SATU

34.6K 1.8K 17
                                    

 Jam menunjukkan pukul tujuh lewat dua puluh menit. Ruangan kantor itu semakin sepi. Beberapa karyawan berangsur-angsur menjejalkan jarinya ke mesin absen. Ibam masih di tempatnya. Terlihat masih sibuk dengan berkas-berkas perijinan di depannya, membolak-balik lembar demi lembar lalu mengetikkan sesuatu pada komputernya.

"Belum pulang?" Seorang gadis menghampiri dan menaruh segelas kopi di atas meja.

"Makasih." jawabnya sambil menyingkirkan beberapa dokumen sebelum menyesap pelan kopinya. "Belum, sebentar lagi. Mau email ke Eka dulu abis itu baru pulang. Kamu sendiri?" katanya pelan lalu melihat ke sekitar. Memastikan tidak ada orang lain di ruangan itu selain mereka berdua.

Gadis itu melirik ke arah ruang meeting tak jauh dari tempatnya duduk. "Belum selesai." jawabnya pelan.

"Jangan pulang malam-malam. Kamu bawa mobil? Atau mau bareng aku?" tanya Ibam dengan suara pelan.

"Nggak usah. Aku bawa mobil kok." Gadis itu menyandarkan punggungnya di kursi.

"Pokoknya awas aja kalo kamu pulang bareng Adam." Ibam melotot, membuat Ivi tertawa ringan.

"Kamu cemburu?" Nada geli tidak bisa disembunyikan dari suaranya.

"Ya kamu pikir aja sendiri."

Ivi sekali lagi terkekeh lalu menatap Ibam yang sedang menyesap kopinya. Pandangan laki-laki itu terarah pada layar komputernya di mana menu email sedang terbuka.

"Yaudah, aku balik ke ruang meeting dulu ya." Ivi berdiri dan hendak melangkah saat sebelah tangannya tertahan.

"Aku nanti pulang duluan, ya." kata Ibam sambil meremas tangan dalam genggamannya.

"Iya. Biasanya juga begitu." Ivi mendelik sementara Ibam terkekeh.

Fokus Ibam kembali tercurah sepenuhnya ke lembaran-lembaran kertas dan komputernya hingga jam menunjukkan pukul delapan malam. Ia melirik ke arah ruang meeting yang tampak tenang hingga akhirnya memutuskan untuk pulang.

***

Ivi terperajat saat membuka mata dan menemukan jam sudah menunjukkan pukul tujuh lewat sepuluh menit. Ia berteriak lalu mengambil ponselnya dan mencari nomor Ibam. "Bam, aku kesiangan, kamu jemput aku, ya. Titik. Bye." katanya tanpa memberikan kesempatan orang di ujung sambungan untuk berbicara sama sekali.

Ia melangkah cepat menuju kamar mandi. Ia mengeluarkan keahliannya dalam julukan multitasking. Setengah jam lebih sedikit, ia sudah menghambur keluar dari kamar menuju ruang makan dengan menenteng tas dan high heels di tangan kanan-kirinya.

"Mama kenapa nggak bangunin Ivi?" tanyanya pada Silvia yang sedang menyiapkan sarapan.

"Mama tadi udah gedor-gedor kamar kamu. Tapi kamunya nggak bangun-bangun juga." Ivi duduk di tempat biasa sambil merengut kesal lalu mengutak-atik ponselnya.

"Ibam belum datang?" tanya gadis yang disambut sebuah geleng sebagai jawaban.

"Makanya, kamar itu nggak usah dikunci." kata Silvia, sementara anaknya sibuk mengunyah selembar roti tanpa selai lalu menenguk susu hangatnya.

"Pelan-pelan, Sist, nanti keselek." Ivi menoleh, mendapati Ibam sudah ada di ambang pintu ruang makannya. "Pagi, Ma." sapanya pada Silvia, mamanya Ivi.

"Pagi Ibam, ayo sini sarapan dulu."

"Nggak usah, Ma, Ibam udah sarapan kok di rumah." katanya sambil mendekat lalu mengusap pucuk kepala Ivi. "Makanya jangan pulang malam-malam. Kesiangan kan." katanya pada gadis yang masih berjuang menelan lembar kedua rotinya.

BELIEVE (Elegi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang