I'm Luc

1.4K 96 9
                                    

Gadis itu masuk, dengan rambut lurus hitam tergerai halus mengilat di bahunya, poni rata di atas alis yang melengkung indah, tubuh mungil dan ramping, kulit cerah, beraroma vanilla. Aroma itu menggelitik indra penciumanku, menimbulkan kesan sensual yang manis dan membangunkan rasa ingin tahuku.

Gadis itu memiliki kemolekan yang bisa membuat pikiran semua pria melantur ke arah yang berbahaya. Aku ingin membagi kehangatan bersama dengannya ketika kulit kami bersentuhan dan mengguncang tubuhnya saat bermesraan di balik selimut.

Semuanya hanya imajinasiku. Semacam itulah. Karena penampilan gadis itu jauh dari kata vulgar. Sebaliknya, tertutup dan sopan. Selain itu, aku sebenarnya belum pernah merasakan hubungan dengan lawan jenis. Tapi dia berhasil membuatku ingin mencoba percintaan panas di atas pasir pantai dengan kaum hawa yang hidup. Manusia.

Sebagai sebuah patung dengan gairah yang terbebas untuk pertama kalinya dalam waktu puluhan tahun, suatu bagian dari anatomiku bereaksi keras. Aku tergugah oleh keelokan gadis itu.

Tidak semua orang yang keluar masuk ke toko tailor ini menarik perhatianku. Gadis itu benar-benar mempesona. Berbeda dengan para pelanggan yang sering kulihat di toko ini.

Mengenakan vest lace dress polkadot putih dengan warna dasar hitam, gadis itu sangat cantik. Terlihat menonjol di dalam ruangan toko yang temaram dan padat oleh tumpukan jahitan busana pria yang umumnya berwarna pucat. Di tangannya ada sebuah keranjang berisi dua stoples kue kering. Keceriaan tergambar di wajahnya yang berbentuk oval sempurna, seperti anak kecil yang mendapat hadiah permen lolipop. Bibirnya yang tipis mengulas senyum tulus dan spontan. Senyum yang mampu menularkan perasaan senang kepada orang-orang di sekitarnya. Tanpa sadar, aku membalas senyum itu.

"Anna, Sayang. Tepat sekali kau datang sore ini. Toko sudah mau kututup, tapi baju pesanan ayahmu sudah selesai dijahit. Kau bisa membawanya pulang." Paman Mike menyapa gadis itu dengan suaranya yang berat.

"Paman mau kemana?" Gadis itu mengernyitkan keningnya. Dia menghampiri Paman Mike sambil menyerahkan keranjang dari tangannya.

"Aku harus bergegas. Teman lamaku menikahkan anaknya di balai kota. Eh, apa ini? Wah, lagi-lagi kau membuatkan ginger dan oat cookies untukku. Terima kasih, Anna. Kau baik sekali. Biayanya lebih mahal daripada ongkos jahitnya." Paman Mike menepuk-nepuk tangan Anna dengan rasa sayang yang kental.

Paman Mike berusia pertengahan lima puluh. Perawakannya besar tapi agak bungkuk akibat ketekunannya di depan mesin jahit selama belasan tahun. Rambutnya tebal dan mulai memutih di bagian ubun-ubun. Dia telah menjadi penjahit kepercayaan ayah Anna sejak membuka toko di kompleks perumahan elit ini.

Anna menggenggam telapak tangan Paman Mike dengan tangannya yang kecil sambil tersenyum. Senyumnya manis sekali. "Tidak apa-apa, Paman. Aku suka mengerjakannya."

Paman Mike mengangguk senang. "Lama-lama aku bisa nagih terus, Anna."

"Bagaimana kalo kubantu Paman menutup toko sebelum aku pulang? Pekerjaanku di rumah sudah kelar. Tidak ada yang perlu diburu-buru. Jadi, Paman bersiap-saja saja, aku tunggu di sini." Anna mencetuskan usulnya.

Paman Mike menganggukkan kepalanya lagi tanda setuju. "Kau bisa membaca majalah-majalah yang ada di sini untuk mengusir kebosanan."

"Ah, aku lebih memilih bermain-main di dunia maya, Paman," sahut Anna sambil mengacungkan ponselnya.

Setelah Paman Mike masuk ke kamar mandi melewati satu-satunya pintu kecil di ruangan itu, Anna duduk di bangku persis di depanku kemudian larut dalam dunianya di ponsel. Kelihatannya dia belum menyadari keberadaanku. Wangi vanilla itu menguar makin kuat karena kedekatan jarak kami.

Gadis ini seperti sinar matahari yang menari di atas gelombang. Cahaya senja masuk melewati jendela besar di sisi kanannya, berbaur dengan warna kuning kain korden yang menghiasinya, menghasilkan sinar emas yang jatuh di atas rambut hitamnya, sangat kontras dengan kulitnya yang sewarna krim pelembab. Makin menegaskan aura kecantikan gadis ini.

Mataku tak berhenti mengawasinya. Terlambat untuk membekukan pancaran tatapanku. Dia mendongakkan wajahnya tiba-tiba. Lalu pandangan kami pun bertemu. Seluruh udara seperti disedot dari tempatku berdiri. Aku dapat melihat matanya yang besar berwarna hitam dengan sangat jelas. Kelopak matanya tak berkedip memandangku hingga bulu mata yang sangat lentik itu akhirnya mengerjap cepat.

Apa yang dipikirkan gadis ini? Sialan. Wangi vanilla itu lagi. Aku ingin sekali melumatnya dengan cepat, tanpa ampun.

"Baiklah, Anna. Ayo kita keluar." Suara Paman Mike memecah keheningan.

Anna masih terpaku. Aku menikmati waktu.

"Anna?" tanya Paman Mike heran.

Anna mengembangkan senyum hangatnya lalu menoleh cepat ke arah Paman Mike. Saat ini juga aku ingin memeluknya dengan tanganku dan memaksa matanya tetap melihat ke arahku. Sayang, tanganku masih kaku.

"Mari, Paman, aku bantu menutup korden-korden ini," sahutnya dengan nada ringan sambil memasukkan kembali ponselnya ke saku gaunnya.

Beberapa menit kemudian, kelembutannya berlalu. Menyerap seluruh kesadaranku. Membawa pergi hatiku yang sudah digenggamnya sejak awal pertama datang. Menyisakan sedikit harapan agar dia kembali lagi malam ini.

My Handsome MannequinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang