Semua orang menatapnya, menatapnya dengan pandangan sinis sekaligus penasaran tentang apa yang terjadi. Tapi tak ada seorang pun yang berani mendekat dan menanyakan apa yang sebenarnya terjadi, karna tak berani bicara langsung, mereka hanya mengumpul menjadi gerombolan kecil, membicarakan dan menerka-nerka apa lagi yang telah dibuat cewek berambut pirang ini sehingga ia kerap kali bulak-balik menuju ruang BK.
Arina berjalan menuju ruang BK tanpa sedikitpun memperdulikan semua bisikan-bisikan yang dari tadi dibicarakan oleh semua orang. Ia tak peduli pendapat semua orang tentang dirinya, yang hanya ia pedulikan adalah... well, sebenarnya tidak ada. Ia tak peduli tentang nilainya, ia tak peduli tentang sekolahnya, ia tak peduli pada setiap perkataan yang ditujukannya padanya, bahkan ia sudah tak peduli lagi tentang papanya yang sudah menjadi keluarga satu-satunya selain adiknya ,juga pada dirinya dan masa depannya sendiri.
Arina memegang gagang pintu ruangan BK, bersiap untuk membukanya, dan tentunya bersiap untuk menerima semua kemungkinan terburuk yang paling mungkin diterimanya. Arina melangkahkan kakinya masuk, disana sudah ada guru BK, Kepala sekolah, dan juga orang yang paling malas untuk ditemuinya saat ini, yaitu, papanya. Mereka sedang membicarakan kasus Arina kali ini dan sepertinya belum menyadari keberadaan Arina.
Percakapannya berhenti ketika guru BK menyadari kehadiran Arina lalu diikuti oleh kepala sekolah dan juga papanya. Papanya melihatnya dengan tatapan yang terlihat bisa membunuhnya kapan saja dan mengisyaratkan Arina untuk duduk. Arina tau kalau ini bukanlah pertanda bagus, ini sangat jauh dari kata bagus.
Arina tidak ingin duduk dikursi yang sudah disediakan untuknya itu, Bukan karena ia takut atau apa, melainkan hanya karena ia merasa bosan dan eneg berada diruangan menyesakkan ini. Papanya masih menatap tajam pada Arina yang hanya berdiri diam didepan pintu "Arina Duduk!!" ucap papanya yang mulai tak sabar. Arina melangkahkan kakinya gontai menuju kursi terkutuk itu, dan terpaksa duduk ditempat yang sudah pernah didudukinya itu untuk yang ke-63 kalinya itu.Yap Rekor."Ehm..Ehm.." ucap sang kepala sekolah bermaksud untuk memulai pembicaraanya kembali. "jadi, seperti yang sudah saya katakan tadi. Anak bapak, Arina Prinsloo , sudah membuat masalah lagi, dan ini sudah yang ke-5 kalinya dalam minggu ini. Dan jujur, kami tidak bisa mentolerirnya lagi. Anak bapak kali ini sudah keterlaluan. Dan kami dari pihak sekolah meminta maaf kepada bapak, karena kami terpaksa harus mengeluarkan anak bapak –Arina dari sekolah kami" terang pak kepsek dengan sangat hati-hati karena tidak ingin membuat seorang Arnold Prinsloo marah, tapi tentu saja tidak berhasil karena Mr.Prinsloo sudah telanjur naik pitam.
"APA?! MAKSUD BAPAK APA?! BAPAK MAU SEENAKNYA NGELUARIN ANAK SAYA BEGITU AJA SECARA TIDAK TERHORMAT ?! HAH ?! BEGITU?!" ucap papanya Arina sambil memukul keras meja yang ada dihadapannya.
"Bukan begitu pak, bapak tenang dulu, kami bukan seenaknya mengeluarkan putri bapak, bapak harus tau kalau putri bapak ini sudah terlalu banyak menimbulkan masalah, Arina sudah lebih dari 63 kali masuk keruangan ini karena selalu menimbulkan masalah, untuk minggu ini saja ini sudah menjadi yang ke-5 kalinya ia duduk dikursi ini. Dan masalah Putri bapak kali ini sudah sangat keterlaluan. Ia sudah membuat Ruang basket indoor terbakar dan hampir tak bisa diselamatkan lagi karena ulahnya." Ucap kepsek yang sudah sedikit kalang kabut tetapi berusaha untuk tetap tenang.
"SAYA GAK MAU TAHU APA YANG DILAKUKAN PUTRI SAYA,ARINA. DAN SEHARUSNYA PIHAK SEKOLAH LAH YANG HARUS DISALAHKAN KARENA TAK BISA MENJAGA DAN MENDIDIK SISWANYA DENGAN BAIK. DAN ANDA TIDAK PERLU REPOT-REPOT MENGELUARKAN PUTRI SAYA KARENA SAYA AKAN MEMINDAHKAN PUTRI SAYA KESEKOLAH YANG LEBIH BAGUS DARI INI!" ucap pak Arnold yang sudah menggebu-gebu. "Ayo Arina. Kita pulang!" ucapnya lalu pergi berderap meninggalkan ruangan menyesakkan itu yang diikuti oleh Arina.
Arina dan papanya berjalan dalam diam. Suara langkah kaki mereka terdengar semakin menggema di saat mereka melewati lorong-lorong sekolah yang kosong karna semua orang masih didalam kelasnya masing-masing berhubung saat ini masih jam 11 pagi dan masih ada jam mata pelajaran.
Keheningan memendam mereka berdua, sampai Pak Arnold memecahkan keheningan itu, Arina bermaksud untuk tak menghiraukan perkataan papanya, tapi perkataan papanya kali ini, berhasil membuat Arina tertegun "Arina. Besok kamu akan pindah kesekolah baru milik teman papa. Ini adalah kesempatan terakhir kamu. Jika kamu dikeluarkan lagi. Maka kamu akan papa tunangkan dengan anak kawan papa dan kamu gak bisa menolaknya." Ucap pak Arnold tanpa melihat kebelakang dan terus berjalan menuju pintu gerbang. Ia tak menyadari kalau perkataannya tadi berhasil membuat Arina tertegun juga membuat langkah Arina terhenti dan tertinggal jauh dibelakang.
..........
Arina melempar tasnya ke sembarangan arah dan menghempaskan tubuhnya ketempat tidur begitu ia memasuki kamarnya. Ia begitu lelah setelah diceramahi berjam-jam di ruangan kerja papanya tadi.
Arina menutup matanya berusaha untuk bisa tertidur dan melupakan segala masalah-masalahnya hari ini,tapi tentu saja tak semudah itu. Ia ingin hari ini cepat selesai dan mempercepat datangnya esok hari. Pikiran Arina melayang, menerka-nerka seperti apakah sekolah barunya yang kali ini Ia sudah tak sabar dengan sekolah barunya itu, lebih tepatnya, ia sudah tak sabar ingin cepat-cepat keluar lagi dari sekolah barunya itu seperti disekolah-sekolahnya yang sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
B.A.D.A.S.S
Random"Guys. Lu liat anak baru yang disana ?"Ucap Ashton sang MostWanted Guy kepada temen-temennya. Teman-temannya mengangguk mengucapkan 'iya' dan bertanya kenapa. "Dia bakalan jadi punya gue". ... "Ri, liat tuh. Sedari tadi lu diliatin tuh sama mereka...