Dewadaru

10 0 0
                                    

10 September 2012

17.00

Langit emas bersilang silau di depan mataku. Aku menuruni KRT disambut oleh penjaja makanan dan ibu - ibu berbakul. Aku hanya seorang diantara banyak kepala - kepala yang diisi oleh tujuan masing - masing. Aku melihat berbagai macam orang disini. Ada yang sibuk merokok, Ibu menanyai anaknya, Porter pembawa barang, Ibu berbakul dari pasar, dan yang terpenting, ada senja di langit Semarang. Jingga dan ungu, yang membuatku lupa tentang Jakarta yang tanpa sore. Semarang memiliki hubungan khusus denganku, mengingatkanku tentang ingatan masa SMA.

2002

"Eh Cang Kocang anak sawah, PR Sosio dong.." Bahuku disambar oleh Weta. Icang, nama kecilku, sering diejek oleh tiga sahabat karibku. Aku tidak faham, dimana letak lucunya. Kami berempat selalu bersama sejak SMP. Aku, Weta, Dona, dan Andri. Dari kami berempat tidak ada yang spesial, kami adalah perkumpulan remaja biasa dari remaja paling biasa. Hanya Andri saja yang beda karena mata sipitnya dan kulit pucatnya. Lainnya, tidak ada yang istimewa menurutku.

"Icang kau sudah selesai belum PR sosio?" tanya Dona. "Wes ta Cang, Pindah IPA wae to. Aku raonok sing tak jangkepke iki fisika" Dapuk Andri dengan logat Jawanya yang kental. Meski wajahnya singkek, Andri tetap menjadi nomor satu termedok sekelas. "Sebentar saya lapar, maem dulu" Sambil kubuka bekal makan siangku. Yang jaman itu, bekal makan siang sudah sangatlah kuno untuk remaja lelaki 17 tahun. Tapi lidahku hanya cocok dengan masakan ibu. Mereka bertiga sering bahkan tiap hari mengajakku jajan ke kantin. Apa daya aku tidak disangu dan aku tetap makan bekalku siang ini.

2012

Sudah 3 tahun ini aku tidak pernah ikut ke pertemuan tahunan kami berempat. Aku sibuk. Susah memang mengatur jadwal pertemuan klien dengan pertemuan ini. Karena Andri akan menikah tidak ada salahnya setor muka. Meski nyali yang harus kubulatkan butuh satu bulan lamanya.

17.30

Aku sampai di bandara A. Yani langsung transit ke jetplane kecil menuju dewadaru.

17.40

Kakiku menapak tangga kecil di limbungan, yang tampaknya berteriak kecil dari tadi. Bau amis dan angin asin terasa. Menyisakan buih dan kristal - kristal terkena limbur air laut. Di tepian pantai aku mengangkat koperku. Bajuku, rambutku, ujung celanaku bergoyang mengikuti angin. Agak keras mungkin karena pesisir pantai. Aku disambut oleh petugas cantik yang sedari tadi melambaikan tangannya padaku sambil berjinjit. Dilihat dari tingkahnya sepertinya ia bahagia sekali menemuiku. haha lucunya.

"Caanngg, Kocaaangg.." petugas cantik itu berhambur ke arahku cepat. Apakah aku sungguh terlambat? sampai ditunggu sedemikian agresifnya? "Mohon maaf Anda siapa ya?" Ia menjentikkan jarinya didepan mukaku, sontak aku kaget. "Walaah sok gak inget sama aku, iki Weta, Cang.. Weta, yang dulu mandi bareng sama kamu itu". Jujur ini memalukan, aku benar-benar tidak ada bayangan dengan wanita di depanku. Yang masih sama adalah dekik kecil 2 cm dari kiri mulutnya. "Nggak mungkin, dulu Weta kan item keleng. Kok sekarang bersihan?" tanyaku penasaran. Seingatku 7 tahun yang lalu Weta warna kulitnya gelap. Manis. "Ndak tau yo Cang, sejak kuliah aku pakai jilbab eh jadi putih. mukjizat Gusti Allah mungkin". Lantas apa ya membuatnya berubah selain penampilan?

"Kamu kok nggak pernah kumpul - kumpul lagi to, Cang? dikiranya kamu ndak mau lagi temenan sama kita lo" Katanya. Aku tidak sempat terpikir kalau kawanku akan berpikir seperti itu padaku. "Ya enggaklah, Masa saya setega itu" Aku menarik simpul kecil tanda bercanda. Hanya Weta. Yang tahu segalanya tentangku, tidak sampai kabisat yang lalu. Hanya Weta, yang tidak tersulut walau bicaraku kecut. Terpatri jelas dalam ingatanku, yang selalu ada diantara semua yang ada. Hanya Weta, dahulu.

Villa Mahendra

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 15, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

September dan Kano MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang