Djakarta

26 1 1
                                    

Kano ini seharusnya tidak merah. Danau ini seharusnya tidak merah. Langit ini juga tidak seharusnya merah. Badanku terasa seperti ditarik ke 36 arah berbeda. Dadaku terasa sesak seperti 20 barrel air masuk ke dalam paru - paruku. Aku akan mati. Aku akan mati. Aku akan mati.

Siapapun yang menerima pesan ini, tolong sampaikan pada polisi terdekat. Ada orang yang menyatakan bunuh diri, atas pembunuhan yang terencana. Aku ingin kesaksian palsu yang menutupi hawa nafsu. Aku tidak ingin ia dipenjara, melainkan aku ingin ia hidup sengsara atas kesaksian ini. Ia lah hasrat terbesar, yang pernah kumiliki. Alih - alih kesalahan terbesar yang pernah kualami.

_____________________________________________________________________

Jakarta, 26 Agustus 2012

00.17

Apartemen 213

Rasanya aku tidur terlalu cepat malam ini. Jadi aku hanya rebahan dari sejam yang lalu. Menatap langit - langit ruangan 3x4 meter ini. Jamur dan bercak noda bekas air hujan masih jelas tertempel disana sini. Pasi dan usang. Tiada angin yang kulewatkan seketika aku berada disni. Mengingat, aku sudah cukup membusuk di tempat ini hingga 5 tahun yang lalu, 2 tahun setelah firmaku berdiri. Sejenak aku menyemak, lamat - lamat. Senyap membuat aku melihat berbagai perbedaan. Yang selama ini aku tidak merasakannya. Seperti saat jam di dinding bisa berdetak. Meja kursi seakan bergerak sesedikitnya 0,0001 mikrometer. Dempul kusen jendela yang mungkin akan terus berderik. Atau angin yang bisa bicara, meski yang kudengar hanya bisikan dan embus nafasnya.

Aku sekali lagi mencoba untuk tidak melihatnya. Kertas berstempel merah keluarga konglomerat "Hardijanto". Sempat aku membaca luar amplop coklat dengan kop itu. bertekstur dan nampaknya tebal. Yang aku terima 2 hari lalu. Sekali lagi aku mencoba untuk menepis tangan kananku yang mencoba mengambil surat itu. Tapi otakku tidak bisa mengontrol tanganku yang leluasa mengambilnya sendiri. Aku masih menimbang - nimbang untuk membukanya atau tidak. Hingga rasa penasaran pun hinggap, aku yakin untuk membuka segel.

Tertulis Undangan pernikahan Andrien Hardijanto dan Evangeline Liem. Ah pantas saja tebal, ternyata sepaket dengan suvenirnya, pikirku. Undangan elok dan elit ini awalnya hanya kubolak balik. Berkover beludru merah marun dan kerlap emas. Aku memutuskan untuk membukanya dan kucari intisarinya. Tanggal dan tempat resepsi. Yang sepertinya di tanggal itu aku tidak ada jadwal temu dengan klien. Lalu aku periksa lagi jadwalku untuk berjaga - jaga. Ya benar. Aku masih bertanya - tanya mengapa Andri memilih pulau kecil dekat Karimunjawa. Jika dipikir - pikir, daerah dekat Nusa Tenggara jauh lebih indah ketimbang daerah Jawa.

Jadi aku memastikan lagi kemantapan hatiku. Benarkah aku bisa datang ke acara itu tanpa merasa tertekan. Atau teringat lagi dengan kejadian itu. Tidak, biasanya aku mulai merasakan sesuatu dari perutku mendorong keluar menuju kerongkonganku. seperti mencekikku dan ia mendorongnya begitu keras. Aku mual.

Tapi kali ini tidak. Aku membuka lebar jendelaku yang memang dari tadi sudah terbuka sedikit. Mengambil nafas sedalam - dalamnya. Lalu aku menelan obat tidurku. Setelah beberapa bulan terakhir tidak kuminum. Aku ingin cepat tidur malam ini. Aku terus berbaring di kasur kapuk ini hingga sayup - sayup dan gelap mataku. Aku pun terlelap.

31 Agustus 2012

13.10

Sekurang - kurangnya kasus yang kudapat adalah 5. Dari kasus pelecehan nama baik seorang anak sekolah, hingga urusan utang BUMN yang makin memburuk. Aku adalah seorang pengacara publik yang dibayar oleh orang - orang berpunya. Bisa jadi, aku adalah pendengar yang baik. Aku selalu sedia mendengar dan merekam. Hanya sesekali bicara pada klien. Namun bukan berarti aku tidak banyak bicara. Aku yang mungkin sedari lahir memang lihai mendebat orang, sering dipilih sebagai pengacara mereka dalam ranah pengadilan. Yang dimataku, bukanlah pengadilan. Hanya gedung tua yang bahkan akan kalap walau dengan angin badai.

Sudah habis aku pikir tentang rasa adil di negeri ini. Aku hanya berupaya bertahan hidup dalam rimba kearifan fana. Agak klise memang, tapi aku menganggapnya seperti itu. Tidak selamanya, hanya setelah aku mendapatkan firmaku sendiri. Bukannya aku menyesal, hanya ada nurani kuat dalam hatiku bahwa yang kukerjakan adalah merampungi urusan dunia.

"Pak Faisal, sidangnya gimana? lancar?" Tanya rekan satu firmaku. Aku tersenyum seikhlasnya. Aku sampai lelah untuk memenangkan sebuah sidang. Yang terpenting firma kecilku masih berdiri tanpa ada tambahan - tambahan bonus. Aku benar - benar ingin firma kecilku ini bersih dari tuduhan. Aku duduk di kursi hitam beroda lalu terus menatap komputerku. Yang masih menggunakan tabung katoda dan CPU sebesar kapal dari tahun 1999. Pegawai dan rekan kerja sudah kuganti dengan layar LCD baru keluaran Dell dan CPU yang lebih kecil. Namun aku masih sayang dengan komputer yang menemaniku 13 tahun terakhir.

"Ini jadwal klien buat bulan September, Pak. Monggo dilihat" Sodor Pak Gusman, asisten yang jauh lebih tua dariku. Beliau jelas paham sopan santun dengan baik. Aku menyukai orang sopan. "Terima kasih, Pak" Aku membuka map hitam dan kertas - kertas jadwal temu klien dan jadwal sidang. Mataku langsung tertuju pada tanggal 11 September. Di hari itu ada jadwal pertemuan pertama untuk klien baru yang memang belum kukenal.

"Pak Gusman, saya boleh minta tolong kosongkan jadwal saya tanggal 11 sampai 18 ya? Saya mau ambil cuti." Sambil kuserahkan map hitam itu kembali ke tangan Pak Gusman. "Oh nggeh Pak, Kok tumben ambil cuti bukan waktu lebaran? Mau ngelamar to?" Tanyanya sambil tersenyum.

Aku tertawa kecil, "Ndak, ada kawan lama saya menikah" aku tersenyum sambil merapikan meja kerja."Oalaah gitu, Nggeh nanti saya hubungi klien yang ada jadwal hari itu Pak. Oh iya, Mas ojo lali, wes umur, montore apik moso ora ono sing diboncengi", bisiknya. Beliau memanggilku mas sesekali. "Lho ada kok pak, kemaren Mas Wito saya antar pulang" aku tersenyum kembali.

September dan Kano MerahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang