KATA #2

27 0 0
                                    

"Lo udah tau mau pake baju apa, Yun?"

Yuna melirik lemari pakaiannya. Sudah tergantung di pintu lemari sebuah gaun abu-abu cerah. "Sudah. Yang biasa gue pake kalo ada undangan." Jawab Yuna santai. Terdengar hembusan nafas Keenan di seberang telepon. Yuna tahu alasan hembusan nafas Keenan, hanya saja ia tidak mau membuang-buang waktu dengan memilih gaun yang cuma akan dipakai satu hari, hari perpisahan di sekolahnya. Setelah satu minggu selesai menjalankan segala macam jenis ujian, akhirnya datang juga hari dimana mereka saling mengucapkan selamat tinggal satu sama lain pada teman-temannya.

"Yun, ini hari penting." Kata Keenan. "Ini momen penting lo. Bisa aja Akbar nggak satu sekolah lagi sama lo, kan?"

Yuna menerawang, "Pilihan sekolah lo juga mendadak berubah, kan? Tapi gue nggak harus tampil cantik di depan lo hanya karena kita bakal beda sekolah?"

Keenan terdiam. Memang, mendadak Keenan yang harusnya memilih SMA yang sama dengan Yuna pindah haluan dan memilih sekolah lain yang berjarak jauh. Bahkan, kelas satunya harus dihabiskan di dalam asrama. "Yun.. Gue.."

"Udah, Keenan. Gausah merasa nggak enak." Potong Yuna. "Hidup juga hidup lo, kan." Terdengar kasar, namun Yuna hanya mengatakan itu agar Keenan merasa lega. Berteman dari sekolah dasar sudah membuat Keenan tau gaya bicara Yuna.

"Tapi ini beda, Ayuna!" Yuna tersentak mendengar 'panggilan' Akbar terhadapnya itu. "Boleh, deh, kalo gaunnya yang abu-abu itu. Tapi rambut lo harus diapain, kek, biar tampil beda, Ayuna."

"Stop panggil gue Ayuna." Sahut Yuna geli. "Cuma Akbar yang boleh gitu."

"Hahahahha, makanya harus tampil cantik! Jangan kucel lo! Udah gue tutup, ya!"

Tut. Keenan menutup teleponnya. Yuna menghembuskan nafas panjang. Tahu persis kalau hatinya sedang tidak ingin memikirkan tentang Akbar. Perpisahan, pengumuman Ujian Nasional, Tes masuk SMA. Terlebih lagi yang Yuna cemaskan, bagaimana kehidupan SMA-nya nanti? Apalagi Keenan tidak akan ada lagi di sampingnya setiap hari. Yuna yang irit bicara dengan oranglain, kaku setengah mati, memangnya bisa pergi sendirian ke tempat baru tanpa sahabat dekatnya itu?

Jujur, Yuna takut setengah mati. Ia menghempaskan tubuh mungilnya di kasur keras-keras. Mencoba menutup mata dan melupakan perasaannya yang kacau. Besok adalah hari perpisahan. Hari penting.

"Bentar-" Yuna kembali bangkit. Menatap dari atas sampai ke bawah gaun abu-abunya. "Kalo gue mau foto sama Akbar-"

Lantas Yuna bergegas turun ke lantai bawah, memasuki kamar mamanya, dan mengobrak-abrik isi lemari.

"Yuna!" Pekik Mama yang tadinya sedang asyik menonton sinetron India. Siapa yang tidak kaget anaknya begitu? "Kamu cari apa?"

Masih sibuk dengan pencariannya, Yuna tak menyahut. Terus saja mengobrak-abrik lemari pakaian besar itu. "Lah? Kok nggak ada, Ma?"

"Makanya Mama bilang kamu cari apa?" Ulang Mama, sedikit jengkel.

"Itu, loh! Gaun merah yang waktu itu Mama buatin! Yang waktu itu Yuna nggak mau pake!"

Mama terdiam sebentar, kemudian mengangguk-angguk. "Ohh yang kamu bilang norak itu?"

"Iya, Ma! Setelah Yuna pikir lagi nggak taunya nggak norak-norak amat." Kilah Yuna. Malu teringat kata-kata 'norak' yang dilontarkannya saat pertama kali ditunjukkan. Paling tidak gaun merah itu akan lebih baik daripada gaun abunya yang kusam karena sering dipakai.

"Waktu itu bilangnya nggak mau.." Kata Mama sambil mencarikan baju anak semata wayangnya itu. Lantas sekali buka saja, Mama sudah menemukan gaun itu. The power of mother. "Nih. Untuk perpisahan besok?"

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 11, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KATA KEENANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang