Prologue III : Run away

19.2K 1.7K 48
                                    

      Keputusanku sudah bulat. Aku akan melarikan diri dari rumah ini secepatnya. Agar aku bisa meraih dunia luar dengan tanganku sendiri. Agar tidak ada lagi bayangan yang menutupiku.

Tempatku hidup selanjutnya? Tak usah khawatir. Sebenarnya, aku sudah mempersiapkan ini dari jauh hari. Di kota sebelah yang terletak seratus lima puluh kilometer dari sini. Ibu telah memberikan rumah kepadaku dengan atas namaku sendiri. Ya, tentu saja tanpa sepengetahuan ayah. Dia bilang, aset - aset yang diberikannya kepadaku menandakan bahwa harta tersebut tak ingin tersentuh tangan polisi. Di dekat rumah tersebut, ada kenalan ibu yang akan dengan senang hati merawat gadis kecil berumur tujuh tahun ini. Menurut prediksiku, setelah kematian ibu, organisasi mungkin tidak akan bergerak selama satu periode ke depan. Sampai keadaan di polisi mulai melemah dan mengendorkan pengawasannya kepada organisasi.

Oke. Rencana kedua. Aku segera merapikan semua bajuku dan memasukkannya ke dalam koper biru cerah yang kumiliki. Hanya hal - hal kecil yang diperlukan, seperti pisau kecil dan cutter. Dan mungkin beberapa makanan ringan selama perjalanan nanti karena aku memberanikan diriku untuk menaiki kendaraan umum dengan menyamar sebagai anak remaja berumur tiga belas tahun. Tubuh dan otakku sepadan dengan anak berumur tiga belas tahun.

"Alluschia, apakah kau yakin tidak akan keluar dari kamarmu? Mungkin ayahmu akan meminta maaf kepadamu," tegur Nyonya Sharon sambil mengetuk pintu, mengejutkan diriku yang sedang membereskan koperku.

"Hal itu tidak akan terjadi. Selain itu, maaf ya Nyonya, aku sedang belajar sendirian. Apakah kau lupa ini adalah jam homeschooling-ku?" balasku mengusir dirinya kembali.

Aku merasa sedikit bersalah kepada Nyonya Sharon. Namun, tetap saja, aku tidak akan mengucapkan kata perpisahan kepada siapapun. Baiklah, setelah nyonya tua nan cerewet itu pergi, aku segera menelepon seseorang dari ponselku.

"Halo? Dengan Ashley Fresch di sini, dengan siapa di sana?" sapa seorang wanita muda dengan lembut.

"Nyonya Karenina Anderson?" panggilku sedikit misterius di depan telepon.

"Aku bisa melacak nomormu, siapa dirimu, dan aku bahkan bisa mengancammu kapanpun" balasnya dingin. Argh, dia terlalu serius menanggapi seseorang yang memanggilnya dengan nama aslinya.

"Tante Nina! Ada apaan sih. Kok masa gak tau suara anak sahabatmu ini, sih?! Ketakutan ya? Ah baiklah, aku ingin langsung ke inti pembicaraan."

Tidak ada jawaban. Hanya tangisan kecil di ujung sana. Aku tahu, dia pasti menangisi ibuku. Tapi, apa gunanya? Ibu tidak akan pernah kembali.

"Turut berbelasungkawa, Cia" Suara lirih itu kembali kudengar. Orang yang pertama kali mengucapkan belasungkawanya padaku.

"Dengarkan aku, Tante. Aku ingin menetap di rumah Ibu mulai hari ini. Jemput aku di Stasiun Severich sore ini, kira-kira jam lima sore. Jangan telat. Aku tak punya waktu banyak. Jadi..."

"Apakah ini adalah keputusan terbaikmu? Jangan buat keputusan permanen dalam perasaan yang bersifat temporer" saran Tante Nina yang berusaha menahan kesedihannya, kini suara tangisan tidak terdengar lagi.

"Aku yakin, dan tekadku sudah bulat. Selain itu, aku tak ingin menyusuri organisasi itu sendirian. Kau mengerti maksudku, kan?"

"Apakah kau gila?! Menyusuri organisasi sama saja dengan menjemput malaikat maut! Hiduplah dalam kedamaian! Ikuti kata - kata ibumu!" Sudah kuduga, wanita ini pasti tidak menyetujui hal gila ini.

Meskipun sedikit tidak sopan, aku segera memutus percakapan dan terdiam. Aku benar - benar kagum atas apa yang telah dilakukan ibu. Dia benar - benar misterius di luar, tetapi bagaikan malaikat di dalam. Kurasa, orang seperti dia hanya satu di dunia ini.

IdentityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang