Apa lagi ini? part 2

101 10 11
                                    

Berusaha sekuat tenaga untuk terlihat bahagia, minimal terlihat biasa saja, dan dia berhasil. Jika kemarin hujan, sekarang pun sama, hujan. Rintiknya terperangkap pada kaca jendela saat tubuhnya tertepa angin. Semesta masih tetap setia menjadi lukisan perasaan yang dia rasakan.

Akhir bulan, jadwalnya evaluasi semua pekerjaan selama sebulan. Di depan sana Dewi sedang presentasi mewakili ruang nifas. Ini memang giliran dia, apapun yang terjadi padanya dia harus tetap bersikap profesional, dan dia berhasil.

Sekali lagi dia berhasil.

Dewi pembohong yang hebat. Dia juga aktris yang memainkan perannya dengan apik. Semua orang dia tipu melalui wajah cerah dan tawa renyahnya setiap hari. Tapi dia lupa, sorot matanya tidak akan pernah bisa dia perintah untuk bohong.

"Gina, Dewi ada masalah ya?" Seorang rekan yang duduk di depanku menoleh dengan wajah penasaran.

"Iya, dia ada masalah ya? Beberapa kali aku melihat dia melamun saat jaga, ya 'kan Mbak Mel?" timpal Nian yang duduk di samping Melisa.

Melisa mengangguk membenarkan, kemudian menatap Gina menunggu jawaban. Gina, tetangga sekaligus teman Dewi sejak masih duduk di bangku kuliah menoleh padaku sekilas kemudian berkata, "Kenapa tanya aku Mbak? Tanya dia saja, 'kan sekarang Dewi lebih dekat dengannya."

Perkataan Gina barusan membuat dua perempuan di depan ini menatapku bingung.

"Lhah, aku 'kan nanya kamu Gin!" protes Melisa.

Gina menghela napas malas, "Iya, Dewi ada masalah keluarga."

"Masalah apa?" pekik mereka berdua. Tatapan-tatapan marah tertuju pada deretan bangku kami karena menciptakan keributan. Di depan sana, Dewi sempat melihat ke arah kami dengan tatapan datar.

"Tapi ini rahasia ya?" --Gina mencondongkan badannya lebih ke depan-- "Ayahnya Dewi menikah lagi."

Melisa dan Nian melotot sambil menutup mulutnya sendiri-sendiri. Gina mengangguk-ngangguk lebih meyakinkan bahwa yang dia katakan adalah kebenaran.

Aku putuskan untuk beranjak dari tempat dudukku, pamit pergi ke toilet. Membicarakan diam-diam teman sendiri membuat telinga panas. Meskipun itu memang yang terjadi, lalu pantaskah kita yang hanya orang lain membicarakannya. Jika ingin tahu, tanyalah langsung pada orangnya.

Dewi dengan segala hiruk-pikuknya, santer dibicarakan beberapa hari ini. Berbagai spekulasi muncul, menyebar dengan cepat seperti virus mematikan. Tidak ada yang bisa kulakukan selain terus memperhatikan Dewi, tapi nyatanya dia -terlihat- baik-baik saja hingga hari ini.

"Sedang apa? Melamun?" Ah, Dewi. Dia sedang berdiri di sampingku mencuci tangan di wastafel. Ada beberapa coretan bolpoin di telapak tangannya.

"Setelah ini mau ke mana?" tanyanya sambil menatap bayanganku dari dalam cermin.

"Pulang."

Merapikan jilbab putih yang dikenakannya dia tersenyum, "Cari makan dulu yuk selesai rapat, laper nih."

Keningku berkerut, tidak biasanya Dewi yang akan langsung menghilang setelah waktu kerjanya habis melontarkan ajakan seperti ini. Seringkali malah dia menolak jika ajakan dari teman-teman menghampirinya.

Diamku membuatnya menoleh. Masih dengan senyum cerahnya dia mengedikkan dagu. "Gimana?"

Aku mengangguk ragu-ragu.

***

Rencana makan aku dengan Dewi, sedikit tertunda, bukan batal. Dewi harus pulang karena ada pelanggan yang datang ke rumahnya berniat membeli cengkeh. Jual beli cengkeh, usaha peninggalan sang Ibu menjadi sampingan Dewi sekarang.

KesayanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang