Tentang Kamu #2

12 0 0
                                    

Setelah percakapan absurd tersebut, kita tidak seketika menjadi akrab seperti yang kuduga akan terjadi.

Kau masih asyik dengan duniamu sendiri, sementara aku pun mulai disibukkan dengan persiapan perpisahan. Helen, teman akrabku sejak kelas 1 SMP, memasukankku sebagai panitia walau aku berusaha menolak. Diiming-imingi traktiran pizza, akhirnya aku setuju.

Kalau diingat-ingat, aku ternyata mudah diyakinkan juga, ya.

Kau sudah mulai jarang datang ke sekolah karena memang kita sudah mulai diliburkan. Kalau pun kau datang ke sekolah, aku hanya melihatmu sekilas di kelas saat hendak mengambil barang. Biasanya kau sedang di kelas berbincang dengan Martin, atau sedang melamun di tempat dudukmu.

Aku pernah mendengar percakapanmu dengan Martin, kalau kau lebih memilih datang ke sekolah karena bisa mendapat uang jajan. Sayangnya, papamu tidak mudah diyakinkan kalau kau memang perlu ke sekolah.

Percakapan kedua kita terjadi saat aku sedang beristirahat di pinggir lapangan basket.

Siang itu matahari sedang bersinar dengan penuh semangat. Di pinggir lapangan tersebut ada kursi-kursi kecil yang dinaungi oleh pohon kamboja. Cocok untuk berteduh, apalagi ada pengurus OSIS yang berjualan minuman dingin.

Sambil menyedot es jeruk, aku memerhatikan kau yang sedang bermain futsal. Beberapa di antara orang yang bermain sepertinya alumni, karena mereka sudah tidak mengenakan seragam.

Meski sekarang sudah lewat dari jam sekolah, biasanya alumni tidak diperkenankan bermain di lapangan. Mungkin para guru sedang rapat sehingga tidak memerhatikan.

Kau berdiri di depan gawang, mengatur posisi sedemikian rupa agar bisa dengan sigap menghalangi bola melewatimu. Aku masih ingat betul perawakanmu saat itu. Tentu saja kau belum setinggi sekarang, tapi tetap saja kau cukup tinggi untuk ukuran anak SMP.

Tinggimu sekitar 160 cm saat itu. Tubuhmu masih tegolong padat, dengan rambut belah tengah dan kacamata bulat. Sarung tangan kiper berwarna hitam dengan garis merah di jari-jari. Baju olahraga longgar dan celana yang besar. Sepatu olahraga berwarna merah-kuning.

Aku bisa mengingat hal-hal tersebut bukan karena ingatanku yang kuat. Itu lebih karena pemandangan tersebut sudah kulihat berkali-kali. Sepertinya kau tak pernah berniat mengganti gaya.

Ponselku berdering, SMS masuk dari papaku, menanyakan jam berapa aku pulang. Cepat-cepat aku mengetik jawaban, belum tau

"Buru-buru amat ngetiknya, mbak," tahu-tahu saja kau sudah terkekeh di hadapanku.

"Biar cepet," sahutku asal, membenarkan posisi dudukku. Kau sudah bersila di bawah tempat dudukku seraya menarik-narik kerah kaos olahragamu. "Panas banget. Udah gak ada yang jualan minuman, ya?"

Kuedarkan pandangan sekilas sebelum menggeleng. "Abis. Tadi emang pas gue beli tinggal dikit juga, sih."

"Ya udah deh gue minta punya lo aja."

Sebelum sempat kujawab, kau sudah mengambil gelas es jerukku dan meminumnya langsung dari gelas. "Tadi lo minum dari sedotan kan?" tanyamu, setelah menghabiskan isi gelas tersebut.

"Ya iya sih," gumamku, tidak lagi tahu harus berkata apa.

Kau kembali memamerkan tawa khasmu. "Santai aja, mbak. Kok lo belum pulang, sih?"

"Lagi nunggu Helen. Dia masih rapat seksi acara. Lo kenapa belom pulang?"

"Nyokap lagi ada acara deket sini. Nanti mau jemput gue, sekalian pulang bareng."

Aku mengangguk-angguk kecil. Kugoyangkan kakiku ke depan dan ke belakang, hal yang sering kulakukan saat sedang merasa canggung.

Sekian detik berlalu sementara aku masih sibuk memikirkan apa yang harus kukatakan selanjutnya.

Aku bisa mendengar siulanmu yang ternyata diikuti oleh gerakan tangan seolah sedang menggebuk drum. "Lo main drum?"

"Nebak atau nanya?"

"Bedanya apa?"

"Nebak kan gak yakin, nanya punya dasar."

"Teori darimana itu?"

"Teori gue," kau lalu terbahak sendiri. Aku melengos. Kau memang selalu seenaknya, itu akhirnya kupelajari sekian tahun kemudian.

Siang itu, kau akhirnya tidak menjawab pertanyaanku karena mamamu sudah menelpon. Kau berpamitan secara singkat kepada teman-temanmu yang masih bermain futsal lalu menoleh ke arahku. "Thanks ya, minumnya. Kapan-kapan gue ganti, deh."

"Gak usah, santai aja," sahutku, tersenyum tipis.

"Ntar nyesel lho," kau tertawa lagi.

"Terserah deh," jawabku, mengangkat bahu.

Tawamu semakin lebar. Kau menepuk bahuku dengan sarung tanganmu. "See you, Miss Silly."

Aku ternganga sembari memperhatikanmu yang berlari menjauh. Darimana kau tahu namaku di dunia maya?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 26, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hari TanpamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang