Sudah dua jam lamanya kutelusuri jalan setapak kota Dublin namun belum kunjung juga kutemukan kismis sesuai permintaan Chef Hammish. Hingga dalam perjalananku, kutemui sebuah bangunan mewah yang belum pernah kulihat sebelumnya, dengan arsitektur gaya eropa kuno, dinding marmer berwarna cokelat, dan halaman yang ditumbuhi banyak bunga aster. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.
"Rumah pemimpin tertinggi kota Dublin pun tidak sebagus ini" pikirku dalam hati. Akupun mendapati seseorang yang tiba-tiba berjalan ke arahku, seorang wanita setengah baya bertampang masam dan berpakaian layaknya pelayan,
"Buat apa kau berdiri disini ? Apa kau berniat mencuri bunga aster kesayangan nyonya ?" tukas wanita itu menuduhku.
"Maafkan saya, saya hanya kebetulan lewat, saya hanya tukang roti yang mencari kismis. Sekali lagi maafkan saya"
"Hey anak muda, apakah kau berkerja untuk Chef Hammish ?"
"Benar"
"Oh Tuhan, mengapa nasib keluarga ini tidak pernah jauh dari malapetaka. Sebaiknya kau cepat pergi sebelum Tuan Alfonso mengira kau mata-mata Hammish"
"Mata-mata ?"
"Kubilang cepat pergi !!" gertak pelayan itu meyakinkan. Akupun segera bergegas pergi dari tempat itu, berlari menuju stasiun bis yang berada didekatnya, dan memutuskan untuk kembali ke toko roti dengan tangan hampa.
Diperjalanan pulang, terngiang kembali perkataan wanita asing yang baru saja kutemui. Sepertinya rumah itu memiliki koneksi khusus dengan Chef Hammish. Entah koneksi itu baik ataukah buruk. Sepertinya buruk. Toh keberadaanku saja dianggap mata-mata. Namun selama aku berkerja di toko roti, tak pernah terucap dari bibir Chef Hammish mengenai orang yang memiliki hubungan dengannya. Aku pikir beliau hanya hidup sebatang kara di Irlandia, mengadu nasib menjadi tukang roti handal di Dublin dan tidak memperdulikan sosialisasi dengan orang lain, meskipun ia sesekali berinteraksi dengan pelanggannya, itupun seperlunya, hanya untuk menjual roti. Namun setelah kupikirkan kembali, aku sebaiknya tidak perlu memperdulikannya. Semua itu bukan urusanku.(***)
"Kau tidak menemukannya, Greg ?" tanya Chef penasaran.
"Maafkan saya Chef, sepertinya kismis benar-benar sedang langka"
"Baiklah tak mengapa, saya tak seharusnya menuruti ego saya"
Egonya ? Bukannya itu merupakan permintaan manja seorang anak orang kaya yang apabila diwujudkan pun tak akan memberikan dampak berarti bagi toko ini. Sungguh terkadang aku tidak mengerti dengan jalan pikiran Chef Hammish. Chef tampak terlalu mementingkan keinginan anak manja itu dan lupa pada komitmen awal ia membuka toko ini, yaitu untuk menciptakan roti yang nikmat untuk para warga Dublin. Sekali lagi, aku kembali mengkhawatirkan Chef Hammish. Rupanya aku benar-benar perduli pada Chef, sosok yang telah membantuku dari lubang hitam kemiskinan dan kelaparan. Dan akupun berbisik dalam hati, untuk berkerja sebaik mungkin di tempat ini, demi Chef Hammish. Dan demi Luisa.(***)
"Permisi tuan, ini kismis pesananmu" sapa seorang kurir memasuki toko. Selama dua bulan penantian, akhirnya musim paceklik anggur telah berakhir. Dan petani bisa memproduksi kismis kembali. Toko kami pun kembali menjual roti kismis. Hingga pada suatu hari, anak perempuan manja itu datang kembali,
"Aku ingin roti kismis, 10 buah"
"Baiklah" jawabku singkat. Aku pun segera memasuki dapur dan mendapati Chef Hammish sedang berkonsentrasi menguleni adonan roti.
"Chef, stok roti kismis kita akan habis di borong pelanggan, sebaiknya kita segera membuatnya lagi untuk persediaan toko"
"Siapa yang memborongnya ? Apakah pelanggan cilik kita yang bernama Stacy itu ?" tanya Chef bingung.
"Benar Chef, anak manja yang gemar berteriak itu ..."
Dan plaaak !!! Chef Hammish telah mendaratkan tangannya diwajahku. Spontan akupun kaget mendapati perlakuan Chef seperti itu. Apa salahku ? Apa yang terjadi sebenarnya ?(***)
YOU ARE READING
Bleeding Bread
General FictionGreg, seorang remaja yatim piatu yang berjuang menghidupi adiknya, Luisa tiba-tiba dihadapkan dengan sebuah realita pahit yang membuat tangan sucinya harus berlumuran darah