Akhirnya waktu liburku telah tiba. Pagi ini aku bangun lebih awal dari biasanya. Tas ransel dan sekotak roti sudah kupersiapkan malam sebelumnya untuk bekal pergi menjemput adikku, Luisa. Kala itu embun masih membasahi jalan kota Dublin, langit pun masih gelap. Kulangkahkan kakiku pergi menyusuri jalan, sembari menghirup udara pagi yang memanjakan setiap bilik paru-paruku, paru-paru yang mulai terbiasa hanya menghadapi udara panas oven. Kupandangi sesaat bangunan kota Dublin yang begitu bersejarah dan terawat. Entah bagaimana rakyat Irlandia dulunya bisa menjaga kota ini dari serangan Perang Dunia. Entah bagaimana juga rakyat Irlandia bisa berjuang menyuarakan suara mereka agar merdeka dan melepaskan diri dari bayang-bayang Britania Raya. Bisa kubayangkan sekuat apa bangsa Irlandia dulunya. Menjaga mati-matian tanah yang telah menghidupi mereka dari tangan asing. Rasa nasionalisme sekelebat merasuki aliran darahku. Semangat hidup berkorbar mengiringi perjalananku. Perjalanan seorang warga Irlandia yang bertahan hidup ditanahnya sendiri.
(***)
"Kakak ? Kak, aku sangat merindukanmu" sambut Lisa sembari memelukku erat. Ia masih tidak percaya aku bisa berdiri dihadapannya siang itu. Dia pun mencoba mencubit pipinya sendiri, memastikan ia tidak bermimpi. Akupun tertawa melihat tingkahnya.
"Luisa, aku kesini untuk mengajakmu tinggal dikota bersamaku. Tidak usah khawatir, sekarang kakak sudah berkerja, kita tidak akan kelaparan lagi" tuturku mencoba menjelaskan.
Ia pun langsung mengiyakan ajakanku. Dengan mata berkaca-kaca, ia bergegas menyusun barang-barangnya yang akan ia bawa.
"Kak, aku masih merasa ini bagai mimpi. Apabila ini memanglah nyata, aku percaya ini merupakan doa kita yang digenapi Tuhan. Dan ini semua juga berkat bantuan ibu dan ayah di surga"
"Benar adikku. Maka daripada itu, kita tak boleh berhenti berdoa pada Tuhan sebagai ucapan syukur. Tuhan akan memberi lebih pada hamba-Nya yang senantiasa bersyukur"
"Baik kak. Ngomong-ngomong, kakak berkerja dimana ? Pasti yang memperkerjakan kakak adalah orang yang baik hati"
"Disebuah toko roti di Dublin. Pemiliknya sangat baik" jawabku sambil menelan ludah, mengingat kembali tragedi bulan lalu yang Chef Hammish lakukan padaku. Karena hingga detik ini, ia masih bungkam akan maksud kemarahannya tersebut. Untungnya, kami tetap berkerja baik seolah tidak terjadi apa-apa. Hanya sekarang aku lebih menjaga perkataanku didepannya, bahkan menjadi seorang Greg yang irit bicara.(***)
"Selamat datang di rumah kita" ucapku pada Luisa, sembari menunjukkan tempat yang selama ini menjadi saksi hidupku di kota Dublin.
"Wah, tempat ini sangat nyaman kak. Bolehkah aku beristirahat sejenak ? Perjalanan dari perbatasan hingga kota ini cukup jauh juga"
"Baiklah, selamat istirahat. Kakak akan buatkan secangkir teh untukmu"
Aku pun langsung menutup pintu rumah dan meninggalkan Luisa didalamnya. Kususuri halaman belakang toko dan tercium bau roti menusuk hidungku. Rupanya chef Hammish sedang berkerja. Dan ia belum sadar akan kedatanganku di hari libur ini. Mungkin ada baiknya aku melihatnya sejenak.
Kupandangi kaca belakang dapur dan kulihat dengan samar, chef Hammish sedang menangis, memandangi sebuah foto yang ia pegang erat ditangannya. Akupun mengurungkan niatku untuk masuk ke dapur.
"Stacy... Stacy... Ayah sangat merindukanmu, nak" tutur Chef Hammish sambil terisak-isak. Bak petir siang bolong, akupun terkejut atas apa yang aku dengar saat itu. Bukankah Stacy merupakan anak seorang bangsawan ? Bagaimana bisa ?(***)
YOU ARE READING
Bleeding Bread
General FictionGreg, seorang remaja yatim piatu yang berjuang menghidupi adiknya, Luisa tiba-tiba dihadapkan dengan sebuah realita pahit yang membuat tangan sucinya harus berlumuran darah