Matahari mulai tenggelam dan hari menjelang malam, mobil mereka satu-satunya yang melintas di jalanan. Dalam kegelapan Lusi dan yang lain masih bisa melihat masih ada orang normal di dalam mobil-mobil di pinggir jalan yang mereka lewati. Mengkeret ketakutan, terdiam seperti patung sambil duduk memeluk kedua lututnya di sudut mobil atau memandangi mereka dengan tatapan kosong. Mungkin mereka syok berat sehingga tak bergerak kemana-mana.
"Gila ini benar-benar gila!" ujar Angga ketika menemukan tempat yang dirasa aman untuk memberhentikan mobil. Hanya terlihat beberapa Obs namun dengan jarak beberapa ratus meter dari mereka.
"Semua baik-baik saja?" tanya Albert, melemparkan pandangan ke seluruh anggota.
"Ya," kata Helen yang sudah kembali duduk ke kursinya, setelah menengok ke semua orang di belakang ia berseru, "tidak ada yang luka parah."
"Bagus lah kalau begitu. Angga perlu istirahat, Adam, kamu yang menyetir."
Adam langsung beranjak keluar mobil, memutar lewat belakang lalu berhenti tepat di depan pintu supir. Angga keluar dan berdiri di hadapannya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Adam, tak mendapat jawaban apapun dari Angga. Pria yang kini hanya mengenakan kaus putih itu justru menabrak bahu Adam, membuka pintu penumpang, masuk dan duduk di samping Helen.
Adam menghembuskan nafas berat lalu menutup pintu mobil di sampingnya. Mengenakan safety belt dan menengok ke arah Albert. "Jika bertemu masjid, boleh kita berhenti?" tanya Adam.
Wajah Albert terlihat bingung, "Tentu saja, jika itu aman."
"Terima kasih, karena aku harus sholat." Adam lalu menyalakan kembali mesin mobil dan mengendarainya.
Seisi mobil memandang ke arah Adam dengan tatapan heran yang sama. Mendengar kata sholat atau ibadah sungguh asing di telinga mereka saat ini. Agama menjadi hal yang tidak dipermasalahkan lagi semenjak kolom agama dihapus pemerintah dari Kartu Tanda Penduduk warga Indonesia. Kawula muda semakin tak ada yang berpegang erat pada imannya karena seakan ketinggalan jaman dan kuno. Mendengar Adam ingin sholat dalam keadaan genting seperti ini, mereka seakan tertohok karena tiba-tiba mengingat sosok Tuhan yang sempat mereka lupakan.
Mengambil jalan yang memutar dan tak sesuai jalur memang memakan waktu lebih lama dan melelahkan. Namun setidaknya tim bisa bernafas lebih lega karena jalur yang mereka lewati tak begitu banyak Obs, melainkan mayat-mayat yang beserakan dan beberapa perumahan warga yang tertutup rapat. Helen dan Lidia terus berdiskusi sepanjang jalan, mengapa ada mayat yang tetap tergeletak hingga membusuk, sementara siapapun yang tergigit Obs harusnya pasti menjadi bagian dari mereka juga. Lusi tak tertarik dengan apapun, ia hanya merasakan perutnya bergemerucuk lapar.
Satu jam berkendara, Adam memberhentikan mobil di depan sebuah mesjid, "Aku sholat dulu," ucapnya berdiri di depan pintu mobil, "ada yang mau ikut?" ajaknya namun seisi mobil malah saling pandang. Adam kemudian tersenyum, "Baiklah kalau begitu aku sendiri saja." Ia hendak menutup pintu mobil ketika Joko berteriak, "Aku ikut!"
Angga kemudian membukakan pintu untuk Joko dan ikut turun.
"Kami tunggu di mobil saja." ujar Albert berserta anggukan dari Helen dan Lidia yang merasa tak mampu keluar mobil dengan bau bangkai di mana-mana.
Lusi terdiam di tempat duduknya, memandang ke arah Joko, Adam dan Angga yang berjalan masuk ke dalam mesjid yang tampaknya aman. Mesjid adalah tempat yang jarang didatangi orang-orang akhir-akhir ini, pastinya tak banyak mayat berserakan di dalam sana dan tak ada Obs yang berkeliaran mengotori tempat suci tersebut.
Setengah jam menunggu di dalam mobil, Helen jatuh tertidur. Sementara Lidia dan Albert mencoba menghubungi Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertahanan untuk melaporkan daerah mana saja yang masih terlihat banyak orang bersembunyi di dalam rumah.
Jakarta benar-benar menjadi kota mati. Tak ada kehidupan berarti di sepanjang pandangan mata. Lampu-lampu jalanan mati dan udara benar-benar dingin. Albert bahkan terus berusaha untuk mengobrol dengan Lidia agar suasana tidak menjadi lebih mencekam. Gadis ini berwawasan luas, sehingga pembicaraan mereka bisa tetap menarik walaupun berganti topik. Meskipun Albert sering kebingungan saat Lidia berbicara dalam bahasa Inggris dengan ucapan yang lumayan panjang, Albert tak begitu pintar berbahasa Inggris.
Adam, Joko dan Angga terlihat berjalan keluar area mesjid, Adam membawa sehelai sajadah di tangannya. Dalam langkahnya memasuki mobil Angga yang berada di paling depan tiba-tiba berhenti dan merentangkan tangannya sehingga kedua orang di belakangnya ikut berhenti, seketika berubah siaga.
"Ssshh!" desis Angga, menunjuk ke sisi kiri masjid, tempat yang ditumbuhi beberapa pohon besar dan benar-benar gelap. Adam dan Joko menyipitkan mata memperhatikan ke arah yang sama, Albert perlahan mengangkat SS4 Pindad-nya dan menurunkan kaca jendela mobil.
"Jalan berjinjit!" saran Albert dengan suara yang hampir berupa bisikan.
Angga mengangkat tangan kirinya lalu mengancungkan telunjuk pada dua orang yang ada di belakangnya. Adam dan Joko paham maksud Angga dan tetap berdiri di tempat ketika Angga bergerak perlahan memutari bagian depan mobil dan membuka pintu supir perlahan. Obs yang ada di bawah pohon terlihat mengerakkan kepalanya dan memutar posisi berdirinya. Joko mulai gemetar, Adam menarik lengannya bermaksud membimbing langkah namun Joko tak mau bergerak, wajahnya pucat pasi.
"Ayo!" paksa Adam, menarik tangannya lebih kencang lalu melangkahkan kaki, tak berpikir bahwa tindakannya bisa membuat Joko jatuh tengkurap di tanah.
"Cepat bangun! Masuk!" teriak Albert melihat dua Obs bergerak menjauhi pohon dengan langkah kaki yang lumayan cepat.
Helen yang terbangun karena teriakan Albert, segera membukakan pintu mobil. Dengan gemetar Joko merangkak bangun sementara Adam sudah masuk ke dalam mobil. Satu Obs berjarak satu meter berlari ke arahnya, Joko mempercepat langkah dan melompat masuk ke mobil. Angga menyalakan mesin mobil dan segera menginjak pedal gas. Kaki Joko yang masih di ambang pintu terkena cengkraman Obs yang ikut terseret ketika mobil berjalan kencang, Lidia dan Adam menarik tubuh Joko sementara Helen bersiap menutup pintu mobil. Obs tersebut tak kunjung melepaskan cengkaramannya walaupun tubuhnya yang terseret mulai hancur terkena aspal. Joko berteriak histeris.
Albert mengangkat SS4 Pindad-nya dan mengarahkan pada kepala Obs yang terseret mobil dan menembaknya. Begitu Obs tersebut terjatuh Dengan bantuan Adam dan Lidia, Joko langsung menarik kakinya. Helen dengan sigap langsung menutup pintu. "Ya Allah Gusti! Ya ampun Gusti!" erang Joko merasakan sakit di pergelangan kakinya yang berdarah. Albert menembak satu Obs lainnya yang masih berlari mengejar mobil.
"Periksa kakinya!" perintah Albert pada Helen setelah menurunkan senapannya dan menutup jendela mobil.
"Tidak terlalu parah," ujar Helen setelah mengangkat ujung celana Joko dan memperhatikan pergelangan kakinya. "Obs tadi mencengkeram tepat di sepatunya jadi kulitnya tidak banyak terkoyak," tambah Helen kemudian mengeluarkan obat-obatan dari dalam tasnya.
Adam kembali duduk di kursi belakang, menengok heran ke arah Lusi yang terdiam kaku di pojok. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, dan Lusi tak menjawab. Adam tahu gadis ini tidak baik-baik saja. Ia mengambil tasnya di bawah kursi, mengambil sebuah botol mineral dan membuka tutupnya lalu menyodorkannya pada Lusi yang langsung mengambil dan menenggak isinya dengan tangan gemetar.
"Atur nafasmu." Adam membantu mengelus punggungnya dengan lembut. Kini ia tahu mengapa gadis ini tidak banyak bicara ataupun berteriak di saat yang mencekam seperti tadi. Gadis ini pasti menderita gangguan kecemasan, gejala yang Lusi tunjukkan sama persis dengan Juli, istrinya. Juli juga menderita Anxiety Disorder dan pernah mengidap Sociophobia. Ditatapnya lagi Lusi, dalam perkenalan Dony menyebutkan usia gadis ini baru menginjak 25 tahun, seumur dengan Angga, Adam menyesalkan kenapa Rama mengirim Lusi ke dalam tim ini. Suasana ini pasti sangat menyiksanya.
"Tidur saja dulu." Adam membuka jaket biru yang ia kenakan dan menutupi tubuh Lusi yang bersandar di pojok dan memejamkan matanya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
JAKARTA'S RUIN
Science FictionBeberapa part di private. Follow account terlebih dahulu. Apakah kau bisa bertahan hidup? Ketika dikirim ke sebuah kota yang hancur dan membahayakan nyawamu? Jakarta. Cover by @ReiFaldi & @Arisyifa92 Highest Ranks #3 in Science Fiction (10.04.2016)