog

70 6 0
                                    

Katanya, manusia sulit untuk memercayai satu hal sampai kejadian itu menimpa dirinya sendiri. Seperti, tayangan di TV yang makin hari makin gencar memberitakan mengenai pentingnya hidup sehat agar terhindar dari virus kanker dan semacamnya. Penonton sebagai pelaku pasif secara pintas lalu menyetujui isi pemberitaan tersebut, kemudian timbul satu pertanyaan : apakah di lubuk hatinya ia memercayai jika penyakit itu suatu waktu dapat menjangkit tubuhnya? Sebab tidak adanya tanda-tanda serta pemberitahuan nyata, manusia tersebut lengah dan cenderung tidak mawas diri.

Susunan hipotesa itu bermain-main dalam benak Min-Hee.

Pelipis putri tunggal keluarga Ryu itu berdenyut hebat kala lonceng gereja tempatnya menyelenggarakan upacara pernikahan berdentang nyaring.

Pukul dua belas tepat.

"Dimana Nam-Joon?" desak ibunya. Min-Hee mendesah,"Aku tidak tahu."

"Nona." Suara berat laki-laki paruh baya berbadan ringkih dalam balutan busana formal tergopoh-gopoh menghampiri Min-Hee dan setengah berbisik ia memberi laporan,"Tuan Kim barusan menelepon–"

Min-Hee yakin jantungnya sempat berhenti.

"–dengan berat hati ia berpesan tidak ingin menghadiri acara hari ini."

Min-Hee rasa dunianya berputar-putar.

Denting grand piano memainkan serenade, riuh-rendah percakapan para tamu undangan, minuman berbuih yang terus menerus disajikan pada gelas berbadan ramping, serta karangan bunga dan sepasang merpati putih yang sengaja dipiara untuk hari istimewa ini : untuk apa?

Katanya, manusia sulit untuk memercayai satu hal sampai kejadian itu menimpa dirinya sendiri. Seperti, tayangan di TV yang makin hari makin gencar memberitakan mengenai pentingnya hidup sehat agar terhindar dari virus kanker dan semacamnya. Penonton sebagai pelaku pasif secara pintas lalu menyetujui isi pemberitaan tersebut, kemudian timbul satu pertanyaan : apakah di lubuk hatinya ia memercayai jika penyakit itu suatu waktu dapat menjangkit tubuhnya? Sebab tidak adanya tanda-tanda serta pemberitahuan nyata, manusia tersebut lengah dan cenderung tidak mawas diri.

Ya, Min-Hee akui selama ini ia lengah. Kelengahannya tidak membahayakan di awal, namun kini menusuk bak pisau bermata dua. Serasa langit diatasnya runtuh, kaki-kakinya terjatuh tanpa bisa menjejak tanah. Sama seperti keyakinannya pada Nam-Joon, hancur berantakan.

Di dalam jatuhnya, Min-Hee melakukan kilas balik secara kilat, sebab penelitian lebih jauh tidak memungkinkan untuk diadakan dalam waktu singkat. Ia butuh mengulang memori untuk mengumpulkan fakta-fakta yang dapat memperkuat hipotesanya.

Dan tangis pun merebak dari sudut mata Min-Hee.

Benar, "penyakit" itu sudah mengendap di dalam tubuhnya sejak waktu lampau. Namun, mengapa dengan mudahnya ia mengabaikan gejala yang jelas nampak?

Nam-Joon, inikah maksud dari pertanyaanmu waktu itu?




2016 © mintseoltang

presents,

"Sakit"


SakitWhere stories live. Discover now