Prologue II : Cursed.

22.3K 1.6K 34
                                    

Malam yang penuh kesedihan telah berlalu. Sang mentari mulai beranjak dari ufuk timur, menyinari para penduduk bumi. Meskipun langit sudah tidak kelabu, diriku masih menyimpannya. Kelabu berupa kesedihan dan kesepian mendalam sejak malam kemarin. Malam yang mengutuk setiap tidurku, berjanji akan mendatangiku kala bunga tidur sedang tak indahnya.

"Cia...Apakah kau sudah bangun? Segera turun dan makanlah sarapanmu. Aku sudah buatkan omelette kesukaanmu," seru Nyonya Sharon sambil mengetuk pintu kamarku, berseru lembut seakan membujukku untuk berdamai dengan semua ini.

Dengan malas, aku beranjak dari tempat tidurku dan keluar dari kamar. Aku berjinjit, berusaha melihat lantai bawah melewati jeruji besi yang menghalangi jarak pandangku. Tampak di sana, seorang pria sudah mengisi kekosongan ruang makan. Seolah tidak terjadi sama sekali, dia menikmati makanan itu seorang diri.

"Pagi," sapaku singkat tanpa melihat ke ayah sama sekali--mengingat semua kenangan buruk tentang dirinya akan kembali saat wajahnya terlihat.

Pria itu hanya melihatku dan segera membaca korannya kembali. Jemarinya dengan mulus menekuk lembaran-lembaran koran tersebut. Sepertinya, berita mengenai ibu sudah sampai ke telinga para wartawan itu dan keberhasilan ayah menegakkan keamanan di kota ini, ah tidak di negara ini.

Tidak. Jelas sekali ini adalah kegagalan karena dia tidak bisa melindungi istrinya dari kejaran organisasi rahasia tempat ibu bekerja dahulu. Di mataku, dia tak ada bedanya dengan pembunuh lain. Apa aku terlalu kejam? Toh, dia yang tidak tahu akan kebenaran sebenarnya pasti sedang berbangga diri akan keberhasilannya ini.

"Pagi ini ada berita hangat apa? Oh ya, kenapa Ayah pulangnya lama sekali? Lagipula, di mana Ibu? Masa' suaminya tidak tahu menahu mengenai istrinya, sih," sindirku bersandiwara sambil menyiapkan sendok di atas meja.

"Alluschia! Jangan pernah membahas ibumu lagi. Dia bukanlah orang yang baik - baik. Dan yang jelas, kini dia bukan keluarga kita lagi! Oh ya, apakah kau ingin pergi ke rumah Nyonya Sharon nanti malam? Aku mempunyai pekerjaan yang harus dilakukan malam ini, tanpa gangguan sedikitpun!" bentak pria itu sambil melipat koran dan menurunkan kacamatanya, melihat diriku yang baru saja mengungkit-ungkit wanita itu. Malaikatku.

"Kalau Ibu bukanlah orang baik - baik, kenapa Ibu dengan setia bersamamu dan selalu menjagaku di setiap situasi? Dia lebih sering bersamaku dibandingkan dengan dirimu. Apakah kalian akan bercerai? Sadarlah, Ayah! Yang membuatmu sukses adalah dirinya yang selalu membantumu di belakang layar. Meski aku tahu, ini bukanlah hal yang pantas dikatakan oleh anak berumur tujuh tahun sepertiku" bantahku dengan tenang sambil menyuapkan potongan omelette ke dalam mulutku, menampikkan semua hal akan keburukan ibu.

Tak kusangka. Ayah beranjak dari kursinya dan menghampiriku. Koran serta kacamatanya seketika terjatuh dari atas meja. Suara kaca mata yang jatuh seakan memperiuh suasana panas sarapan hari ini. Dia marah besar. Tangannya melayang menuju pipiku dan... PLAAK!!!.

Nyonya Sharon tampak terkejut melihat tindakan ayah dan seketika dia menghentikan aktivitas yang sedang dilakukannya. Dia tergopoh-gopoh menghampiri kami, tak percaya dengan apa yang terjadi. Meskipun ini telah terulang beberapa kali. Pipiku memerah karena tamparan pria itu. Bukannya menangis, amarahku semakin menjadi-jadi.

"Apakah kau pantas menyebut dirimu sebagai ayah?"

Kalimat terakhir yang kuucapkan sebelum akhirnya aku pergi ke kamarku untuk meredakan amarah yang sudah tepat pada puncaknya. Aku menghentakkan kaki dengan keras saat menaiki tangga, meskipun kurasa dia tidak peduli dengan apa yang kurasakan selama ini. Sekeras apapun hentakan kakiku, sebebal itulah hatinya. Aku memang tidak tahu apa yang di dalam hatinya, namun aku tahu apa yang tercermin di luar. Sebuah kepribadian yang temperamental.

IdentityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang