6 - Dinner

578 88 22
                                    

“Mum apakah aku harus ikut dengan kalian? Aku kan bukan anak kecil lagi!” gerutuku ketika Mum memaksaku untuk keluar dari kamarku.

“Bee! Kau pulang ke London bukan untuk berdiam di kamar selama sebulan penuh. Cepat angkat bokong besarmu itu dan pakai salah satu gaun terbaikmu!”

Mum menutup pintu kamarku dengan keras, membuatku terpaksa menuruti perintahnya. Aku berjalan menuju lemariku lalu menarik sebuah gaun yang sudah lama tidak kupakai. Aku mengikat rambutku menjadi satu ikatan lalu memberikan wajahku sedikit bedak dan lip balm. Setelah selesai aku turun ke bawah dan melihat Mum, Dad, dan Peter sudah siap dengan pakaian mereka.

“Akhirnya putri kita selesai memakai baju. Ayo cepat kita sudah hampir terlambat!” ujar Mum mendorongku keluar menuju mobil Peter.

“Tapi dimana Pat?” tanyaku.

“Dia dan Henry akan langsung berada disana karena orang tua Henry akan datang dari Sussex. Bisakah kau lebih cepat?”

Aku menggerutu pelan lalu duduk di depan, di sebelah Peter. Hari ini memakai setelan terbaiknya dan dia terlihat sangat tampan.

“Jangan bilang akan ada keluarga pacarmu juga?” tanyaku sebal pada Peter.

“Ya kau benar. Jadi intinya ini akan menjadi sebuah acara makan malam keluarga!”

Peter memarkirkan mobilnya di depan sebuah restoran yang cukup besar. Mum dan Dad turun terlebih dahulu sedangkan Peter membantuku turun. Aku merasa menyesal memakai high heels ku yang sudah kekecilan. Ketika masuk aku melihat Pat melambai padaku. Aku tersenyum padanya lalu berjalan menuju meja yang sudah didudukinya.

Orang tua Henry sudah berada disana dan sekarang mereka sudah mengobrol dengan Mum dan Dad. Aku melirik Peter dan melihatnya sedikit khawatir.

“Hei mereka pasti akan datang,” ucapku.

“Ya! Pacarmu dan kakaknya bahkan memberiku bunga ketika aku masih di rawat di rumah sakit. Lagipula ini makan malam Natal!” ujar Pat ceria.

Lea, keponakanku, bergulung dengan tenang di pangkuan Pat. Dia terlihat tertidur dengan nyaman dan hangat. Aku mencium pipinya, membuatnya bergerak pelan.

“Ah Mr dan Mrs Sangster, lama tidak bertemu!” ucap Mum senang.

Mendengar nama itu aku segera berbalik dan melihat Thomas berdiri di belakang orang tuanya bersama seorang gadis yang kulihat di rumah sakit. Aku buru-buru memalingkan wajahku, berharap Thomas tidak mengenaliku. Aku menarik tangan Peter lalu berbisik padanya.

“Kau tidak pernah memberitahuku bahwa kakak dari kekasihmu adalah Thomas Sangster,” bisikku.

“Aku pikir kau akan tahu ketika mendengar namanya Ava. Oh hei Ava!”

Peter berdiri lalu mencium pipi gadis tersebut. Peter menarikkan sebuah kursi di sebelahnya lalu mempersilakan Ava duduk. Pat sudah bergeser ke sebelah Henry dan sekarang Thomas sekarang menarik kursi di sebelahku.

“Ini anak keduaku, Beverly. Dia selama ini tinggal di New York dan bekerja untuk sebuah majalah terkemuka.” Ujar Mum bangga.

Aku tersenyum pada Mr dan Mrs Sangster lalu kembali menundukkan kepalaku. Aku bisa merasakan Thomas sekarang sedang menatapku dari sebelahku.

“Oh kalau begitu kau pasti mengenal anak kami, Thomas.”

Aku mengangkat kepalaku dan melihat Thomas tersenyum padaku. Senyuman yang menurut orang lain tulus tapi bagiku dia menjadi sangat berbahaya dengan senyuman itu.

“Ya kami berdua memang sudah saling mengenal sebelumnya,”

Makan malam berlangsung seperti bertahun-tahun. Mrs Sangster bertanya tentang bagaimana pekerjaanku di New York dan dia dengan senang hati menceritakan tentang Thomas. Aku beberapa kali mencuri pandang padanya jika ibunya sedang menceritakan hal yang memalukan. Mrs Sangster juga bertanya bagaimana aku dan Thomas bisa saling mengenal satu sama lain.

“Pertama kali aku bertemu dengan Thomas dia men—“

“Bee, mewawancaraiku untuk film terbaruku. Dan dia juga menjadi fotograferku untuk beberapa katalog di majalah tempat dia bekerja.” Potong Thomas.

Yes we bump to each other almost everyday.” Tambahku.

Thomas memberiku tatapan tajam tapi aku tetap tersenyum.

“Ya aku menyukainya melebihi siapa itu gadis yang kencani,” ucap Mrs Sangster pelan.

Aku tidak mengerti maksudnya tapi wajah Thomas tiba-tiba berubah merah.

“Mum, kita sudah janji untuk—“

“Tidak membicarakannya dengan siapapun. Ya aku tahu tapi aku tetap tidak menyukainya.”

Thomas bangkit berdiri dengan tiba-tiba lalu berjalan keluar restoran tanpa mengatakan apapun lagi. Ibunya terlihat cemas dan berusaha mengikutinya tapi Mr Sangster menahannya.

“Biar aku saja,” ucapku.

Aku mengambil mantelku lalu berjalan keluar dari restoran tersebut. Salju mulai turun dan udara kota London menjadi sangat dingin. Aku mencari Thomas dan melihatnya sedang duduk di undakan terbawah tangga sungai Thames. Rokok menyala di mulutnya, membuat asap terlihat jelas.

“Hei, apa aku boleh duduk disini?” tanyaku padanya.

Dia hanya menatap jalanan di depannya lalu mengangguk. Aku duduk di sebelahnya.
Memperhatikan London Eye yang bergerak dengan pelan di tengah gelapnya malam ini.

“Kau tahu, aku sudah tahu siapa dirimu ketika Dylan menanyakan namamu. Ava pernah bercerita tentang kakak kekasihnya yang tinggal di New York.” Ucap Thomas pelan.

“Mengapa kau begitu yakin bahwa itu aku?” tanyaku.

“Kau memiliki hidung yang sama dengan Peter. Hidungmu bulat,”

Aku tertawa pelan mendengar jawaban Thomas.

“Ya hidungku memang bulat seperti Peter, tapi itu tidak buruk. Jadi sekarang aku tahu mengapa kau mengatakan bahwa aku memata-mataimu.”

Thomas tertawa lalu membuang putung rokoknya ke sungai Thames.

“Kau tahu aku memiliki seorang kekasih sungguhan dan aku berusaha menjaga jauh dari pers. Ibuku tidak menyukainya dan aku masih bingung kenapa dia tidak menyukai Bella.” Ucap Thomas.

“Thomas, di dunia ini ada yang baik dan ada yang tidak. Insting seorang ibu lebih kuat dari apapun dan aku yakin alasannya tidak menyukai Bella itu hanya karena ibumu ingin kau tidak sakit hati.”

Thomas sekarang membalikkan badannya, menatapku. Rambutnya yang pirang tertiup angin.

“Bagaimana kau bisa yakin?” tanyanya.

“Ya dulu aku memiliki seorang kekasih dan aku sangat mencintainya tapi ibuku mengatakan tidak. Aku dan dia sampai harus sembunyi-sembunyi sampai akhirnya ketika aku sedang berjalan-jalan bersama ibuku, aku melihatnya sedang mencium gadis lain. Dari situ aku selalu tahu bahwa ibuku benar,”

Thomas menghela napas panjang. Dia terlihat seperti seseorang yang sangat kelelahan karena usia yang sudah tua padahal wajahnya masih terlihat lebih muda daripada Peter. Keheningan terjadi di antara kami, Thomas hanya menatap langit gelap di atasnya. Aku mengikuti riak sungai Thames sampai akhirnya Thomas memegang tanganku.

“Ayo, mereka pasti mengkhawatirkan kita.”

Bee ⏩ Thomas Brodie Sangster (Book 1)Where stories live. Discover now