1.1

666 33 6
                                    

Pagi ini terasa sangat menyenangkan. Langit memancarkan biru cerahnya. Sekelompok burung menari di bawah naungan awan putih nan bersih. Bau tanah basah menyegarkan pernapasanku. Dan terlebih itu, sosok gadis berkulit putih dengan rambut hitam legam menjadi alasan utama pagi ini menjadi lebih indah.

Gadis berbibir penuh itu, Yoo Ahjung, tengah menggenggam selang air untuk menyiram bunga di pekarangan rumahnya. Tampak sangat anggun di mataku. Pekerjaan menyapu halaman yang kulakukan terasa ringan hanya karena melihat wajahnya.

Ia berbalik ke arahku sekilas dengan tatapan datarnya. Belum sempat kubalas dengan senyuman, dia sudah lebih dulu mengalihkan pandangan. Setiap hari, setiap pandangan mata kami bertemu, ia akan selalu berekspresi sama, datar. Jika banyak orang yang berpikir dia sombong, maka tidak untukku. Tatapan datar tanpa ekspresinya itulah yang menjadi pesonanya.

Wajahnya sudah cukup terpahat sempurna jadi tak berekspresipun, dia akan tetap terlihat cantik dan menawan. Walau begitu, ketika dia tersenyum, kesempurnaan wajahnya memancar. Hanya beberapa kali aku melihatnya tersenyum, itupun hanya tersenyum tipis. Hebatnya, senyuman simpul itu dapat membuat jantungku berdebar tak karuan.

Entah sejak kapan aku mulai menyukainya, yang pasti, setelah 6 bulan di kota ini, perasaanku padanya bertambah kian hari. Disini aku bekerja di kantor pemberitaan pemerintah, dimana kakakku dan ayah Jung bekerja. Orang seusiaku harusnya masih kuliah tapi aku sudah menjadi pegawai negeri. Tepat setelah lulus SMA, aku putuskan untuk ikut ujian pegawai negeri dan aku lulus. Bukan karena pintar tapi karena ada yang membantuku, ini rahasia.

Diusiaku ini, bekerja di kantor pemerintah sangat sulit. Setelah mengurus kepindahan, aku berhasil dipindahkan di tempat yang sama dengan kakakku. Sekarang aku juga tengah menumpang di rumahnya. Sebuah rumah dinas untuk pegawai negeri. Katakanlah tempat tinggalku adalah pusat kantor pemerintah yang di sekitarnya berdiri rumah-rumah dinas. Daerah ini sangat aman karena banyaknya kantor pemerintah yang berdiri.

Ayah Jung adalah kepala divisi di divisiku. Sementara kakakku, adalah salah satu manager di divisi yang sama. Cukup menyenangkan bekerja di kantor pemberitaan. Divisiku berhubungan langsung dengan divisi jurnalistik serta pihak-pihak tertentu yang akan mengisi rubrik hiburan di koran pemerintah.

Kembali lagi pada Jung yang sekarang telah beranjak memasuki rumahnya yang dipisahkan satu rumah dari rumahku. Asupan energi pagi ini sudah tercukupi. Aku bisa melakukan pekerjaan lain dengan lebih semangat.

Jung adalah gadis yang cukup tertutup dan terkesan penuh misteri tapi tetap menawan di mataku. Ia sangat jarang keluar rumah, saking jarangnya, aku sampai tahu jadwal ia keluar rumah. Kami paling sering bertemu di pagi hari, saat ia diantar Kepala Yoo-Ayah Jung- pergi sekolah dan aku berangkat kerja. Kalau beruntung, aku juga bisa bertemu dengannya saat ia pulang kerja tugas di rumah temannya sementara aku pulang kerja.

"Rumputnya rontok, Seungcheol samchon!"

Aku tergelak mendengar suara nyaring Minyoung. Kulirik rumput yang berbentuk tak karuan karena kusapu sejak tadi. Aku terlalu lama memikirkan kekagumanku pada Jung.

"Percuma dilihat jika tidak didekati, samchon. Jung unnie itu cantik. Pasti banyak yang suka. Samchon sendiri yang akan menyesal kalau tiba-tiba dia bawa cowok ke rumah" Ucapan Minyoung tajam seperti biasanya.

Minyoung ini anak kakakku. Baru kelas lima SD tapi sudah berani menasehatiku. Walau begitu, semua yang dia katakan memang benar. Hanya Minyoung lah yang tahu perasaanku pada Jung. Itupun dia yang tahu sendiri entah darimana.

"Bicara mudah saja, Minyoung"

Kubereskan guguran daun yang tersisa lalu menyimpan sapu serta sendok sampah ke dalam garasi. Minyoung masih mengikutiku.

[Seventeen FF]Book of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang