Hal yang pertama kali ku-notis dari kantor ini adalah, betapa buruknya warna oranye yang tercat di dindingnya. Mimpi apa yang diperoleh pemilik kantor ini sehingga ia terinspirasi untuk mendekor ruangan-ruangannya dengan warna oranye? Dari banyak spektrum warna yang ada di dunia, kenapa memilih oranye?
Ku amati beberapa hal yang ada di sekelilingku. Tampilan ruang tunggu dari sebuah perusahaan properti yang baru diekspansi ke daerahku. Sebuah kantor cabang. Mulai dari cat dinding warna oranye, kursi jati sederhana dengan bantal-bantal bersarung dengan corak batik yang berwarna senada, ubin krem yang terpasang anggun di lantai ruang, hordeng jendela (bisa ditebak warnanya apa: lagi-lagi oranye) dengan motif garis-garis, serta lukisan yang tidak ku mengerti nilai seninya tergantung di sisi kanan dinding ruangan dari tempatku duduk.
Ugh, dalam hati aku meringis. Sungguh merisaukan melihat sesuatu yang tidak ku suka terpampang di mana-mana sejauh mata memandang.
Tapi sudahlah. Pikiran melantur, subjektif dan sangat judgemental ini harus dihentikan. Tidak sepatutnya aku berpikir aneh di momen-momen pra interview-ku. Bukankah banyak hal lain yang layak dipikirkan? Seperti bagaimana aku harus menjawab pertanyaan serta bersikap professional ketika menghadapi pewawancaraku nanti.
Kufokuskan kembali pikiranku ke tempat dimana ia seharusnya berada.
Belum ada 10 menit aku berkontemplasi dan berekspektasi lebih lanjut soal wawancaraku, seorang laki-laki keluar dengan tampang datar cenderung masam. Ia berseragam oranye, (Demi Tuhan, belum cukupkah display tidak sehat dari warna oranye di sekeliling tempat ini merusak konsentrasiku?)
Harus dengan adil kukatakan bahwa pewawancaraku, yang berseragam dengan warna epik itu, punya bakat dalam memberikan kesan pertama yang berkelas. Maksudku, berapa banyak sih laki-laki yang bisa tampak keren memakai baju warna oranye? Ia memakainya dengan aura bak ksatria rupawan dengan baju besi yang sukar ditembus.
Dingin. Arogan. Gagah tak terhindarkan. Efeknya cukup membuatku kewalahan.
Aku tersenyum ke arahnya, mencoba memberikan kesan baik dan profesional. Walau hal bodoh pertama yang terlintas di kepalaku sebenarnya adalah seberapa sering aku harus memakai seragam itu bila aku diterima kerja disini.
Momen-momen mendebarkan itu pun tiba akhirnya.
"Silakan masuk, Mbak Astita." Ujar si lelaki berseragam oranye.
Aku membiarkan ia melangkah duluan memasuki ruangannya. Mengikuti di belakangnya, sesuai dengan etika wawancara yang kubaca di satu situs, aku harus menunggu hingga dipersilakan duduk. Kulayangkan pandanganku ke ruangan wawancara itu.
Nuansanya secara mengejutkan berbeda dengan dekor ruang tunggu di luar. Monokrom minimalis, laci-laci hitam putih dan meja marbel hitam segi empat yang sederhana dan mengkilap. Sebuah papan nama terpampang di atasnya.
Setyo Ananwidhy
General Manager
Aku pun bertanya-tanya. What the hell? GM perusahaan yang langsung mewawancaraiku, bukannya bagian HRD. Aku bergidik. Firasatku tak nyaman.
"Silakan duduk," Maka dengan segenap kesopanan yang bisa kuusahakan, aku pun duduk di kursi yang berada di hadapan pewawancaraku yang bernama Setyo, berdasarkan papan nama di meja. Problema lain yang harus kupecahkan, bagaimana aku akan menyapanya? Mas? Pak? Bung? Ini membingungkan. Dari penampakannya, ia tak jauh lebih tua dariku, belum lagi mengingat jabatan GMnya. Jadi, dari pada ambil resiko ku ambil saja pilihan yang paling aman diantara semua.
"Selamat Pagi, Pak Setyo,"
"Pagi, mbak Astita. Bisa saya mulai wawancaranya?"
"Tentu, pak. Saya siap diwawancara." Jawabku mantap. Pak Setyo pun memulai wawancaranya.
***
Pukul 11.33. Pasca wawancara dengan Pak Setyo.
Es teh manis di depanku mulai mencair. Sambil duduk-duduk di pelataran kantin terdekat yang bisa ku temukan dari kantor itu, kepalaku mulai me-rewind apa yang kuingat sebagai momen-momen penentuan karirku.
.
.
"Silakan mbak perkenalkan diri dulu."
"Sudah ada pengalaman kerja?"
"Kenapa tertarik bekerja disini?"
Bla bla bla. Pertanyaan yang kuterima jenis-jenisnya begitu hingga item-item question berikutnya. Jawabanku? Seperti yang sudah aku konsepkan sebelum wawancara di mulai.
"Nama saya Astita Priyanthira. Umur saya 22 tahun. Lulusan Sarjana jurusan Administrasi Bisnis dari Universitas Mana Saja."
"Belum ada, karena saya fresh graduate, masih dalam usaha mencari kerja,"
"Ketertarikan datangnya dari keterbukaan pikiran untuk menikmati hal apa saja, termasuk bekerja. Karena itu, dengan saya melamar bekerja disini, saya jelas tertarik untuk berkembang disini, membangun karir dan sebagainya."
Bla bla bullshit. Tidak terlalu buruk sebenarnya, aku memang sudah menyiapkan mental dan jawaban-jawaban untuk menghadapi wawancara ini, paling tidak mengikuti tips-tips yang menjamur di Google tentang bagaimana menghadapi wawancara supaya berhasil diterima kerja. Kalau diingat-ingat, jawabanku adalah sebentuk pernyataan diplomatif yang sebenarnya didasari oleh keputus-asaanku untuk segera bekerja dan mendapat uang. Nah, sampai disini, kedengerannya kayak wawancara kerja yang normal 'kan? Tunggu dulu. Ceritaku tidak semembosankan itu.
Menit-menit terakhir wawancara itu, tibalah proses yang menentukan nasibku.
"Hal terakhir yang ingin saya konfirmasi, mbak saat ini melamar kerja di posisi staf administrasi, bukan?" Aku mengangguk.
"Sayang sekali, saat ini posisi yang mbak lamar itu sudah diisi," Saat itu, aku hanya merasa bingung. Bertanya-tanya, apa yang sedang kulakukan disini? Untuk apa aku diwawancarai?
Akhirnya aku merespon, "Saya yakin perusahaan sudah memilih yang terbaik. Tapi kalau memang begitu, kenapa saya dipanggil wawancara, Pak?
"Saya memilih mbak di antara pelamar yang lain untuk sebuah posisi yang baru dan belum diisi, karena menurut saya, kualifikasi mbak cocok untuk posisi baru ini. Saya yakin mbak akan tertarik. Dan bukankah mbak katakan tadi, ketertarikan datangnya dari keterbukaan pikiran?" Seyakin itukah dia? Satu-satunya hal yang membuatku tertarik adalah hanya tentang bagaimana agar aku bisa segera bekerja dan dapat digaji setiap bulannya.
"Tentu. Saya tidak sungkan untuk mendapat pengalaman baru, yang agak berbeda dari apa yang saya sudah kira-kira." Terjemahan: kerja apa saja, silakaaaan. Aku tidak akan keberatan.
"Kalau begitu bagus. Besok mbak sudah boleh datang ke kantor dan mulai bekerja. Job desc, sistem penggajian, juga tandatangan kontrak kepegawaian juga akan diurus besok." Menahan sumringah, aku berusaha mengontrol euforiaku. Mama, Papa, akhirnya anakmu ini dapat kerja!
"Wah, terima kasih banyak atas pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan ke saya, pak. Tapi maaf sebelumnya, kalau boleh tahu, posisi apa yang Bapak maksud?" Aku bertanya.
"Asisten pribadi saya."
.
.
Otakku berpacu menganalisa wawancaraku dengan pak Setyo, menimbang baik dan buruknya hasil yang ada. Sisi baiknya, aku --- akhirnya--- dapat pekerjaan. Sisi buruknya, posisi yang ku dapat berbeda dari yang kuperkirakan.
Asisten pribadi, bukannya itu sejenis pembokat yah? Hanya halus saja bahasanya. Ah, tapi sudahlah. Baik buruknya pekerjaan ini, akan ku ketahui nanti setelah aku menjalaninya.
Aku menyedot habis sisa es teh manis di depanku. Kemudian beranjak dari tempat duduk di kantin itu, membayar minumanku, dan berjalan pulang dengan hati senang.
Besok aku tidak pengangguran lagi!
***
Part 1 End
KAMU SEDANG MEMBACA
Orange Coloured LOVE
ChickLitTita benci warna oranye. Tepatnya apa yang ia benci soal warna oranye juga masih kurang jelas. Menurutnya, warna itu terlalu cerah mencolok di mata Tita. Belum lagi warna oranye mengingatkannya akan api di masa lalunya. Api berwarna oranye kemerahan...