Two

222 38 38
                                    

Katakan bahwa kehilangan itu merupakan proses menuju kedewasaan. Mungkin sebagian besar perkataan itu ada benarnya, hanya saja masih ada beberapa celah yang membuat pernyataan itu terdengar seperti omong kosong belaka. Terutama jika kalian membisikkan hal itu tepat ditelingaku. Aku benar-benar tidak percaya dengan kata-kata bijak seperti itu. Luka telah membuatku belajar; belajar untuk tidak mempercayai siapapun di dunia ini, selain diriku sendiri. Luka itu benar- benar telah mendorongku untuk menjadi pribadi yang berbeda.

Aku ingin, setiap orang merasakan luka yang sama denganku. Aku sangat tidak suka, jika melihat orang terlalu bahagia dan percaya kepada pasangan mereka. Aku hanya ingin membuktikan kepada mereka, bahwa di dunia ini perempuan selalu ditindas. Hanya karena tidak memiliki karir yang bagus, lantas bisakah para laki-laki menindas perempuan yang telah mereka pilih untuk menjadi teman hidup mereka?    ⚫⚪⚫

"Sudah kamu coba telfon ulang nggak?" Suara Liona mengembalikan fikiran Jovita pada dunia nyata. Sejak tadi, ia sama sekali tidak memfokuskan indera pendengaran dan pengelihatannya pada layar proyektor kelas. Padahal, saat ini guru ekonominya, Pak Richard, sedang membahas mengenai kurva produksi perdagangan internasional. Bagi siswi yang malas mendengarkan pembahasan yang panjang lebar seperti Jovita, melamun adalah alternatif satu- satunya, agar tidak tertidur di kelas.

"Udah, Na. Tapi tetep aja nggak ada yang jawab." Rupanya Liona sedang berbicara pada Shalsa. Entah apa yang sedang mereka bicarakan, Jovita hanya tahu satu hal, pasti ada hubungannya dengan syndrome Shalsa. Terkadang Jovita suka menaruh rasa simpati pada Shalsa. Bagaimana tidak? Walaupun sekeras mungkin, Jovita berusaha untuk menolak percaya pada sesuatu yang berbau persahabatan, sebagai makhluk sosial, dia tetap saja tidak dapat hidup sendiri. Karena itu, dari ratusan siswa dan siswi di SMA Palguna Jaya, dia lebih memilih Liona dan Shalsa untuk menjadi sahabatnya. Walaupun lebih tepatnya, persahabatan mereka ini terjalin karena memiliki persamaan; lupa membawa jurnal paduan orientasi, ketika masa orientasi dulu. Bagi semua orang yang tau mengenai syndrome yang diderita Shalsa, wajar-wajar saja jika mengetahui Shalsa melupakan suatu hal yang penting. Namun bagi Jovita dan Liona yang memiliki otak sehat dan terlindungi dari segala macam syndrome aneh, akan sangat mengherankan, melihat mereka selalu melupakan jurnal paduan orientasi mereka. Akibatnya, mereka bertiga selalu saja diminta untuk meminta foto dan tanda tangan dari senior mereka. Mungkin hal itu juga yang membuat mereka bertiga, sangat terkenal di kalangan senior.

"Dia lupa apaan lagi, Na?" Jovita menggunakan tangan kirinya untuk menopang dagunya. Matanya sudah memutar malas, melihat tingkah Shalsa yang bagaikan pasar sedang kebakaran

"Gak lupa pakai pakaian dalam kan? Ntar kayak kemarin lagi..."

"Eh, enak aja ya! Gue nggak pernah lupa pakai pakaian dalam tau!" Shalsa mendengus tidak terima dengan ejekan Jovita. Dia benar-benar kesal, jika ingatannya selalu dipermainkan seperti ini. Walaupun dia tau bahwa syndrome-nya itu selalu menyusahkan orang-orang di sekitarnya, tapi dia tidak akan pernah melupakan hal- hal remeh seperti yang dikatakan oleh Jovita.

"Kalau gak lupa namanya apa?"

"Kan, gue udah bilang, kalau kemarin itu, baju kaos gue basah! Satupun belum kering!" Shalsa menaikkan suaranya dua oktaf, dan nyaris melemparkan sebuah buku ke hadapan Jovita. Garis bawahi kata nyaris. Sebenarnya buku yang dilemparkan Shalsa melesat dari sasarannya. Buku itu tidak mengenai Jovita, buku itu mengenai Pak Richard. Tepat di dahinya yang silau itu.

"Tamat sudah.." Liona berbisik lirih ke arah Jovita dan Shalsa secara bergantian.

Guru ekonomi mereka yang satu ini tidak seseram guru matematika atau guru sejarah mereka. Namun, guru yang satu ini tidak memiliki prinsip kesempatan kedua. Sekali salah ya langsung ditebas habis-habisan.

Something Inside (Blurb Series) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang