"Aku tahu, Zoe."
Zora membeku ketika Arsen selesai mengatakan itu, tapi dia tidak mau mengangkat kepalanya. Dia tidak ingin Arsen-atau siapapun-melihat dirinya dalam keadaan seperti ini. Menunjukkan siapa dia sebenarnya hanya akan membuatnya semakin lemah.
Zora menggigil dalam kesakitan ketika mencerna makna dari kalimat Arsen. Jadi ... Arsen sudah tahu? Arsen sudah tahu jika dia seharusnya tidak mendekati Zora? Mungkin memang itu alasan Arsen datang kesini. Dan di titik ini, Zora tahu dia tidak dapat melakukan apapun untuk mencegahnya.
Biarlah. Jika melepaskan adalah satu-satunya cara untuk membuat Arsen bahagia, Zora rela melakukannya. Lagipula, di dunia ini tak ada yang abadi, kan? Memangnya Zora bisa apa jika sudah menyangkut tentang takdir?
Tapi tetap saja. Ada rasa sakit tak tersangkal ketika Zora berharap jika Arsen akan bertahan di sampingnya apapun yang terjadi. Mungkin memang benar. Cinta mereka berdua kurang kuat. Hubungan ini mungkin tidak bisa lagi dipertahankan.
Isak tangis Zora sudah berhenti, dan dia memberanikan diri untuk mendongak sehingga matanya langsung bertatapan dengan mata tajam milik Arsen. Tapi tetap saja. Tidak pernah ada emosi disana.
Zora menghapus jejak air mata di pipinya dengan kasar kemudian memalingkan wajah ke arah jendela yang memperlihatkan bulan pucat di luar sana. "Kamu mendingan pergi, Arsen. Ini bukan tempat kamu."
"Lampunya nyalain ya, Zoe?" Arsen mencondongkan badan untuk menyalakan lampu tidur yang berada di atas nakas.
"Jangan!" seru Zora refleks sambil menahan tangan Arsen dengan cengkeraman yang kuat. Tangannya gemetar dan dia menahan diri agar tidak menangis lagi. Ayolah! Sejak kapan dia menjadi gadis lemah, coba? "Jangan, Arsen. Jangan, please."
Ekspresi wajah Arsen tidak terlihat jelas di kegelapan, tapi Zora bertaruh Arsen sedang terkejut sekarang jika dilihat dari nada suaranya. "Kenapa?"
Zora menurunkan tangannya dari tangan Arsen dan memeluk kakinya sendiri sambil menatap lurus ke depan. "Kegelapan itu lebih nyaman, Arsen. Aku gak bisa liat apa-apa. Disini, gak ada yang perlu aku takutin. Aku merasa ..." Zora terdiam sejenak untuk menghela napas panjang. "... aman."
"Kegelapan nggak membuat kamu aman," Arsen berbicara dengan nada hangat yang membuat hati Zora sakit. Jika Arsen memang ingin meninggalkannya, kenapa Arsen harus begitu peduli padanya? "Buat apa menghukum diri kamu sendiri dengan kegelapan kalau orang-orang berebut untuk memberi kamu cahaya?"
Zora menggelengkan kepala sambil tersenyum getir. "Mereka bukan mau memberi aku cahaya. Mereka cuma berpura-pura, Arsen. Mereka cuma kasian. Aku ... aku nggak bisa."
Arsen mengacak rambut frustasi dan ada penyesalan di kepala Zora ketika dia membuat Arsen marah. "Kamu tahu, bukan dunia yang menjauhimu. Tapi kamu yang mendorong dunia agar menjauh."
Zora menghela napas letih sambil turun dari tempat tidur dan berjalan ke arah jendela. Entah kenapa, dia lebih suka melihat dunia dalam kegelapan. Rasanya ada ketenangan aneh yang tak dapat dijelaskan ketika dia tahu jika dunia mengalami kegelapan yang sama seperti yang dia rasakan.
"Kamu nggak ngerti," lirih Zora sambil menempelkan telapak tangannya di permukaan kaca yang dingin. "Kamu gak ngerasain gimana rasanya jadi aku. Kamu gak akan pernah tau gimana rasanya."
"Karena kamu gak pernah ngasih kesempatan buat aku ngerasain itu semua sama kamu, Zora Aurora. Kamu selalu nyimpen semuanya sendiri. Kenapa kamu gak pernah bisa percaya sama aku sih, Zoe? Kenapa?"
"Karena aku tau kamu gak sayang aku!" seru Zora keras sambil membalikkan badannya ke arah Arsen. Bayangan tentang Arsen dan Rissa melintas kembali dan membuat Zora memejamkan matanya erat-erat. "Aku gak ngerti. Kalau kamu gak cinta aku, kenapa kamu mempertahanin aku, sih? Kenapa kamu selalu ngasih harapan, Arsen Antariksa?"
"Kamu ngomong apa sih?" tanya Arsen dengan nada datar sehingga Zora tidak dapat memperkirakan emosinya. Zora tersenyum getir. Lagipula, dia sudah tahu .
"Aku itu pembawa sial. Kamu juga punya cewek lain yang kamu sayang, kan?" Meski sudah menyiapkan mental, Zora tetap saja tidak dapat menahan air mata ketika membayangkan Arsen dan Rissa bersama. "Terus kenapa kamu masih ada disini?"
Arsen bangkit dari duduknya dan baru mengambil beberapa langkah ketika Zora berseru sambil menjulurkan tangan di depan tubuhnya. "Jangan! Jangan mendekat! Arsen, please, mundur!"
"Kamu kenapa sih?"
Air mata berjatuhan dari pelupuk mata Zora sementara dia menggigit bibirnya sendiri agar tidak mengeluarkan isak tangis yang memalukan. Ayolah! Zora tidak boleh tiba-tiba menjadi lemah seperti ini. "A-Arsen, kamu sebaiknya nggak-"
"Kecelakaan itu bukan salah kamu." Zora bersumpah Arsen tidak pernah berbicara dengan nada selembut ini. "Kamu gak akan pernah bisa ngelawan takdir, Zoe."
"Tapi dia pasti masih ada disini kalau aja waktu itu aku gak minta jalan-jalan!" suara Zora bergetar dan dia merasakan sesuatu menggumpal di tenggorokannya. "Mama dan Papa pasti masih sayang sama aku kalau aja aku gak buat dia meninggal!"
"Mereka masih sayang kamu!" Arsen maju selangkah dan Zora memilih untuk tidak mempermasalahkannya. "Mereka sayang kamu, Zoe, tapi kamu yang menolak untuk disayangi! Kamu yang mendorong kami semua buat jauhin kamu, Zoe."
"Aku gak berhak untuk bahagia." Akhirnya, semua beban batinnya berhasil Zora keluarkan dalam sebuah kalimat yang masih dapat menohok jantungnya hingga titik terdalam. Kemudian, dia membalikkan badan ke arah jendela untuk menyembunyikan tangisnya yang sama sekali tidak anggun. Persetan lah!
"Kamu pikir kamu siapa sampai kamu bisa menghakimi diri kamu sendiri?" Arsen sama sekali tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mengeluarkan desahan napas yang teratur. "Tuhan aja Maha Pengampun, Zoe. Kenapa kamu malah gak pernah nyoba buat maafin diri kamu sendiri?"
"Karena mereka juga gak pernah maafin aku," kata Zora di tengah-tengah isak tangisnya yang sulit berhenti. "Mereka terlalu sayang sama Kak Rora. Mereka bahkan gak pernah nganggap aku ada."
"Kamu yang selalu berpura-pura jika kamu nggak ada," balas Arsen masih tak bergerak.
"Karena pada akhirnya tetap aku yang bakalan salah, kan?" Zora membalikkan badan hingga berhadapan dengan Arsen tanpa berniat menghapus air mata yang membasahi pipinya. "Apapun yang aku lakuin, aku bakal tetap keliatan salah di mata kalian, kan?"
"Zoe, bukan kayak git-"
"Cukup," pinta Zora dengan nada final yang jelas sekali tak ingin dibantah. "Cukup. Kamu sebaiknya pergi. Ini batas keras aku, Arsen."
Dan pada akhirnya, Zora hanya bisa mengamati siluet Arsen yang hilang di balik pintu kamar Zora yang ditutup dengan lembut. Setiap langkah Arsen yang menuruni tangga menimbulkan bunyi yang bergema di rumah itu. Setiap hentakan sepatunya meninggalkan luka baru di hati Zora.
Pada akhirnya, Arsen juga akan pergi, kan?
"Kalau kamu sayang Rissa, maka aku yang akan pergi buat kamu," bisik Zora lirih pada jendela yang memperlihatkan Arsen yang baru saja menaiki motornya. Arsen menengadah dan menatap tepat ke jendela Zora, tapi Zora tahu Arsen tidak akan bisa melihat apapun.
Karena Zora selalu berusaha melihat apa yang disembunyikan orang lain, tapi mereka tak akan tahu apa yang dia sembunyikan.
Karena bagaimana pun juga dia hanyalah gadis biasa dengan seribu luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting In The Dark [END]
Teen FictionZora mencintai Arsen sebagaimana bayangan mencintai bendanya. Zora memuja Arsen sebagaimana siang memuja matahari. Tapi Arsen tak pernah ada ketika Zora membutuhkannya. Arsen tak pernah ada ketika Zora lelah menghadapi dunia ini sendiri. Arsen tak p...