Aku hidup di kota D. Kota dimana banyak motor berjok nungging memadati ruas jalan. Kota yang ingar-bingar dengan kendaraan dari pagi hingga pagi lagi. Padahal kota D bukanlah pusat negeri ini. Tapi karena dipadati bangunan industri, itu semua jadi lain. Kota D bukan kota kelahiranku. Bukan juga kota dimana aku besar dan tumbuh dengan bimbingan ibu. Beberapa tahun silam barulah aku melanjutkan hidup di kota D selepas lulus dari sekolah menengah. Bersama paman, bibi, dan seorang sepupu perempuan kini aku hidup.
Tinggal di kota A, B, C, ataupun D bagiku sama saja. Sama-sama menghirup polusi, sama-sama risi karena deru mesin motor mobil, sama-sama mesti pandai bersosialisasi. Ya, tiap manusia punya karakternya tersendiri. Bagaimana cara kita menyikapi itu adalah kunci agar kita dan lingkungan bisa menerima satu sama lain.
Beberapa dari karakter itu memang sulit untuk diterima batinku. Namun seiring waktu, akupun acuh dengan mereka yang berkepala batu. Toh, masih banyak karakter yang bisa menerimaku, buang mereka yang tidak perlu. Begitulah prinsipku.
Pagi ini dimulai dengan lengkingan bising dari pita suara milik bibi. Buat kepalaku pening.
"Bangun, bangun!" aku sudah paham betul kalimat apalagi yang akan dia ucapkan setelah ini. Tanpa buang waktu, atau sebenarnya aku ingin menghindar dari ocehan asu itu, aku menuju kamar mandi. Memisahkan beberapa helai pakaian: mana yang mudah luntur dan tidak, untuk kucuci sebagai kegiatan pertama di pagi ini.
Muak rasanya jika sehabis mencuci tanganku ini lecet dengan kemerahan yang perih. Selalu kutiup luka-luka itu untuk mengurangi rasa perihnya. Selesai dengan pakaian, aku harus bersiap-siap untuk bekerja. Berbekal botol minum yang terisi penuh, ransel berukuran sedang, dan beberapa lembar uang, akupun berangkat.
Sama seperti biasa, orang-orang juga sibuk dengan urusannya. Bebek-bebek bermesin hilir mudik ingin sampai tujuan. Kulihat kakiku yang masih senantiasa berjalan ke pinggir jalan besar. Jika dipikir, kaki ini sudah terlalu sering bekerja. Dulu, ketika aku tidak punya uang jajan bahkan ongkos pun tak ada, kaki ini dengan kokoh menopang tubuhku. Membawanya ke tempat yang aku ingin. Kadang jika sudah sakit, kaki serasa ingin putus. Mungkin jika dia punya mulut, ribuan keluhan akan terlontar untukku. Aku bersyukur Tuhan hanya menciptakan satu mulut. Karena satu saja sudah bisa bikin perang berlumur darah. Apa jadinya jika seorang manusia memiliki mulut lebih dari satu? Rasa-rasanya aku akan memilih jadi orang tuli jika imajinasiku ini terjadi.Sebuah angkot kuning dengan kapnya yang memanjang kedepan telah parkir di sisi jalan. Aku geli sendiri karena angkot ini mengingatkanku pada moncong sang bibi. Persis, maju beberapa senti. Si supir sengaja berhenti menunggu penumpang sepertiku untuk naik.
Dua ribu rupiah terselip manis di saku celanaku. Masih ada waktu tiga puluh menit sebelum jam kerja masuk. Menghilangkan rasa bosan, aku mengambil ponsel. Memasangkannya dengan headset hitam, lalu kusambungkan ujungnya pada indera pendengaran. Aplikasi bergambar radio jadi pilihanku.
"Selamat pagi! Selamat beraktivitas di awal minggu ini. Bagaimana kabar para pendengar di seberang? Pagi ini di daerah S sedikit mendung. Hm..kalau begini serunya makan yang anget-anget ya. Baiklah, kita dengar dulu sebuah lagu yang bisa menghangatkan hati para pendengar"
Mendung ya? Disini pun begitu. Angin dingin mulai menelusup lewat rongga baju. Menyentuhkan dirinya dengan tubuhku. Jaket yang kukenakan segera kusingkap agar tak ada lagi celah untuk angin dingin masuk. Lewat jendela angkot, terlihat awan gelap terbang beriringan terus keatas kepalaku. Ditambah lagu melow yang kudengar, aku serasa jadi aktor yang tengah memainkan peran sebagai lelaki habis putus cinta tak bisa bangkit lagi karena sudah terlalu mencinta. Cih, sinetron murahan.
"Kiri, Pak."
Seseorang menyetop angkot dan kebetulan sekali disini juga aku turun.
Tan-tin-tan-tin..

KAMU SEDANG MEMBACA
Journey
Ficción GeneralIni bukan sekedar perjalanan. Ini bukan sekedar pengalaman. Ini bukan sekedar kebetulan. Ini juga bukan sekedar takdir biasa. -NFM-