Trenggalek, 20 Oktober 2014
***
Dia datang ....
Dari balik pintu yang terbuka dia datang dengan senyum lebar yang menyilaukan. Berbaur dengan cahaya matahari pagi yang menerobos masuk ke ruangan, yang semula tertutup dan sedang ada aku di dalamnya.
Pintu itu dibiarkannya terbuka, tanpa berniat menutupnya kembali. Memberi kesempatan untuk hawa dingin yang sejuk dan suara gemercik air mancur yang berada di bawah patung batu berwujud seorang wanita yang sedang menyusui, yang diletakkan di tengah kolam ikan, mengiringi derap kakinya yang menuju tempatku bertekur sejak tadi.
"Selamat pagi, bagaimana? Aman?" tanyanya riang. Dia menyerobot buku polio, yang aku jadikan tumpuan siku tangan kiriku yang terlipat di atas meja dan menyangga kepalaku yang pening.
Dia nyengir tanpa rasa dosa, malah sangat menikmati tubuhku yang oleng dan wajah kagetku, karena ulahnya barusan. Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya mengabaikanku, memilih menekuri lembar tiap lembar buku laporan itu, kadang dia mengangguk-ngangguk sendiri dan tak jarang dia mengkerutkan keningnya tampak berpikir sambil menggerakkan bibirnya yang mengerucut ke kanan dan ke kiri dan berakhir dengan decakan.
Dari tempatku duduk aku bisa mengamatinya yang berdiri secara jelas, dari ujung kaki sampai ujung kepala. Perempuan ini cantik seperti biasanya, kulitnya putih bersih tanpa noda, mata bulat yang kecil, hidung mungil, bibir tipis yang penuh dan ranum, dan pipi berisi yang menggemaskan.
Mataku menyipit mendapati lingkaran kehitaman yang sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih. Aku menunduk pada meja, memperhatikan bayanganku sendiri di dalam kaca meja, aku juga memiliki lingkaran hitam yang sama dengannya, itu wajar karena memang aku tidak tidur semalaman. Tapi lingkaran ini tak sehitam miliknya, jadi?
Kurang tidurkah dia?
Mataku kembali tertuju padanya, langsung pada manik mata terangnya yang ... redup. Mataku menyipit, berusaha masuk lebih dalam, menggali sedalam-dalamnya apa yang ada di kubang kecoklatan yang bening itu. Tapi, tidak kutemukan apapun, yang ada hanya kekosongan, beku tak bernyawa. Aku berkedip sekali, dan saat mataku terbuka, aku menyadari jika jiwanya sedang tak ada di dalam raga yang ada di depanku ini, dia melamun.
Apa yang dia pikirkan? Kenapa aku seperti kembali melihat sosok dia dua bulan lalu?
Suara gemeruduk dari pintu, mengambil alih perhatianku dan juga mengembalikan kesadarannya. Kami sama-sama menoleh ke arah pintu, menemukan tiga orang perempuan beransel berdiri berhimpitan di tengah-tengah pintu, berebutan untuk masuk.
Aku menenglengkan kepalaku, memperhatikan mereka yang salah tingkah. Mengakhiri perselisihannya, mereka berjalan satu persatu masuk ke dalam, menyapa kami sambil menundukkan kepala tanda hormat.
Mereka kembali berisik, saat kembali menemukan bahan rebutan, rebutan meja yang ada di dekat pintu untuk meletakkan tas ransel mereka yang seperti tas orang pindahan. Mahasiswa dengan tas ransel besar dan masih ditambah tentengan map-map berisi tugas mereka selama praktek di sini, adalah pemandangan hal yang lumrah.
Suara cekikikan menarik perhatianku, dia sedang memperhatikan mahasiswi-mahasisiwi itu sambil cekikikan dengan bahu bergetar. Posisinya yang membelakangiku membuatku menyadari satu hal. Dia sedang menggendong satu buah ransel yang sama besarnya dengan mahasiswi-mahasiswi itu.
Dia bukan lagi seorang mahasiswi kan? Aku saja hanya membawa tas kecil yang hanya cukup untuk dompet, handphone, dan beberapa alat membersihkan diri. Lalu, untuk apa dia membawa ransel sebesar itu? Apa isinya?
"Heh, ngelamun! Sudah sana siap-siap pulang." Aku mengangguk, mengiyakan perkataannya.
Berjalan menuju kamar ganti, aku menoleh kembali, tidak ada yang aneh. Dia sibuk kembali mencermati buku laporan.
***
"Ih, Mbak ini pacarnya ya?" Fitri, salah satu mahasiswi praktek sedang bermain-main dengan handphone milik Dewi saat aku kembali.
"Bukan. Sini Fit balikin," pinta Dewi sambil senyum malu-malu berusaha merebut handphone-nya dari tangan Fitri.
Fitri menghindar, berlari ke arahku. "Mbak Mbak," --Dia menyodorkan layar bergambar seorang laki-laki di depan mukaku-- "ini pacar Mbak Dewi ya?"
Aku menggeleng --tidak tau-- sebagai jawaban, membuat Fitri cemberut sambil menggerutu karena tidak mendapat jawaban yang memuaskan, apalagi kini handphone itu sudah kembali kepada pemiliknya.
"Kamu pulang saja, tidak perlu menunggu Mbak Gina."
Sesuai titahnya aku bersiap pulang, mengganti sandal jepitku dengan sepatu terlebih dahulu. Belum sampai aku berangkat pulang, Gina datang dengan pertanyaan untuk Dewi yang membuat keningku berkerut.
"Dek, kamu ke mana dari kemarin tidak pulang? Ayahmu meneleponku."
Dewi hanya tersenyum, melirikku yang ada di balik punggung Gina. Menyadari jika mungkin ini sesuatu yang seharusnya tidak aku ketahui, aku berbalik memutuskan untuk segera pulang.
"Dek, jawab dong. Kamu kabur karena Ayahmu menikah lagi?"
Salahkan Gina, salahkan Gina karena gara-gara dia aku mendengar semua yang dikatakannya. Aku tidak tuli dan aku menyesal mendengarnya.
***
Vote and comment-nya ya? Happy Reading ....☆
KAMU SEDANG MEMBACA
Kesayangan
ChickLitUjian tanda sayang Diuji ya disayang Tidak diuji ya Tidak disayang Mau disayang, ya harus diuji.