Mama yang sudah duduk di ruang tamu ketika hari masih sore seperti ini jelas bukanlah hal yang pernah Zora bayangkan. Jadi Zora hanya mematung ketika Yunna berdiri dan menyambutnya dengan senyum merekah yang sudah lama tidak Zora lihat. "Wah, Ra. Kamu bawa temen ya? Kok nggak bilang-bilang?"
Hal yang paling diinginkan Zora sekarang adalah berlari ke lantai atas dan menenggelamkan dirinya dalam kehangatan selimut. Tapi bukannya melakukan apa yang diperintahkan instingnya itu, Zora malah tersenyum dan berkata, "Kak Rafa kelaparan katanya." Dia kagum pada ketenangannya sendiri, meskipun jantung dan perutnya bergemuruh sekarang.
Rafa menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti, "Lo jujur banget elah." Lalu dia tersenyum sungkan dan meminta maaf pada Yunna. "Maaf, Bu. Sebenarnya, saya cuma bercanda, kok."
"Iya, iya, tidak apa-apa," kata Yunna di sela-sela tawa anggunnya. Dia mempersilakan Rafa dan Zora untuk duduk di sofa yang ada di depannya, dan dia tersenyum tulus ketika Rafa menarik Zora agar duduk di sampingnya. "Nak Rafa ingin minum apa?"
Rafa meringis dan bergerak tak nyaman di tempatnya. "Eh, nggak usah, Bu. Saya bercanda, kok. Saya cuma mau mampir sebentar."
"Biar aku aja yang ngambilin minumnya, Ma. Mama duduk lagi aja," ujar Zora tiba-tiba sambil bangkit dari duduknya. Dia berbalik ke arah Rafa dan meletakkan tas belanjaannya di sofa yang tadi dia duduki. "Mau minum apa, Kak? Nggak usah jaim gitu."
Rafa memutar bola mata. "Apa aja deh."
Tanpa mengatakan apapun lagi, Zora melangkah ke arah dapur dan meninggalkan suasana hening di ruang tamu. Yunna duduk di seberang Rafa dengan canggung, kemudian memilih untuk membuka percakapan. "Jadi, kau itu temannya Zora?"
Rafa terlihat berusaha sangat keras untuk mempertahankan ketenangannya. "Nggak juga sih, tante. Saya-gimana ya, rumit pokoknya. Yang jelas, saya itu kakak kelasnya Zora."
"Kau tidak suka padanya, kan?" tanya Yunna dengan mata menyipit sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan.
Rafa tersentak di tempat duduknya. "Kenapa tante nanya kayak gitu?"
Yunna membenarkan kembali posisi duduknya menjadi tegak dengan gaya aristokrat yang anggun. Rafa bahkan bertanya-tanya kenapa sifat anggun itu sama sekali tidak menurun kepada Zora. "Ya, tidak apa-apa sih. Hanya saja, Zora tidak pernah membawa temannya ke rumah-kecuali pacarnya, Arsen."
"Nah," sebuah senyum muncul di bibir Rafa. "Tante juga sudah tau pacarnya Zora, kan? Saya nggak akan berani bersaing dengan Arsen."
"Tapi jika kau mencintainya, kenapa tidak?"
Rafa baru saja membuka mulutnya ketika terdengar suara berkelontang yang keras dari dapur. Pasti Zora. Mengabaikan kesopanan dan tatakrama, Rafa berteriak, "Ra, lo-"
"Aku nggak apa-apa," Zora balas berteriak dari dapur dengan suara samar. Kemudian, terdengar sesuatu jatuh lagi, sepertinya kali ini adalah panci. "Iya, seriusan!"
Yunna menggelengkan kepala dengan senyum hangat di bibirnya. "Zora memang tak pernah berubah. Dia selalu saja ceroboh seperti itu."
"Dia penuh kejutan," gumam Rafa refleks, dan dia tersentak begitu menyadari apa yang dia katakan. "Eh, maksud saya-"
"Dia memang begitu mengagumkan," sela Yunna sambil menumpangkan kakinya diatas kaki yang lain. "Dia pantas disayangi. Kau juga menyayanginya, kan?"
Rafa mengangguk sambil tersenyum. "Semua orang menyayanginya, dan saya pun begitu." Kemudian, dia menatap ke arah Zora yang sedang membawa nampan berisi tiga gelas minuman di kejauhan. "Tapi cara saya menyayanginya berbeda dengan cara yang mereka duga."
KAMU SEDANG MEMBACA
Waiting In The Dark [END]
Teen FictionZora mencintai Arsen sebagaimana bayangan mencintai bendanya. Zora memuja Arsen sebagaimana siang memuja matahari. Tapi Arsen tak pernah ada ketika Zora membutuhkannya. Arsen tak pernah ada ketika Zora lelah menghadapi dunia ini sendiri. Arsen tak p...