Aku senang dia akan kembai pulang. Sungguh. Aku berpikir bahwa aku akan kembali bertemu dengan sahabat sekaligus cinta pertamaku. Aku menantikan kepulangannya dari negeri Paman Sam. Aku menantikan kepulangan pangeran kuda putihku. Aku sangat gembira. Aku berjanji akan mempersembahkan yang terbaik untuknya saat dia pulang nanti. Aku juga akan menyatakan cintaku padanya. Cinta yang sudah lama aku pendam sendiri di dalam hati. Oh, aku sangat bahagia. Aku akan memilih gaun terbaik yang aku miliki untuk menjemputnya di bandara besok siang.
Aku sudah sangat cantik. Aku menggunakan gaun berwarna orange bermotif perpaduan kulit jeruk dengan aksen bunga lili di bagian bahu. Aku merias wajahku secantik mungkin. Aku akan memberikan kesan pertama yang paling baik setelah lima tahun aku tidak bertemu dengannya. Oh, aku terlalu excited. Tenangkan dirimu saying. Aduuh, aku gugup sekali. Aku kembali menatap pantulan wajahku dari cermin kecil yang sedang aku bawa. Aku rapikan lagi rambutku. Menyisihkan poni yang menghalangi mataku. Aku ingin dia melihat binar bahagia dimataku ini.
"Cantik sekali nona" bibi Emil menggodaku lagi. Aku hanya tersipu malu. Bibi Emil adalah ibu dari pangeranku. Oh, beliau sudah tau bahwa aku sangat mencintai putra semata wayangnya itu.
"Sebentar lagi akan datang. Persiapkan dirimu." bibi Emil menepuk pundakku pelan. Oh, aku semakin gugup. Pasti pangeranku bertambah tampan saja disana. Oh, pangeranku.
"Bundaaaaaa" suara seseorang membuat bibi Emil melambai dengan semangat. Seorang pemuda tampan tampak melambaikan tangannya juga. Pemuda itu lalu berlari menuju bibi Emil dan langsung memeluk tubuh beliau. Bibi Emil dan pemuda itu berpelukan cukup lama. Apakah dia pangeranku? Apakah dia cinta pertamaku? Oh tuhan, dia memang bertambah tampan. Tubuhnya tegap dan berisi. Wajahnya bersih terawat. Oh lihatlah lengan yang tercetak jelas di kemeja hitam yang membalut tubuhnya yang seksi itu. Pasti sangat kuat dan bertenaga. Oh astaga, apa yang sedang aku pikirkan? Bersihkan pikiranmu sekarang juga nona muda! Itu tidak sopan.
"Bagaimana penerbanganmu, nak? Lancar kan? Apa kamu tidur dengan cukup selama penerbangan?" bibi Emil bertanya dengan penuh kasih sayang dan kerinduan. Aku hanya menundukkan wajahku. Aku tidak ingin berpikiran tidak sopan lagi jika melihat tubuhnya. Oh, aku benar-benar memalukan.
"Aku tidur dengan cukup, bundaaa. Lagian aku sudah dewasa. Jadi berhentilah mengkhawatirkan aku. Jagalah juga kesehatan bunda. Aku tidak mau bunda sakit" Tuhan, suaranya sungguh merdu. Berat dan gentle sekali.
"Oh ayolah, kamu tetap jadi anak kecil bagi bunda." dan kemudian suara tawa bibi Emil bersatu dengan suara baritone itu.
"Oh iya, apa kamu masih mengingat Kearen? Sahabat masa kecilmu dulu?" terimakasih bibi.
"Uuumm .. Kearen? Dia yang suka makan coklat itu kan? Yang pipinya chubby banget? Kearen kakaknya Devon yang jahil itu 'kan?" astaga, apa dia tidak mengingat kebaikanku? Kenapa harus coklat, pipi chubby dan kenakalan Devon yang diingatnya?
"Ahaha .. iya. Kearen yang itu. Yang suka kamu usilin sampai menangis itu." bibi Emil jangan provokasi dong. Yaaahh ...
"Haha .. Iya, aku ingat. Kenapa memangnya bun? Dia baik-baik saja kan? Aku rindu sekali sama pipi chubbynya itu. Rasanya aku ingin mencubitinya terus" aku langsung memegang kedua pipiku. Mengamankannya terlebih dahulu.
"Ah tidak apa. Dia baik. Sangat baik malah. Tapi kamu jangan mencubiti pipinya dong. Nanti dia menangis lagi. Kamu ini sudah besar masih saja childist" bibi Emil tersenyum geli sambil melirik kearahku yang tetap mengamankan pipiku dengan kedua telapak tangan.
"Oh, aku kangen sekali sama dia, bun. Dia pasti sudah besar ya? Cantik pasti" oh oh oh, aku tersipu malu.
"Iya, dia sangat cantik. Kamu tidak mengenalinya, sayang?" bibi Emil bertanya dengan nada jenaka.
"Siapa?"
"Tentu saja Kearen"
"Eh? Kearen ada disini? Dimana dia? Aku tidak melihat pipi chubbynya?" pangeranku celingak-celinguk ke sekitar. Aku hanya bisa mendesah pelan. Sebegitu chubbykah pipiku ini?
"Hihihi ... Disampingmu sayang." aku makin menundukkan kepalaku. Menyembunyikan wajahku.
"Eh? Siapa ini bun?"
"Tanyalah sendiri. Oh iya, bunda mau ke toilet sebentar. Tolong kamu temani anak ini ya. Jangan dicubit. Anak orang itu." setelah itu, bibi Emil pergi. Kurasakan sebuah tangan hangat menyentuh kedua pergelangan tanganku yang menutupi pipiku. Sedikit memaksa agar aku melepaskannya dari pipiku. Setelah berhasil terepas, dia mendongakkan wajahku sehingga sejajar dengan wajahnya. Oh pangeranku.
"Apa kabar nona cantik?" ibu jari tangan kanannya membelai pipiku dengan lembut. Aku tersenyum bahagia.
"Baik pangeran tampan. Apa kabarmu?"
"Seperti yang kau lihat. Aku baik. Sangat baik" lalu setelah itu, dia mengecup keningku dengan lembut. Oh, aku sangat bahagia. Awww!
"Hahahaha ..." ugh, dia mulai lagi.
"Sakit" aku mengusap-usap pipi kananku yang dicubitnya. Pasti merah deh.
"Masih cengeng ternyata. Nggak berubah" dia mengusap pipiku yang dicubitnya itu. Setelah itu dia mencondongkn dirinya lebih dekat denganku dan-cup. Dia mengecup singkat pipiku yang tadi dicubit. Oh, aku rasa bukan hanya pipiku yang merah. Seluruh wajahku memerah sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
White Line
Short StoryBukan salahku jika aku mencintainya. Hatiku tidak bisa jatuh begitu saja. Hatiku butuh proses yang panjang untuk memutuskan jatuh padanya. Salahkan pesonanya. Salahkan senyum manisnya. Salahkan sifatnya yang menjengkelkan tapi bikin kangen itu. Po...