Prologue

291 8 0
                                    

Hidupmu sudah ditentukan. Semuanya. Dari a sampai z. Segala detil dan perintilan yang tidak kau duga-duga sudah tertulis secara lengkap di sebuah buku besar yang entah kapan kau akan pernah melihatnya. Judul buku yang besok kau beli, kata-kata yang muncul dalam buku itu dan mempengaruhi hidupmu, musik yang kau dengarkan di sore itu, lalu hujan yang turun setelahnya dan kenangan yang memukulmu saat itu. Semua sudah ditulis sampai kejutan-kejutan kecil tak terduga yang terjadi.

Saat kau berjalan menerobos keramaian. Saat semua orang menatapmu tak acuh sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mungkin satu atau dua orang akan menatapmu bingung sambil berpikir, "apa sih yang dilakukan orang ini?" tapi lalu berpaling lagi sambil melanjutkan kegiatan mereka. Seratus persen tak acuh.

Saat seorang pria dengan perawakan tinggi berlari menabrak kerumunan orang disana-sini. Kaki panjangnya melangkah melompati satu blok ke blok lainnya. Menyela-nyela diantara kerumunan yang hanya memandang rambut hitam pendeknya sekilas tapi lalu berpaling lagi, pura-pura tak pernah melihat. Saat syal biru tuanya tersangkut tiang lampu, membuatnya berhenti sebentar, melepas syal yang melilit di lehernya bukannya yang melilit di tiang lampu. Pria itu terus berlari sambil meringis.

Nafasnya terengah-engah dan matanya bengkak. Entah apa yang terjadi semalam sampai ia terlihat begitu sedih. Ia mengusap air mata dengan sweater coklatnya yang nampak kusut. Apa yang ia lakukan sampai begitu galau tak ada yang tahu. Apakah semalam ia bertengkar dengan ibunya karena ketahuan melakukan hal buruk? Mungkin syal tersebut pemberian ayahnya makanya ia membuangnya karena merasa ayahnya tak akan pernah mengerti masalahnya. Maka dari itu ia menangis sekarang karena mengingat kenangan indah yang pernah dijalaninya bersama orangtuanya tapi ia harus membuangnya sekarang? Tapi ia begitu menyayangi ibunya sampai tak sanggup untuk membuang sweater coklat yang dibuat ibunya dengan penuh kasih sayang itu?

Karena memang semuanya sudah ditulis sedemikian rupa. Dari detil-detil kecil yang tak pernah kau perhatikan di hidupmu. Seperti saat kau menabrak orang yang berkacamata dengan bingkai putih dan menjatuhkan kacamatanya sehingga diinjak seorang pemain papan skate yang sedang berolahraga sore dengan anjingnya. Atau seperti saat kau akhirnya sampai di persimpangan lampu merah yang menunjukkan warna kuning tepat saat kau sampai.

Air mata masih mengalir di pipi pria itu, tapi matanya kini menunjukkan kekosongan. Seakan ia sudah tak sanggup lagi menangisi apapun yang akan terjadi di dunia ini. Karena segala printilan yang katanya sudah tertulis di sebuah buku – entah buku apa – itu kini sudah tidak ia pedulikan lagi – seakan ia pernah memedulikannya.

Jadi saat pria itu berjalan menyebrang jalan raya, kau akan menduga itu karena lampu pejalan kaki sudah menunjukkan warna hijau, tapi kau tidak mengetahui segala detil yang akan terjadi di hidup ini kan? Maka kau hanya bisa berhenti tertegun saat pria tersebut berjalan mantap bersamaan dengan truk barang yang melaju cepat dan pengemudinya membunyikan klakson, entah karena terkejut, entah karena memang buku nasib sudah mengatakan demikian saja, dan pria-yang-menyebrang itu hanya menatap truk dengan pasrah di matanya seakan-akan mengatakan: selamat tinggal.

Apakah kau akan pernah menduga saat seorang pria dari arah berlawanan, yang juga berambut hitam, mengenakan jaket kulit warna coklat yang menimpa kemeja kotak-kota merah birunya, dan berperawakan sama tinggi tiba-tiba berlari sambil berteriak dengan campuran ketakutan, kesedihan, kemarahan, dan kehilangan: "AAAROOON!"

Apakah kau tahu di benua lain entah belahan mana, seorang perempuan yang baru saja keluar dari kafe sambil menenteng gelas kertas berisi minuman, menenteng majalah fashion sambil bersiap berangkat menuju entah kemana – kampusnya kah? Rumah untuk bersantai? Atau ke taman karena ada janji bertemu kekasihnya? – pokoknya hanya akan menjalani hidup seperti sehari-harinya. Entah perempuan itu pernah merasa bosan atau tidak. Bahkan orang-orang disekitarnya lebih tidak peduli lagi untuk menengok menatap dirinya karena ia begitu normal. Saat ia berjalan dengan kardigan merah tua dan leher dililit syal biru. Kacamata hitam yang terpasang menutupi matanya – mungkin untuk menyembunyikan sakit matanya atau mata merahnya sehabis menangis atau hanya untuk bergaya? – dan rambut hitam panjang yang membingkai wajah mungilnya yang putih dengan bibir merah muda lembut.

Ia hanya perempuan normal yang siap menjalani hari ke berapa puluh ribunya dalam hidupnya yang baru berapa puluh tahun. Apakah kau akan penasaran saat ia tiba-tiba tersentak seakan terkena jantung dan terjatuh terlentang sampai minumannya tumpah, menunjukkan isinya yang ternyata adalah teh? Kenapa manusia yang terlihat menjalani hidup normal itu lalu tiba-tiba seperti terkena penyakit yang bahkan sepertinya tidak sedang dideritanya?

Tahu apa kau akan hidup seseorang saat melihat mereka jalan lewat di depanmu?

Dimensi Satu

Dimensi EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang