"Gue suka sama lo,"
Seperti badai yang datang secara tiba-tiba, bagai petir yang bergemuruh menemani hujan dikala senja. Aku menatap lelaki itu, lelaki yang selalu aku puja.
Setelah bel istirahat berbunyi Rendy mengajakku untuk bertemu di taman belakang sekolah, entah apa yang akan Ia bicarakan dan kini semua itu terjawab oleh perkataan-oh tidak, lebih tepatnya pernyataannya barusan. Aku bingung sekaligus bimbang, tidak tahu harus menjawab apa dan tidak tahu lagi harus berekspresi seperti apa.
Apakah aku harus senang karena dia yang aku kagumi sudah menyatakan perasaannya kepadaku? Atau, aku harus sedih karena harus merubah status ku dengannya menjadi lebih lanjut meski sekarang aku sudah sangat nyaman dengan hubungan antara aku dan dia yang memang terbilang hanya sekedar teman biasa? Ah, aku tidak tahu.
Kedua matanya menatap kearahku, tatapannya begitu intens namun mampu menyiratkan kehangatan tersendiri bagi siapa saja yang menatapnya, bola matanya hitam legam, ada sorot berharap di dalamnya. Dan itu semakin membuatku lupa caranya bernafas. Kenapa disaat seperti ini oksigen terasa sulit sekali untuk sekedar masuk ke dalam paru-paru ku?
Kedua tangannya menjabat kedua pergelangan tanganku, Ia maju selangkah dan aku tak berani untuk sekedar menatap iris matanya, aku menunduk menatap kearah rerumputan hijau disana. Ingin rasanya aku menjawab 'Gue juga suka sama lo, Ren.' Tapi sayang, ego-ku terlalu besar untuk sekedar melontarkan serentetan kata-kata itu dari mulutku. Egoku terlalu kuat untuk dikalahlan, egoku terlalu besar untuk dilawan dan sekarang biarkan aku mempertimbangkan semuanya. Aku butuh waktu dan Rendy butuh kepastian. Aku tahu itu.
"Maaf, Ren. Tapi gue butuh waktu untuk itu." Ujarku setelah seperkian detik mempertimbangkan pernyataannya. "Gue akui, gue udah merasa nyaman di zona kita yang saat ini, gue udah nyaman sama status kita yang meski hanya sebatas teman, gue udah nyaman sama semuanya dan gue gamau itu semua berubah disaat status kita bukan lagi sebagai teman." Perlu aku akui, aku egois. Tapi inilah yang aku inginkan. Meski aku tahu, Rendy akan merasa di tolak setelahnya. Sungguh, aku juga tidak ingin membohongi perasaanku sendiri.
Rendy tersenyum tipis. "Yang lo rasain juga gue rasain, Nat. Gue juga nyaman sama status kita yang sekarang. Tapi satu yang perlu lo tau, gue butuh kepastian yang jelas dari lo. Seperkian kali gue berkata kalo gue suka sama lo tapi lo cuma nganggep itu angin lewat, selama ini gue udah berusaha jadi yang terbaik buat lo, Nat dan dengan kedekatan kita yang sekarang gue butuh kepastian itu, gue butuh jawaban lo. Kita saling kenal, kita deket, kita saling sayang dan gue yakin lo juga punya perasaan yang sama kaya gue. Dan karena itu, gue butuh kepastian. Meski gue tau lo butuh waktu untuk itu."
"Tolong jangan gantungin perasaan gue, Nat. Karena kita gak akan pernah tau kapan perasaan itu akan berubah. Sewaktu-waktu gue juga bisa lelah untuk ngejar lo dan untuk sekarang tolong jangan sia-siain rasa yang udah gue cipta, gue yakin, gue yakin lo bisa menyambut perasaan gue. Tolong izinkan gue untuk mengisi kekosongan hati lo, Nat. Lo bisa pegang kata-kata gue kalo gue gak akan ngebuat lo kecewa. Gue bakalan ada disaat lo ngebutuhin gue, gue bakalan ada disetiap lo butuh seseorang untuk sandaran diatas kelelahan lo hari ini, esok atau kapanpun itu. Jangan buat gue kecewa untuk kesekian kalinya, Nat gue cuma butuh kepastian, gue butuh jawaban dan gue gak akan pernah tau kapan perasaan ini akan berubah."
Aku menghela nafas panjang, dengan berat hati aku melepaskan genggaman tangannya dari pergelangan tanganku. Aku tahu aku akan menggantungkan perasaannya lagi. Tapi, tolonglah aku terlalu takut untuk sekedar melawan ego-ku sendiri.
"Maaf, Ren. Bukan maksud gue ngecewain lo. Tapi, jujur aja. Gue belum terlalu ngerti apa itu cinta. Gue gatau harus bagaimana ngejalaninnya dan gue-" Aku terdiam sejenak, tenggorokanku seakan tersumbat sesuatu yang menghalangiku untuk melanjutkan perkataanku.
'Gue takut kalo nanti kita pacaran lalu kita putus dan setelah itu gak ada lagi kedeketan diantara kita, gak ada lagi canda tawa diantara kita. Gue gamau kehilangan seseorang yang gue sayang. Dan bukankah cinta tak harus memiliki?' Sayang sekali, aku hanya bisa meneruskan perkataanku dalam hati. Aku tidak sanggup mengatakan hal itu. Mengatakan satu alasan yang membawaku untuk kembali berpihak kepada ego-ku saja.
"Give me the time for it, gue gak bisa jawab sekarang, Ren. Sorry, gue balik duluan." Dan setelah itu aku berlari meninggalkan taman belakang sekolah yang ku biarkan menjadi saksi bisu antara aku dan Rendy. Aku berlari meninggalkan seseorang dibelakang sana, aku berlari meski aku tahu aku telah menancapkan duri pedih dihati lelaki itu. Aku tahu, dan aku memang egois.
Dan semenjak kejadian itu, aku bisa merasakan kalau Rendy menjauhiku, tempat duduk nya yang berawal tepat dibelakang tempat dudukku kini ia tukar sengan tempat duduk dibangku ujung paling depan, setiap kali aku ingin menyapanya namun ia selalu menyiratkan kedinginan yang membuatku seolah tidak mampu untuk melanjutkan hasratku yang hanya ingin sekedar menyapanya. Tidak ada lagi tatapan hangat yang sering ia lontarkan, tidak ada lagi canda tawa yang biasa ia ciptakan, tidak ada lagi. Semuanya hilang seminggu setelah aku lagi dan lagi menggantungkan perasaannya. Kini, hanya ada aku dan tatapan tajamnya yang menusuk relung jiwa. Tuhan, apa secepat ini perasaan akan berubah?
...
KAMU SEDANG MEMBACA
The Story Of My Love
RandomBertahun-tahun aku menanti, sekaligus mencoba untuk melupakan semua yang pernah terjadi diantara kita. Namun, hingga di suatu waktu kau kembali datang, membuat jantungku seakan berhenti berfungsi, membuat oksigen lagi lagi sulit untuk sekedar masuk...