Chapter 2. Mate

4.1K 260 4
                                    

D Point Of View

Hari ini sungguh membosankan sama dengan hari-hari sebelumnya. Aku tidak boleh meninggalkan wilayah ini oleh ayahku dan aku tidak tahu harus melakukan apa. Apakah ini sebuah misi atau aku yang justru diasingkan oleh packku.

Benar, aku bukan manusia biasa. Namaku Demian Mathimus, orang terdekatku biasa memanggilku D. Aku seorang werewolf tepatnya seorang Alpha dari pack terbesar di Alaska, The Dark Moon. Yang membuatku bingung adalah kenapa aku harus berada diwilayah yang jauh dari teritorial ku di Alaska. Apakah semua ini karena aku seorang calon Alpha yang tidak memiliki luna. Aku sendiri bingung setelah 18 tahun hidupku belum pernah bertemu dengan mate-ku. Semua karena ramalan sialan itu. Ramalan turun temurun yang diberikan kepada Alpha atau calon Alpha tentang lunanya. Tetapi ramalanku berbeda, ramalanku bertuliskan bahwa lunaku tidak terbaca. Mereka meragukanku sebagai seorang calon Alpha. Karena Alpha tanpa seorang luna itu sangat lemah. Omongkosong apa itu aku tidak percaya.

Saat ini aku sedang menyusuri hutan untuk menghilangkan bosanku. Tapi tiba-tiba angin membawa aroma yang begitu harum. Aroma rose yang membuatku terlena. Aku mengikuti aroma tersebut dan di balik pohon ini aku melihat lima orang sedang berdebat.

'Mate.. Mate.. Mate kita disini D !!' teriak Max, serigalaku. Aku dapat merasakan dia meloncat-loncat kegirangan.

'Max tenaglah, aku juga bisa merasakannya' aku berusaha menenangkannya karena suaranya sungguh memenuhi kepalaku. Membuatku pusing.

'aku bisa mendengarnya bodoh. Sekarang apa lagi yang kau tunggu segera tandai dia.'

'hei kau yang bodoh, mana bisa kita langsung menandainya. Bisa-bisa dia lari ketakutan' Terkadang aku bingung dengan serigalaku yang terlalu bersemangat berbeda jauh dengan kepribadianku yang pendiam.

Mataku tak bisa lepas dari gadis itu, melihat rambut pirang indahnya meski tertutup sebo merah. Dengan penampilan itu saja dia sudah sangat menarik, ditambah aroma rose yang berasal dari tubuhnya. Sungguh membuatku mabuk. Sepertinya salah satu dari mereka menyadari keberadaanku. Tapi aku tidak peduli, aku akan mencari kesempatan untuk dapat bertemu langsung dengan gadisku.

Aku mengikuti mereka lagi menuju air terjun tempat yang sangat ku sukai. Aku dapat melihat mereka bermain di tepi sungai dekat air terjun, tapi kenapa ada yang aneh dengan tingkah laku gadisku. Tatapannya tiba-tiba kosong dan berjalan menuju tengah sungai. Apa dia tidak tahu sungai itu sangat dalam. Bahkan manusia biasa kesulitan untuk berenang di sungai ini karena dalam dan arus yang kencang. Tapi dia terus berjalan ke tengah danau tanpa mengggubris teriakan teman-temannya.

Aku tidak bisa diam lagi. Aku segera berlari dan menyelam menyelamatkan mate-ku. Aku terus berenang ke dasar sungai mencarinya tapi hasilnya nihil aku tak menemukan apa-apa. Setelah 15 menit menyelam aku kembali ke permukaan. Dapat aku lihat teman-teman gadisku kaget dengan kehadiranku tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk memperkenalkan diri.

"Apalagi yang kalian lihat?! Cepat kalian cari bantuan!"Aku meneriaki mereka karena aku masih panik. Dapat aku lihat wajah bingung mereka tapi anehnya aku merasa mereka tidak takut dengan kehadiranku.

"Ba..Baiklah.."satu-satunya cowok dari mereka menjawab dengan tergagap dan menarik teman-temannya untuk pergi.

Normal POV

Mimi dapat melihat Raya berjalan menuju tengah sungai. Mereka bertiga berhenti bercanda dan melihat Raya yang berjalan semakin ke tengah.

"Mimi, apakah sekarang waktunya?"tanya Salma tanpa melepas pandangan dari Raya.

"Sepertinya begitu"ujar Mimi datar.

"Tapi kenapa 'dia' belum datang? Apa itu benar? Aku takut Raya tenggelam?"Ana mulai panik melihat Raya yang semakin ke tengah sungai, sekarang yang terlihat hanya kepala Raya.

Mereka mulai panik dan bereteriak memanggil Raya, sekarang tubuhnya sudah tenggelam sepenuhnya. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Dari balik pohon di seberang sungai terlihat seseorang berlari dan langsung meloncat ketengah sungai. Salma, Mimi, dan Ana terdiam melihat itu. Semua seperti yang diramalkan. Okta yang baru bangun dari tidurnya di tepi sungai berjalan menghampiri mereka.

"Kenapa dengan wajah kalian? Dan dimana Raya?" tanya Okta yang masih setengah sadar. Tapi ketiga gadis itu masih memperhatikan ke tengah sungai dan mengabaikan Okta.

Setelah 15 menit akhirnya laki-laki itu keluar dari sungai. Wajahnya sungguh panik. Tapi tak menghilangkan ketampanannya.

"Apalagi yang kalian lihat?! Cepat kalian cari bantuan!"Mereka terkejut dengan teriakan Laki-laki itu. Okta yang sudah sepenuhnya sadar akhirnya membuka suara.

"Ba..Baiklah.."ujar Okta terbata-bata karena terkejut dengan teriakan mendadak itu. Dia tidak tahu apa maksud laki-laki itu, tapi mendengar bentakannya membuat dia refleks menjawab. Okta menarik ketiga gadis yang masih terkejut melihat laki-laki itu. Mereka segera berlari mencari bantuan.

Tinggalah Demian sendiri di tepi sungai menatap kosong ke arah sungai. Mate yang baru dia temui menghilang begitu saja dan yang lebih membuatnya kesal karna dia tak bisa menolong mate-nya.

'kau terlau bodoh D' Max menggeram marah.

'aku tahu Max.apa yang harus aku lakukan? Aku sungguh merasa bodoh sekarang' Demian menjambak rambutknya kesal. Dia sungguh frustai.

Pertemuan ini tidak seperti yang diharapkan Demian. Pertemuan dengan mate-nya yang seharusnya indah berubah menjadi kesedihan. Dia tidak bisa melindungi gadisnya. Ada perasaan sedih dan perih di hatinya. Seolah perasaannya remuk setelah kejadian tadi. Kehilangan gadisnya dalam hitungan menit setelah perasaan bahagia yang belum pernah dia rasakan. Benar-benar tidak seperti yang diinginkan.

.

.

.

tbc~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 14, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

My Dear LunaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang