Aku ingin bercerita sedikit tentangmu, orang yang menjadi alasan aku menuliskan semua ini.
Aku mengenalmu sejak kita masih SD, namun keakraban kita baru dimulai saat kelas 3 SMP. Aku duduk semeja dengan Agatha, kau duduk sendiri di samping kiriku. Aku selalu iri dengan posisimu, di samping jendela besar kelas kita. Kau bisa melihat ke arah lapangan sekolah saat bosan. Entah untuk melihat anak kelas lain berolahraga atau hanya melamun.
Kau beruntung Martin duduk di depanmu. Si gendut itu selalu melindungimu, baik sengaja atau tidak. Selain itu, guru-guru pun tidak terlalu mengacuhkanmu. Bahkan, aku ragu sebagian dari teman sekelas kita bisa mengingatmu. Yah, sejujurnya termasuk aku saat itu.
Yang aku ingat adalah waktu itu kau sangat senang melamun. Biasanya itu kau lakukan setelah menyelesaikan tugas dari guru. Aku kira kau senang belajar. Lalu entah bagaimana ceritanya, aku mendapat pencerahan bahwa kau hanya ingin cepat memiliki waktu sendiri.
Mungkin karena aku melihatmu menikmati saat-saat seperti itu, sibuk dengan pikiranmu sendiri. Sering kulihat kau menggumamkan lagu, pelan dan terkadang sambil bergerak seolah sedang memainkan drum. Tapi tak pernah lama karena kau akan segera tersadar dan menghentikan gerakanmu.
Aku juga suka mendengar tawamu yang khas. Hal yang jarang sebenarnya, waktu itu. Tapi syukurlah Paul dan Martin selalu punya cara untuk membuatmu tertawa.
Lucunya, meski jarang tertawa, kau selalu tertawa terbahak-bahak sehingga sangat sulit untuk tidak menarik perhatian. Yang gawat, beberapa kali kau tertawa saat guru sedang menerangkan sehingga kau, Paul dan Martin akan dihukum untuk berdiri di balik papan tulis selama sisa jam pelajaran.
Tetap saja, kau tidak kapok untuk tertawa seperti itu. Aku tahu karena sampai bertahun-tahun kemudian, kau masih tertawa dengan cara yang sama.
Aku bisa merasakan orang lain menatap kita dengan heran saat mendengarmu tertawa. Aku tidak peduli. Yang penting buatku adalah kau tertawa selepas mungkin, apalagi kalau itu kau lakukan bersamaku.
(*)
Aku masih ingat dengan jelas hari di mana kita pertama kali bercakap-cakap. Aneh, padahal kita sudah duduk berdekatan selama satu tahun ajaran tapi tak pernah berbicara satu sama lain secara langsung.
Saat teman sekelas sibuk mendiskusikan perpisahan, aku duduk di tempatmu sambil mendengarkan lagu. Hari itu aku lupa membawa headset, jadi kutaruh ponsel di atas meja sambil menopang dagu. Menikmati pemandangan yang biasa kau nikmati sehari-hari.
"Do you need some time...on your own
Do you need some time...all alone
Everybody needs some time... on their own
Don't you know you need some time...all alone"
"Wah, lo suka November Rain?" tahu-tahu kau sudah duduk di depanku.
Aku mengangguk, "Siapa yang gak suka?"
"Yang gak tau lagu itu lah," kau memberikanku tawa khasmu.
Aku tersenyum kecut mendengarnya. Yah, ada benarnya juga.
"Suka lagunya yang lain atau cuma suka lagu itu aja?"
Kukira kau akan menghentikan pembicaraan setelah itu, tapi ternyata kau malah duduk di kursiku. Melihat isi kotak pensilku dan bersiul saat melihat ada stiker Dream Theater di dalamnya. "Ini ceritanya lo suka sama Dream Theater?"
"Gak juga sih," ucapku seraya memutar-mutar ponsel, entah kenapa. Sepertinya karena gugup. "Waktu itu liat sepupu pake di binder-nya, terus suka sama stikernya dan jadi minta. Dikasih denger lagunya, deh. Yah, gak jelek, sih."
"Gak jelek?" kau tertawa, tak sampai terdengar sinis tapi aku merasa kecut mendengar penekanan di ucapanmu.
"Ya, bagus kok, cuma bukan tipe kesukaanku aja," ucapku, menahan rasa jengkel. Apa hakmu untuk memberi komentar soal selera musikku?
Aku mengalihkan pandanganku kembali ke luar jendela. Berharap dengan begitu kamu akan menyerah dan membiarkan aku sendiri.
Kau memang tidak melanjutkan pembicaraan denganku, padahal kukira kau akan sibuk memberi argumen kenapa aku harus menyukai band tersebut.
Meski demikian, kau tetap duduk di depanku sambil menggumamkan lagu dari Dream Theater, yang aku cukup kenal karena sering dinyanyikan oleh Kak Alex, sepupuku.
"If I die tomorrow,
I'd be all right
Because I believe
That after we're gone
The spirit carries on..."
Diam-diam, aku tersenyum. Saat itu aku merasa harus lebih sering mendengarkan lagu Dream Theater.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Tanpamu
RomanceKita tak akan pernah siap kehilangan orang yang dekat dengan kita. Tak peduli adanya tanda yang kuat atau bahkan fakta yang nyata dan teruji. Mungkin -hanya mungkin- yang membedakan adalah cara menyikapinya. Sakitnya tetap saja sama, tidak ada beda...