2 - Coklat Sebagai Pengorbanan Kecil

21 2 0
                                    

"Ini adalah coklat kesukaanku. Kamu suka coklat?" katanya.

"Suka. Tetapi aku tidak boleh makan coklat."

"Tidak apa. Sini, berikan kedua tanganmu."

Aku tak mengerti apa yang dia maksud. Mungkin anak ini seusia denganku karena aku merasa nyaman. Aku memberikan kedua tanganku lalu dia memutarnya, dia memutar tanganku sehingga telapak tanganku dapat digenggam olehnya.

"Pejamkanlah matamu dan dengarkan mantra ini baik-baik, ya!" Katanya antusias.

Aku mengangguk lagi.

Aku mulai memejamkan mataku.

Angin berhembus perlahan menyentuh wajahku. Udara malam selarut ini membuat aku merasa tenang dan anak perempuan ini membuat aku lebih tenang.

Entah mengapa.

Aku mendengar dia menarik nafas perlahan. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu.

Dia ingin mengeluarkan sebuah mantra.

Sesuatu yang belum pernah ku dengar. Sesuatu yang asing.

"Chochokalipoo! Aku harap, mata pangeran akan sembuh total dan menjadi mata yang paling indah selepas operasi. Sebagai gantinya, aku akan memberikan coklat kesukaanku ini kepada pangeran seusai operasi."

Dia diam. Aku diam.

Kami terdiam.

Dia mengehembuskan nafas lagi.

"Selesai. Pangeran, kamu boleh membuka matamu."

"Mantra apa itu? Dan kenapa kamu memanggilku pangeran?" Sudah pasti aku bingung.

"Oh, itu adalah mantra permohonan dan pengorbanan. Dan karena kamu berkilau seperti pangeran, aku memanggilmu 'pangeran'!"

Aku mengerutkan alisku. "Mantra permohonan dan pengorbanan?"

"Iya, pangeran. Aku mempercayai bahwa, jika kita melakukan pengorbanan dari apa yang kita sukai, permohonan yang kita inginkan akan tercapai!"

Oh, seperti itu. Dasar. Anak kecil bodoh. Mana ada mantra seperti itu. Hah, lucu.

Mantra? Pangeran? Berkilau? Aku? Tidak salah? Apakah dia juga buta?

Sepertinya dia masih polos. Dan juga... sedang apa dia di rumah sakit ini?

Haruskah aku menanyakannya?

Anak perempuan ini bersenandung. Aku tidak bisa melihat apa yang dia lakukan. Yang pasti, aku merasakan dia masih duduk tepat di sebelahku.

"Mudah-mudahan.. operasimu lancar, ya pangeran! Karena... aku tidak mau kehilangan seseorang yang ku kenal lagi di dunia ini. Baru saja.. Kakak laki-lakiku menjalani operasi keduanya. Tetapi..."

Dia terdiam tetapi aku mendengar suara isakan dari dirinya. Aku hanya bisa mendengarkan.

"Tetapi... dia..."

"Dia kenapa?" aku tak tahan.

"Dia meninggal."

Glek.

Aku hanya bisa menelan ludah.

Benarkah? Aku jadi takut menjalani operasiku ini, padahal ini adalah operasi ketigaku.

"Aku turut berduka cita." Aku menundukkan kepala.

Dari pintu keluar lorong yang mengarah ke taman ini, aku mendengar suara wanita dewasa yang memanggil nama seseorang. Sepertinya itu tertuju pada kami berdua.

Aku tak terlalu mendengar nama yang wanita itu sebutkan, tetapi anak perempuan ini menyahut.

"Iya, sebentar! Hmm.. Pangeran, aku dipanggil ibuku untuk kembali. Dan aku harus pulang besok pagi, semoga operasi pangeran lancar jadi aku bisa memberikan coklat kesukaanku dan kita akan bertemu lagi ya, pangeran!"

Aku menganggukan kepala. Ya, ku dengar dia melangkahkan kaki dan pergi meninggalkanku sendiri.

Aku terus duduk termenung di taman ini. Meratapi ketidaksempurnaanku.

Orang tuaku yang harusnya ada di sampingku, malah pergi. Mereka lebih mementingkan pekerjaannya dibandingkan aku. Aku sangat kecewa.

Aku merasa ada orang yang mendekatiku lagi dan dia menepuk pundakku.

"Nathan.. ayo kembali ke kamarmu, udara malam tidak baik karena kamu harus di operasi besok lusa."

Aku tidak bisa mengelak. Aku menuruti apa kata seseorang yang menepuk pundakku ini. Dan sudah pasti ini suster Rika.

Aku dituntun oleh suster Rika menuju kamarku kembali.

Suster Rika memang baik. Tapi kenapa perilaku ku seperti itu tadi? Aku menyesal.

Aku diselimuti dan mulai memejamkan mataku untuk tidur.

Aku bermimpi. Mimpi yang sangat penuh pertanyaan. Bermimpi anak perempuan yang menemaniku di taman.

Bagaimana bentuk tubuhnya, bagaimana wajahnya, bagaimana senyumnya, siapa namanya.

Karena yang bisa ku ingat adalah suaranya. Dan bodohnya aku tak menanyakan namanya.

Suara wanita dewasa yang memanggilnya tidak terlalu jelas.

Sa? Sha? Sya?

Siapa?

***

"Nathan.. Selamat pagi! Ayo, sarapan."

Suster Rika berkata seraya membuka gorden kamarku. Aku terbangun.

Aku merasa, apa lebih baik aku operasi sekarang?

"Suster Rika, bisa minta tolong?"

"Apa, Nathan?"

"Bolehkan operasiku di percepat? Aku ingin di operasi hari ini."

Kamarku sunyi. Suster Rika tidak berkata apa-apa. Aku tidak bisa melihat raut wajahnya.

"Suster Rika? Bagaimana? Bisa bilang ke Dokter Stevan operasiku mulai hari ini?"

"Sebentar ya, Nathan."

Suara langkah kaki suster Rika mulai menjauh, pertanda ia pergi meninggalkan ku sendiri. Dan aku terbayang-bayang anak perempuan kecil itu. Lagi.


~To Be Continued~


~~~


Sudah selesai US dan aku teruuuuuus mengejar deadline ku sendiri hihihi.

Semangatin aku terus ya biar ceritanya cepet di klimaks hehehe

Don't forget to vote and comment this story! Thanks!


March 26th, 2016.

Our PhotographTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang