[Gamma] Cappucino

39 9 0
                                    

       Gadis itu mengayuh sepedanya santai. Jalan utama masih senggang pagi ini. Ia terkekeh saat menyadari bahwa ini masih terlalu pagi untuk ia berangkat ke kafe. Dia pun yakin sekali bahwa sahabatnya yang juga merangkap sebagai pemilik kafe juga dapat ia pastikan masih bersiap-siap di rumahnya. Atau kemungkinan terburuknya adalah ia masih bergelung di dalam selimutnya.

       Genangan air akibat hujan tadi malam belum ada satupun yang kering dari sepemantauannya. Akhirnya ia memutuskan untuk memilih jalan yang terjauh untuk sampai ke kafe. Gadis itu bersenandung kecil guna memecahkan kesunyian yang tercipta. Beberapa kendaraan sudah mulai berlalu lalang saat ia berhenti di sebuah toko bunga. Ia teringat, bunga yang berada di dalam vas bunga Sivia sudah layu dua hari yang lalu dan gadis itu belum berniat untuk memindahkan bunganya.

       Sebuah suara menyambutnya hangat ketika bel yang tergantung di sela-sela pintu berdenting menandakan kehadirannya. Senyuman ia ukir kepada pemuda yang tengah mengangkat beberapa bucket bunga. Samar-samar gadis itu mendengar sapaan dari pemuda yang sedang kerepotan di sela ocehannya.

       "Stev, gue butuh bunga Hydrangea." Gadis itu berjalan membantu pemuda tersebut untuk meletakkan beberapa bunga di tempatnya. Pemuda itu berpikir sebentar lalu berjalan ke salah satu keranjang dan mengambil beberapa bunga Hydrangea lalu memberikannya pada gadis tersebut.

        Gadis itu menyerahkan beberapa pecahan uang rupiah dan meletakkannya di atas meja setelah mendengar pemuda tersebut berteriak untuk menaruhnya di situ saja. "Terimakasih, Stev."

       Gadis itu tiba tepat saat temannya hendak membuka pintu kafe. Temannya terdiam menatap gadis yang tengah menyandarkan sepedanya di sebelah kafe. Mereka masuk berbarengan dan mengambil posisi masing-masing. Gadis tersebut meletakkan bunga yang sudah ia beli tadi ke dalam vas sebelum ia membuka pintu dapur untuk membuat kopi.

        "Untuk apa bunga ini, Fy?" Tanya Sivia—teman gadis yang bernama Ify itu saat Ify tengah meroasting kopi. Entah tidak mendengar atau memang tidak berniat membalas, Ify masih tetap diam di sebelah alat roasting dan fokus dengan kopi-kopi di dalamnya.

       Merasa tidak mendapatkan jawaban dari Ify, Sivia hanya melengos dan mengutak-atik laptop yang sekarang sudah berada di hadapannya. Suasana di dalam kafe yang hening memberikan kebebasan pada alat-alat penyangrai kopi untuk mengeluarkan suaranya. Cukup lama mereka berdiam diri, Sivia akhirnya membuka suara setelah Ify datang sambil menghirup kopi buatannya.

       "Bagaimana dengan Cakka?" Setelah perbincangan di pagi hari kemarin, mereka akhirnya sepakat untuk memilih Cakka guna mendekor ulang kafe mereka. Cakka yang merupakan teman dekat Ify saat di kampus dulu memang merupakan anak design interior. Ify mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja seraya mengingat perbincangan yang terjadi di antara dia dan Cakka tadi malam.

       "Katanya kemarin dia mau aja. Tapi dia gak bisa datang hari ini atau lusa. Dia masih ada proyek dengan teman-temannya. Tapi dia bisa pastikan saat dia datang ke sini udah bawa rancangannya."

       "Masalah budget bagaimana?" Sivia tentu saja senang mendengarnya, apalagi dia sudah mendengar kepuasan beberapa orang terhadap hasil tatanan dari tangan telaten Cakka. Tapi bukankah itu membuat harga untuk membutuhkan jasanya semakin tinggi?

       "Tenang saja. Dia ngerti keuangan kita, dia gak bakal pasang tarif kayak ke kliennya. Dia gak bakal tega sama gue." Ify beranjak menuju jendela dan membuka tirai penutup yang menghalangi pemandangan ke luar. Sudah saatnya kafe di buka.

Coffee, Cake, And CafeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang