Prologue I

47.8K 2.2K 82
                                    

A/N: Minta maaf kalau kalian sedang baca suatu chapter, trus tiba-tiba ilang, itu berarti lg aku unpub buat revisi sebentar. Tenang aja kok, sebentar aja :) gak pakai lama. Soalnya aku revisinya ngacak hehe.

"Menghilanglah seperti asap. Tak meninggalkan jejak sedikitpun, tak secercah darah pun. Hilanglah dari dunia ini dan kedamaian akan terus berlangsung. Malaikat maut sepertimu tidak punya hak untuk terus hidup. Kasus ini adalah misi terakhirmu yang akan berakhir dengan kegagalan"

Wanita itu terus terdiam. Tak sepatah kata pun dia keluarkan. Bukan karena dia takut, tetapi ia mengerti bahwa masa lalunya penuh dengan dosa dan waktu untuk menebusnya adalah sekarang.

DOORRR!!!

Sebuah peluru melesat menuju dahi wanita itu. Kabut mulai menyelimuti langit malam di Kota Yoru. Meskipun eksistensi dirinya akan hilang sebentar lagi, namun dia akan berhasil mencapai impian terbesarnya, yaitu meninggal di tangan orang yang dicintainya. Tubuhnya seketika jatuh tersungkur, kepalanya menghantam lantai gudang yang kotor. Di hadapannya, pria yang ia cintai masih menggenggam revolver kesayangannya.

Sementara itu, gadis kecil yang terus bersembunyi sambil menutup mulutnya tidak bisa membendung air mata. Suatu hal tragis terjadi tepat di depan mata kepalanya sendiri. Melihat malaikatnya meninggalkan dirinya selama-lamanya. Wanita itu tersenyum hangat dan mulutnya berusaha mengucapkan sesuatu di detik-detik terakhir.

"Aku mencintaimu" Dua kata terakhir yang diucapkannya kepada anak perempuannya sebelum akhirnya dia benar-benar pergi dari dunia ini.

Dengan kemampuan menyelinap yang kumiliki, aku melompati kardus - kardus bekas yang tersusun rapi di gudang reyot tersebut. Setelan jas hujan yang berlumuran darah masih kukenakan dan dengan beraninya, aku menghampiri salah satu petugas kepolisian yang sedang berjaga.

"Siapa namamu gadis kecil? Kenapa kau bisa berada di sini?" tanya salah satu petugas sambil membungkukkan badan, menyamakan tinggi tubuh kami.

"Thalia. Thalia Sheren. Umurku masih tujuh tahun dan aku tersesat di sini sejak sore tadi karena terlalu malam mencari bunga di hutan dekat sini," balasku beralasan dengan mimik ketakutan, padahal aku hanya bersandiwara. Tangisan kehilangan berusaha kutahan mati-matian, meskipun emosi ini sudah meluap-luap sedari tadi

Untunglah di sini gelap sekali, jangankan melihat bercak darah, melihat wajahku saja mungkin samar-samar.

"Baiklah, aku akan mengantarmu sekarang. Katakan saja alamatmu, sebaiknya kita segera pergi dari sini. Daerah ini berbahaya!" ujar petugas yang bernama Akima tersebut, setidaknya itu nama yang tertera di baju kerjanya.

Aku hanya mengangguk kecil. Sekali lagi, aku menengok ke belakang dan meratapi gudang tersebut. Untuk yang terakhir kalinya. Tubuh ibu mungkin sudah mereka angkut secara tak layak dan mungkin juga, aku tidak akan bisa melihat jasadnya lagi. Aku akan benar-benar kesepian lagi.

"Ada apa, Nak? Sebaiknya jangan lihat gudang tersebut, Nak. Daerah tersebut rawan kejahatan," komentar petugas tersebut seraya menunjuk tempat kematian ibu tanpa rasa berdosa.

Aku hanya mengangguk kecil seakan setuju dengan pendapatnya. Perlahan - lahan, kabut tipis mulai menyelimuti kota Yoru. Awan abu - abu berarak dari arah timur. Sepertinya, langit akan menangis bersamaku.

"Naiklah, Nak" seru petugas tersebut sambil membukakan pintu sedannya, mempersilahkanku untuk meloncat masuk ke dalamnya.

Aku menaiki mobil sedan tersebut tanpa ragu - ragu. Setelah itu, kami memulai perjalanan, dimana kami harus melewati hutan untuk sampai di sebuah pemukiman. Pemukiman terdekat dari Hutan Yoru. Kulihat jalanan bebatuan dan semak-semak pohon sudah mulai berganti dengan tanah basah milik pemukiman warga. Atap-atap rumah pun mulai terlihat.

IdentityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang