part 2

18K 1K 59
                                    

Bukan hanya sekedar maaf

Menikah adalah saling berbagi dengan teman hidup, menikmati perjalanan panjang dan penuh liku, kemudian bersama sampai ditempat tujuan yang paling indah tanpa terpisahkan.



Fatah meneguk berkali-kali air didalam gelas. Dalam hati dia sadar telah melakukan kesalahan yang begitu fatal tadi. Membuat Sabrin menangis bagaikan kiamat dalam hidupnya. Padahal hanya sekali dia membuat Sabrin menangis kala itu karena hubungan mereka masih terbilang baru, lalu mengapa sekarang ini dia kembali melakukannya lagi.

Harusnya tadi dia jangan membalas semua kata-kata Sabrin dengan penuh emosi, seharusnya bila Sabrin dalam keadaan seperti itu dialah yang bertugas memadamkannya. Bukan sebaliknya.

Terlalu banyak kata seharusnya yang berputar dalam pikirannya saat ini. Dan rasa penyesalan yang mendominasi semuanya.

Kadang kata orang memang benar, mulut mu harimau mu. Semua yang terucapkan tidak akan mungkin terhapus begitu saja. Sakit yang terasa didalam hati tidak akan sembuh walau beribu kata maaf terucap.

Fatah membentur-benturkan kepalanya pada lemari es didepannya. Sejak keluar dari kamar tadi, Fatah langsung mencari segelas air putih untuk menghapus amarahnya. Hingga kini dia seperti enggan untuk beranjak. Dia terlalu takut menghadapi kenyataan bila Sabrin masih terus menangis didalam kamar.

"Ya Allah mas, kamu ngapain?" tanya Mama yang menatap bingung putra sulungnya tengah bersandar pada lemari es. Disamping sang mama ada Mami, ibu mertua Fatah, yang turut mengerutkan kening tanda tidak mengerti.

Fatah membalik posisinya, menghadap kedua ibu yang sangat penting dalam hidupnya.

"Mas sudah salah Ma" lirihnya. Dia menunduk tak enak hati bila Mami tahu dia telah membuat Sabrin menangis kembali.

"Salah?" tanya Mami.

"Minta maaflah bila salah. Jangan sampai kesalahan mu menjadi berlarut-larut. Manusia salah itu wajar. Karena bagaimana pun sempurnanya manusia, tetap saja manusia itu makhluk ciptaan Tuhan. Bukan yang menciptakan" nasihat mama walau dia belum mengetahui Fatah memiliki kesalahan seperti apa.

Fatah mengangguk paham atas apa yang dikatakan mamanya, ia ingin kembali ke kamar untuk menemui Sabrin namun ternyata istrinya itu sudah berjalan turun dari arah kamar.

Dari wajahnya yang putih pucat, masih nampak terlihat bila wanita ini mengeluarkan sangat banyak air matanya.

Pagi ini Sabrin nampak begitu sederhana. Ia hanya memakai abaya putih gading dengan hijab berwarna cokelat keemasan. Warna yang ditimbulkan dari hijab tersebut membuat wajahnya kurang memancarkan cahaya. Mungkin memang raut wajahnya kini seperti bumi yang habis di guyur hujan lebat.

Tidak ada senyum, tidak ada suara. Ia hanya melirik kearah Mami sambil menggendong Syafiq ditangan kirinya. Sedangkan tangan kanannya sudah berisi tas yang cukup besar berisikan keperluan Syafiq seharian ini.

Syafiq yang berada dalam gendongan Sabrin sibuk membenarkan posisi tali tas yang bahunya sandang. Tas kecil tersebut bentuk bulat, bergambar fotonya sedang memakai baju koko putih.

Kebetulan tas tersebut hadiah dari paman tercintanya pada ulang tahun keduanya waktu itu. Dan sekarang tas itu sangat bermanfaat untuk diisikan perlengkapan sekolah pertamanya.

"Kamu sudah siap Rin?" Mami melirik Fatah yang terus saja menatap Sabrin tanpa bersuara.

Sabrin menjawabnya hanya dengan anggukan kepala, lalu berjalan terlebih dahulu ke luar rumah.
"Dah ayah..." teriak Syafiq sambil melambaikan tangan kearah Fatah.

Complete MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang