TIGA

13.5K 1.4K 14
                                    

  "Lis, dokumen yang saya minta udah?" Ivi mendekat ke meja Lisa. Ia melihat Ibam dan Lisa tengah mengobrol. Sementara Lisa mencari-cari dokumen yang ia minta, ia tersenyum sinis pada Ibam yang justru tersenyum ramah tanpa dosa.

"Nih, Mbak." Lisa menyerahkan satu map putih kepada Ivi.

"Bam, minta data pendukung dokumen yang saya minta kemarin dong." tatapannya beralih pada Ibam.

"Iya nanti." jawabnya enteng.

"Sekarang, Ibam. Udah diminta sama Pak Arsan." katanya dengan nada penekanan. Ibam melirik Ivi sebentar lalu kembali ke mejanya. Sementara gadis itu masuk ke ruangannya.

Lima menit kemudian, Ibam masuk ke ruangan Ivi dan mendapati Ivi dan Erga tengah fokus ke komputer gadis itu. Ivi duduk seperti biasa di tempatnya sedangkan Erga berdiri di sampingnya dengan jarak yang cukup dekat. Gadis itu tengah menunjukkan sesuatu di komputernya, entah apa.

"Nih dokumennya." Ia langsung menaruh map itu di atas meja.

"Langsung kasih pak Arsan, ya. Gue udah bilang kalau lo yang bakal langsung kasih ke dia." katanya dan melihat Ibam meliriknya kesal.

Ibam tidak tahu apa yang lebih mengesalkan dari ini. Sudah cukup Adam yang setiap hari nyaris tidak terpisahkan dengan Ivi karena alasan pekerjaan. Sekarang datang lagi laki-laki yang bahkan bisa melihat Ivi lebih dekat daripada dirinya di kantor.

"Kenapa lo?" tanya Fery saat melihat Ibam menjatuhkan diri di kursinya dengan kasar. Laki-laki itu menggeleng pelan lalu memijit keningnya. Jika biasanya dia tidak akan ambil pusing masalah Adam yang sepertinya lebih bisa mengendalikan diri, Erga sepertinya tipe laki-laki yang terang- terangan. Laki-laki itu suka menatap Ivi dengan tatapan memuja dan mudah diartikan semua orang.

Konsentrasi Ibam pecah. Berkali-kali laki-laki itu melirik pintu ruangan Ivi yang tertutup rapat. Beberapa kali terbuka hanya karena anak buahnya sesekali masuk ke dalam. Tapi gadis si pemilik ruangan tidak terlihat sama sekali. Terlalu sibuk dengan pekerjaannya sendiri hingga tak memikirkan kegundahan yang dirasakan Ibam.

***

Ivi bingung bagaimana lagi agar Erga bisa menjauh darinya. Sejak kehadiran laki-laki itu, Ivi harus rela dirinya dibuntuti Erga ke mana-mana. Sifat ingin tahu Erga yang terlampau tinggi membuatnya kewalahan menjawab semua pertanyaannya, mulai dari hal penting sampai hal yang tidak penting. Mulai dari masalah kantor sampai melebar ke mana-mana.

Ivi: Makan di mana?

Ibam: Di tempat biasa. Kamu udah kelar meetingnya? Udah makan belum?

Ivi: Sama siapa? Udah, ini baru mau keluar cari makan.

Ibam: Sama Lisa.

Ivi: Berdua doang?

Ibam: Iya. Kamu mau titip apa? Biar aku beliin, kamu makan di kantor aja.

Ivi: NGGAK. MAKASIH.

Ibam tidak sadar bahwa Ivi benar-benar sebal setiap nama Lisa disebut, sengaja atau tidak sengaja. Secara langsung atau terselip di antara deretan kalimat dalam pesan yang ia kirim.

Ivi dan Erga berpapasan dengan Ibam dan Lisa di lobi kantor. "Baru mau makan, Mbak?" tanya Lisa ramah.

"Iya." Ivi enggan berbicara lebih banyak dan memilih langsung pada tujuannya. Ibam menyadari raut wajah Ivi yang berbeda. Dan ia sudah tahu betul alasannya. Ia mengenal Ivi hampir empat tahun dan sudah cukup baginya untuk mengenal gadis itu luar dalam. Ibarat kata, Ibam sudah tamat atau khatam masalah Ivi.

BELIEVE (Elegi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang