Kevin dan Bimo

29 3 6
                                    

Aku tidak pernah berani mengatakannya. Aku terlalu takut akibat yang terjadi setelahnya. Sampai sekarang, aku tetap bungkam. Aku tidak pernah bisa mengungkapkan isi hatiku yang sebenarnya. Bahkan sampai sekarang, setelah aku ikut bibi Emil menjemputnya pulang di bandara dua tahun lalu. Sakit sekali rasanya. Aku memendam cinta yang sangat besar untuk aku tampung sendiri di dalam hati kecilku. Aku merasa aku akan meledak. Tapi, aku tetap tidak bisa mengatakan yang sejujurnya pada pangeranku itu.

"Kak Kealen, jangan menangis" aku mengerjapkan mataku. Aku menangis? Sejak kapan?

"Aku tidak menangis, Bim" Bimo adalah adik terakhirku. Adik yang sangat mengerti aku. Aku sangat menyayanginya. Aku lebih menyayanginya dari pada Devon. Bukannya aku membedakan mereka. Tapi, aku memang lebih dekat dengan Bimo. Bimo masih berusia lima tahun. Jauh sekali jarak usia aku dan Bimo. Dua belas tahun.

"Kakak mau es klim?" Bimo menyodorkan ice cream ditangannya padaku. Bimo memang masih cedal. Itu membuatnya makin menggemaskan. Aku mengangguk dan menjilat sedikit ice cream yang di sodorkan tangan Bimo. Oh, betapa aku sangat menyayangi adik kecilku ini. Lihatlah betapa menggemaskannya Bimo saat sedang makan ice cream cokelatnya itu. Lelehan ice cream yang belepotan disekeliling mulutnya sampai mengotori pipi dan juga bajunya.

"Kakak mau lagi?" Bimo kembali menyodorkan ice cream yang sebagian besar sudah meleleh itu kepadaku lagi. Kali ini aku menggeleng. Bimo mengangguk kecil dan kembali sibuk menghabiskan ice cream cokelatnya. Aku mengambil selembar tisu basah dan membersihkan lelehan ice cream di sekitar wajah dan tangan Bimo. Bimo benar-benar berantakan. Tapi tetap saja menggemaskan.

"Iiihh .. jorok ih. Siapa sih yang ngajarin jilatin jari-jari gitu? Sini biar kakak bersihin" aku mengambil tangan kecil Bimo dan membersihkan sela-sela jarinya. Bimo terkikik kecil.

"Kak Keviiiiiiiiinnnnnn ......" Bimo berseru dengan girang lalu berlari dari hadapanku.

"Bimoooooo..." Kevin ikut berseru dan langsung menyambut tubuh tambun Bimo yang berlari dalam pelukannya. Kevin adalah teman SMA ku. Bisa dibilang kami cukup dekat.

"Bimo kangen sama kak Kevin"

"Kakak juga kangen tauk sama Bimo" lihatlah mereka. Sudah seperti tidak bertemu selama berapa tahun saja. Padahal baru berapa jam juga mereka tidak bertemu. Rumah Kevin tepat berada di samping rumahku, makanya dia sering sekali main ke rumahku. Bermain dengan Bimo dan Devon.

"Udah ketemu sama kakak kesayangannya, sekarang Kak Ke dianggurin gini niiih? Bimo jahat ah" aku pura-pura cemberut. Bimo ini memang suka sekali menempel pada Kevin. Oh lihatlah, Bimo hanya nyengir dan membentuk tanda peace dengan tangan kirinya.

"Hahaha ... Kasihan deh yang cemburu adeknya nempel sama gue" huh. Dasar Kevin menyebalkan.

"Nih. Gue bawa es dawet campur Mbak Yummi. Buruan ambil mangkok sama sendok gih" Kevin mengulurkan bungkusan kresek putih yang dari tadi dipegangnya padaku. Huuummm ... Es dawet.

"Aye aye captain!" aku langsung mengambilnya dan berlalu ke dapur. Mengambil tiga mangkok dan tiga sendok lalu menuangka tiga bungkus es dawet yang sudah aku buka pada masing-masing mangkok. Setelah itu aku kembali ke ruang keluarga dengan manpan berisi tiga mangkok es dawet ditangan.

"Devon mana Ke?"

"Ada, dikamarnya. Mungkin lagi main game. Biasa lah"

"Devoooonnn ... Kak Kevin bawain es dawet kesukaan kamu niiihhh ... Mau nggaaaaakkk?" Kevin berteriak memanggil Devon. Ah, sudah biasa sih sebenarnya. Rumahku ini sudah seperti rumahnya sendiri.

"Lagi asyik niiih kaaaakkk ... Sisain satu buat akuuuu" Devon menjawab dengan berteriak juga. Sebenarnya kalau saja ada mama dirumah, pasti beliau akan mengomel. Untung saja mama sedang perjalanan bisnis ke Bandung.

"Bimo mau maem sendili. Bimo udah gede tauk" Bimo cemberut saat aku menyuapkan sesendok es dawet ke mulutnya. Bimo selalu seperti ini saat ada Kevin. Padahal jika tidak ada Kevin, Bimo ini manja sekali padaku. Berlagak sok cool di depan sahabatku itu.

"Nanti berantakan dek. Udah deh, disuapin kak Ke aja sini." Bimo menggelengkan kepalanya keras-keras. Dasar keras kepala.

"Gak mau! Gak mau! Bimo mau maem sendili! Pokoknya Bimo maem sendili! Mama .....!" dasar Bimo keras kepala. Semua kemauannya harus diikuti. Lihatlah sekarang, Bimo menangis tersedu-sedu dipangkuan Kevin. Aku menghela napas. Keras kepalanya sama dengan Devon.

"Jangan nangis dong, dek. Yaudah deh Bimo maem sendiri. Gak malu sama kak Kevin? Katanya udah gede. Kok cengeng?" cara jitu membujuk Bimo. Kevin. Kevin ada gunanya juga.

"Iya niiih .. Tadi katanya udah gede? Anak gede gak nangis looh .." perlahan tapi pasti Bimo menghentikan tangisannya. Kan? Apa juga aku bilang? Kevin itu rayuan mujarab untuk meredakan tangisan Bimo.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 07, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

White LineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang