SHOES ⭕ 2

129 13 13
                                    

*TYPO BERTEBARAN*

"Jadi, Bapak rasa kalian sudah kenal dengan anak yang duduk di sebelah Leia." Kata Pak Faisal, guru agama-ku.

Serentak kami menggeleng, kecuali gue.

Pak Faisal menganggukkan kepalanya. "Baik, kalau begitu kita perkenalan dahulu," Pak Faisal menatap Yodim, "Kamu maju."

"Langsung perkenalkan diri kamu."

"Nama saya Yodim Gaksa Saung. Kelahiran Malang, 26 Juni. Panggil saya Yodim atau Gaksa. Terima kasih." Yodim tersenyum ramah. Yang membuat para wanita-wanita di kelas-ku terbuai.

Wajar aja sih. Yodim lumayan ganteng. Apalagi rambutnya yang agak messy kaya orang gak pernah sisiran. Tapi, itu malah jadi nilai plus penampilannya.

Hidung-nya gak mancung dan gak pesek. Mata-nya yang berhias kantung mata di bawahnya, yang ngga terlalu tebel. Bibir-nya tipis dengan warna agak merah muda. Jangan lupa-kan tinggi badan yang lumayan tinggi. Pepaduan yang pas.

Loh, kok malah jadi ngomongin Yodim? Kembali ke realita. Yodim kembali ke tempat duduk-nya yang berada di sebelah gue.

Pak Faisal memulai pelajaran dengan menyuruh kami mengerjakan soal di halaman 78 Bagian A dan B. Lalu, Pak Faisal pergi keluar kelas gak tau ngapain.

"Le, le." Gita mencolek bahu-ku.

Gue membalik-kan badan. Dan mengangkat sebelah alis gue.

"Awkarin sama Gaga baru jadian."

"LAH? Eh, serius demi apa lu? Baru jadian? LAH. Gue kira udah dari kapan tau. Kapan jadian tuh?" Gue kaget.

"14 Februari. Pas valentine. Gile kan lu? Mana si Gaga sweet as fuck. Kalo kata Jovi Hunter sih, Bingits." Gita memeperkan penjelasannya dengan nada Jovi Adhiguna di belakangnya.

"Ih, sweet banget. Lah anjir! Terus, terus? Tanya gue gak sabar.

Gita menjelaskan semua-nya secara detail. Yang membuat gue gigit-gigit dasi sekolah gue gemas. Efek orang gak pernah pacaran gini nih, apalagi tergila-gila sama tokoh di suatu novel.

"Ssstt. Heh, kerjain buru. Rame banget." Kata si Vito, sang Bapak Presiden. Maksudnya, ketua kelas.

"Maaf, Pak Pres. Dikit lagi kelar, kok." Ucap gue meminta maaf seraya menundukkan kepala.

Wajar aja sih, karena sang Presiden ini sangatlah galak. Bisa aja kalau lu bolos dari suatu matpel. Dia bersama seksi keamanan akan mengelilingi sekolah sampe gempor kali. Sekolah tempat gue belajar itu besar. Kalo lu mau jogging atau lari datang kesekolah gue. Dijamin akan menghasilkan banyak keringat.

"Selese. Hah, nomor berapa lu Le?" Tanya Yodim ke gue sambil menguletkan badannya.

Gue menutup buku gue dan menaruh pulpen berwana hitam dengan tinta biru diatas buku agama. Dan menolehkan kepala gue ke Yodim.

"Kelar."

Yodim hanya ber-oh ria. "Lu tadi ngomongin Gaga sama Awkarin?"

Gue mengangguk.

"Oh." Oh aja terus sampe Pak Faisal punya anak ke-8.

Bapak Presiden bersama Ibu Wakil Presiden berjalan beriringan keluar kelas, untuk mencari Pak Faisal mungkin?

"Yod, kok lu pindah ke sini napa?" Gue berusaha mengajak Yodim berbicara.

"Ya, gitu. Bapak gue kerja di Malang. Terus dinas, ya kan bahasanya? Nah iya. Dinas ke Jakarta. Mungkin untuk 3 atau 4 Tahun ini stay di Jakarta."

"Berarti hidup lu enak dong? Jalan-jalan terus. Netap di suatu kota, terus pergi ke kota lain." Gue memiringkan bibir gue.

"Ya enak sih. Kayaknya dari gue lahir gue udah ke Sumatra, Jawa, Kalimantan, Papua kayaknya udah pernah deh, lupa gue."

"Wes. Sekalian aja keliling Indonesia Bang," ucap gue, "Lu enak, jalan-jalan. Lah gue? Anak rumahan. Mentok-mentok kalo weekend maennya di Jakarta Utara. Pulau Seribu." Lah, gue curhat.

Yodim ketawa. "Makanya refreshing jadi orang tuh. Kaya gue nih." Yodim menyombongkan diri.

"Tapi, jadi anak jalanan kaya lu juga ada gak enaknya lah. Gak enaknya apa?"

"Anak Jalanan, lu kata acara yang ada di tv apa?" Yodim memberikan muka kecut.

Gue tersenyum minta maaf.

"Gak enaknya menurut gue pribadi. Kalo kita gak cocok sama tempatnya, dan lu harus netap di situ. Lu bakal ngerasa gak nyaman kan? Rasanya pengen cepet-cepet pergi dari tempat itu." Ini pemikiran gue doang atau emang aslinya si Yodim ini curcol?

"Yang gak enak kedua, kalo lo dikucilkan di situ pake bahasa daerah. Apa daya lu yang gak ngerti? Siapa tau mereka ngomongin kita, kan?" Yep, nih anak beneran curhat.

"Wes, lu curcol nih ceritanya?" Tanya gue sambil menepuk pundaknya.

"Hahahaha. Ngga lah. Cuma ngeluarin pendapat gue aja." Davion nge-les.

Gue ini tipe orang yang peka. Gue peka terhadap lingkungan sekitar. Gue peka baca pikiran orang, tapi gue bukan mind reader. Gue bisa tau perasaan orang dengan liat cara dia ngomong, senyum, dan natap orang lain. Istilahnya gue kaya psikolog kw-an gitu.

Gue juga peka kalo ada orang yang ngeliatin gue. Gue serasa dapet feel yang bikin gue risih. For your information gaes, gue orang yang kalo diliatin risih, bukan salting. Jadi, kalo ada yang liatin gue dari jauh sekalipun, gue masih nyadar. Keren kan?

Pintu kelas terbuka yang langsung membuat anak-anak yang tadinya ramai langsung diam seketika dan duduk di tempat masing-masing.

"Oy, Pak Faisal lagi ke Rumah Sakit. Istrinya mau melahirkan," Kata Vito dengan Denata di sebelahnya. "Jadi, selama satu jam ke depan kita free."

Semuanya langsung bersorak gembira.

"Tapi," Denata mengambil alih.

Kompak anak sekelas mendesah kecewa. Biasanya, kalau ada kata 'Tapi' pertanda buruk.

"Yang belum selesai kerjalan tugasnya sampai selesai. Lalu, yang sudah selesai kumpulkan di meja guru di depan kelas. Nanti, akan di antar oleh petugas piket," ucap Denata, "Yang piket, jangan kabur. Yang kabur, dicatat namanya sama sekretaris. Terima kasih dan mohon kerja samanya." Lalu Vito dan Denata kembali duduk di kursi-nya masing-masing.

Ye, penonton ini kecewa bung. Orang mau berleha-leha di kantin atau gak di ruang gymnastics.

Tunggu, tunggu. Bukannya gue udah selesai ya? Ya sudah lah. Anggap saja itu perwakilan suara dari anak-anak yang belum selesai.

^^^

910 Words.

BUNG! Chapter terlapanjang yang pernah aku buat. Ide mengalir bagai sungai. Sehari dapet 910 words. Cool man!

Typo bertebaran, right?

Keep in touch gaes! Jangan lupa vote atau comments atau Vomments. Mampir juga ya di lapak sebelah. 'Song For My Life'

Saran dan kritiknya di tungggu.

Rara, 4-3-2016

ShoesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang