Dimensi Dua

72 2 0
                                    

Perlahan-lahan Gilbert membuka matanya. Di hadapannya cahaya biru membias tertimpa cahaya matahari. Gilbert mengedipkan matanya lalu bernafas keras, membuat cahaya biru, yang ternyata kupu-kupu bersayap biru, pergi mengepakkan sayapnya. Menyebabkan kelap-kelip warna biru-putih-biru-putih.

Di hadapan Gilbert terbentang langit putih terang, tapi Gilbert masih bisa melihat matahari karena cahayanya menembus daun-daun, membuat siluet hitam indah. Ranting-ranting bergoyang lembut diterpa angin. Gilbert bisa mendengar kicauan burung entah dari mana. Sayap-sayapnya berisik bergoresan dengan daun-daun yang menjorok keluar dari rantingnya.

Gilbert bangun pelan-pelan. Ia berusaha keras meresapi pemandangan tempat di mana ia berada. Daun-daun kering berserakan saat ia bangun. Gilbert lalu menyadari bahwa ia kini mengenakan kemeja putih bersih.

Suatu suara berisik datang lagi entah dari mana. Suara ini lebih berisik, sehingga Gilbert merasa ini tidaklah mungkin kepakan sayap burung. Gilbert berdiri lalu berjalan perlahan mencari asal suara tersebut.

Gilbert menemukan sebuah siluet berjalan ke arah cahaya paling terang. Gilbert memutuskan untuk mengikutinya. Sementara matanya berhasil menyesuaikan diri dengan cahaya putih terang tersebut. Siluet itu membentuk seorang perempuan dengan gaun putih dan rambut hitam legam panjang berjalan ke arah kumpulan kain-kain, seperti perangkap – seperti sarang laba-laba --, dengan seorang wanita lainnya terikat ditengah-tengah kain tersebut.

Gilbert sama sekali tidak merasa takut, begitu pula perempuan muda tersebut. Mereka sama-sama menghampiri wanita melayang itu. Si perempuan muda tampaknya yakin sekali ia harus mendatangi wanita melayang itu dan Gilbert hanya penasaran.

Wanita melayang itu tampak gemetar, perlahan-lahan jarinya yang lentik meraih rambut si perempuan muda lalu menyelipkannya dibalik telinganya dengan lembut. Wanita melayang itu lalu menyodorkan tangannya dan menunjuk ke arah Gilbert, membuat si perempuan muda itu berbalik dan menatap Gilbert.

Gilbert hampir saja menjerit terkejut. Kedua tengannya mendekap mulutnya sendiri. Bukan, bukan karena takut. Tapi lebih ke lega. Lebih ke bersyukur. Lebih ke bahagia.

Perempuan itu... dia... masih hidup!

Air mata mengalir dari mata Gilbert tanpa ia duga. Semenjak pertama melihatnya, ia tahu, ia tahu perempuan itu adalah perempuan pertama yang pernah menarik hatinya.

Perempuan itu begitu manis. Matanya coklat bening. Tatapannya begitu polos dan jujur, namun raut mukanya keras, menunjukkan hidupnya sudah melalui banyak hal yang berhasil dilaluinya dengan menggapai-gapai dari ujung tepian jurang, namun ia berhasil melaluinya. Rambutnya hitam panjang dan mengelus kulit-kulit tangannya lembut. Kulitnya seputih susu dan bibirnya merah manis seperti buah strawberi.

Gilbert selalu berpikir bahwa ia sudah pernah jatuh cinta... bahwa ia sudah menemukan cintanya. Tidak sampai ia bertemu dengan perempuan muda manis itu. Ia tidak ingat kapanya jantungnya pernah berdetak sekeras itu. Ia tidak ingat kapan mukanya pernah terasa semembara itu saat menatap orang lain. Lebih tepatnya, ia tidak ingat kapan ia pernah jatuh cinta dengan perempuan.

Gilbert selalu berpikir dirinya memiliki kelainan, ia selalu berpikir dirinya hanya bisa jatuh cinta dengan laki-laki. Tidak. Tidak sampai ia bertemu perempuan itu.

Lalu si wanita melayang menghampirinya. Badannya benar-benar gemetar, seakan menahan kesedihan. Ia mengangkat dua jari-jari lentiknya.

"Tabitha."

Begitulah kata-kata itu bergema di kepalanya. Begitulah kata-kata tersebut diucapkan Gilbert dengan mantap, lebih mantap daripada saat ia menyatakan cinta ke kekasih terdahulunya.

Dimensi EmpatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang