NOTE: INI HANYA FIKSI
Aku tak pernah mengerti engkau, Lizz.
Walaupun kita berdua, adalah teman masa kecil yang sungguh dekat. Layaknya alfa dan omega. Walau gulungan tahun tahun itu sudah berlalu kian lama. Semakin tertinggal dari masa kini. Tapi, sungguh. Meng-angankannya kembali selalu membuatku terasa semangat dan muda seperti waktu itu, 7 tahun.
Kau tahu—apa yang membuat kenangan menjadi indah? Karena kenangan takkan ada untuk kedua kalinya. Kenangan itu sederhana, ia hanya perlu untuk dikenang saat kita sudah tak mungkin bertemu. Karena itulah ia dinamakan kenangan. Ia hanya hidup dalam ingatan, tapi tidak untuk masa kini.
Itulah ironisnya. Manusia memang aneh, bukan begitu, Lizz? Tiap detiknya, tiap panorama yang melintas di matamu waktu itu, tiap tawa dan lelucon yang mengalir dari mulutmu. Aku selalu menyimpannya sebagai harta karunku. Kau adalah sahabat terbaikku.
Ingatkah kau, saat kita masih bocah tengik. Kita kabur dari rumah, waktu itu, hujannya teramat besar dan kita harus menghindar dari ibu kita yang marah marah. Kita berlomba membuat istana lumpur dari pasir yang tercampur air hujan, dan punyaku selalu gagal dan hancur. Kau mulai mengejekku,
dan saat itu aku yang polos ingin menangis. Tapi kau malah membantuku membuat istana lumpurku dengan sabar. Besoknya, aku sakit karena seharian kehujanan. Aku tak mengerti, kenapa aku kotor sekali waktu kecil. Aku memang lelaki yang payah. Aku pun tahu diam diam kau juga manganggapku seperti itu. Tapi ketika itu, aku senang dan damai.
Aku tak tahu, apa kau masih mengingat memori itu. Kendati begitu, aku sangat berharap saat saat itu tak pernah lenyap dari rekaman otakmu.
Kemudian saat kau 12 tahun, kau mulai ikut les piano. Lizz, kau berubah sibuk dan jarang bermain lagi. Walau kuakui, kau sangat keren saat memainkannya. Ayunan favorit kita lama tak tersentuh. Terbayang bayang piano itu merebut mu. Bulan juli itu, aku sempat kesal padamu dan bahkan mengancam akan menangis saat kau menolak tawaranku untuk bermain, karena kupikir kau lebih mementingkan les piano dari padaku.
Aku marah, tentu saja!Aku menelungkupkan tanganku dan mukaku basah. Tiara mataku leleh begitu saja. Kukira kau akan berlari ke tempat lesmu. Kukira kau akan mencampakkanku.
Tapi kau tidak.Kau memacu ke arahku. Wajahmu tersenyum padaku lewat celah tanganku. Kau merendahkan badanmu dan mengulurkan tanganmu. Waktu itu, rambutmu berkilau dan mata coklatmu yang bercahaya menatapku. Aku tak mengerti, Lizz. Kau gadis yang mengagumkan bagiku.
"Aku tak akan meninggalkan teman baikku, aku janji. Sekarang, tersenyumlah, Ben, lelaki tidak boleh cengeng..."kau menepis air mataku dengan tatapan teduh.
Penggalan baris kata itu selalu mendengung di benakku, kau tahu?
Dan akhirnya hari itu kau tak bermain piano dan menghabiskan waktu denganku seharian. Lalu aku baru tahu keesokan harinya dari ibuku, kemarin kau tidak ikut kompetisi final piano. Kau melewatkan kesempatan emas itu karena aku. Kau melepaskan kemenangan besarmu.Merasa bersalah, aku meraih jaket dan topi poloku, dan menemuimu di bawah pohon rindang tempat ayunan kita. Kau sedang termenung kosong ke langit yang ketika itu mendung. Baru kusadari, aku sangat egois. Padahal aku tahu, kau sangat mencintai piano.
"Lizz?"
"Oh, Ben, lihat awan awan itu. Indah." Kau tak menatapku.
"Maaf,"
"Apa? Ada apa?"
"Untuk kompetisimu. Maaf... sudah memaksamu...""Oh... itu tak penting kok."
Aku duduk di sampingmu di ayunan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Creepypasta
HorrorHOW CAN YOU RUN WHEN THEY ARE IN YOUR HEAD. Short but make you afraid. Repost, Edit & Original Story.