Empat

5.4K 497 31
                                    


Happy Reading ...

Oh jangan tanya siapa suami Sila ya karena di part ini aku kasih sedikit bocoranya.

Tifa mendapat tugas kurve pagi ini bersama dua orang temannya yang juga mendapat tugas sama berdasar pembagian tugas, menurut nomor urut yang ditentukan dari panitia.

Tugas kurve pagi ini sudah pasti memasak sarapan untuk semua anggota. Subuh tadi Rega, teman dari kelompok putra sudah mengambil air. Tifa hampir selesai memasak nasi kemudian ia membantu Bela memotong bawang merah untuk racikan sambal.

"Ada penjual sayur keliling nggk di sini?" tanya Bela yang mulai memasukkan adonan telur yang dikocok bersama tepung agar lebih banyak ke dalam penggorengan.

"Nggak tahu juga. Tapi bilang tetangga sebelah memang ada penjual yang masuk area perkemahan setiap pagi," jawab Tifa teringat tetangga tendanya yang berasal dari Flores dilihatnya kemarin berbelanja sayur mayur.

"Garamnya habis, semalam dihabiskan Rega," keluh Bela. "Sialan! Memangnya dia lagi darah rendah sampai garam sekarung dihabisin?" sahut Tifa yang membuat Bela tergelak.

"Buat naburin sekitar tenda." Tifa terkekeh. Meskipun ia tahu fungsi garam selain untuk bumbu dapur juga untuk menangkal ular yang bisa saja masuk ke dalam tenda saat malam tiba.

"Ya sudah aku beli dulu. Nasinya seperempat jam lagi matang," pesan Tifa pada Bela kemudian ia berjalan keluar.

Sepanjang jalan ia menengok kanan dan kiri melihat di mana ia bisa menemukan penjual sayur. Meskipun tetangga tendanya sudah memberi tahu tempatnya, namun karena penjual tersebut berkeliling menggunakan motor sudah tentu tidak akan berdiam di satu tempat dengan durasi waktu yang lama.

Kakinya melangkah ringan sambil menyapa beberapa pebghuni tenda yang sekiranya dikenal. Hingga ia menangkap sosok laki-laki yang membuatnya emosi semalam, tengah berjalan memanggul galon ke arahnya. Jalanan mmang tidak lebar, Tifa sedikit minggir untuk memberi jalan pada laki-laki yang terlihat kecapekan karena tempat mengambil galon di Kabupaten yang letaknya berada jauh di bawah. Sedangkan tenda-tenda perkemahan menanjak ke atas.

Teman-teman Tifa yang laki-laki kadang merasa kepayahan bahkan bisa berhenti dulu dengan merenggangkan otot pundak sebelum kembali mengangkat galon air di pundak.

Tifa memalingkan wajah agar mereka tidak bertemu pandang yang ditakutkan nanti pada akhirnya ia ingin menggores tangan laki-laki itu dengan pisau dapur yang sudah diolesi dengan air rendaman garam agar rasa perihnya berlipat.

Masih dengan memalingkan wajah dan pura-pura melihat tulisan yang dipasang di depan sebuah tenda, tiba-tiba pundaknya ditepuk perlahan. Tifa menoleh dan wajah laki-laki mesum itu berada dekat dengan dirinya.

"Maaf yang semalam, aku benar-benar tidak sengaja." Harusnya Tifa ingin memaki laki-laki di depannya, namun begitu melihat peluh yang membanjiri pelipis kemudian turun ke leher serta napas yang ngos-ngosan membuatnya tak sampai hati.

"Iya," jawab Tifa singkat dan membuat Iko merasa lega.

"Mau ke mana?" tanya Iko kemudian.

"Cari penjual sayur, kami kehabisan garam" Tifa heran kenapa ia malah menjawab sapaan laki-laki di depannya.

"Oh, tadi aku lihat ada di dekat tenda depan," tunjuk Iko karena galonnya sudah ia turunkan. "Aku punya garam alami kalau kamu mau, daripada jalan ke sana."

Tifa mengernyit bingung. " Ni, keringatku deras banget netes-netes. Rasanya asin, kalau mau ambil aja." Tifa langsung memukul pundak Iko yang tergelak dengan gurauannya.

"His... dasar!" Tifa ikut tertawa begitu mendengar gurauan Iko.

"Ya udah buruan beli, aku udah ditunggu," pamit Iko yang kembali mengangkat galon airnya karena melihat teman perempuanya sudah melambaikan tangan agar segera datang.

Keduanya pun menjauh ke arah tujuan masing-masing. Setidaknya pagi ini mereka tidak terlibat pertengkaran.

**********

Iko menikmati sarapan paginya berupa nasi uduk dan sambal goreng tahu tempe di tenda putri. Satu temannya yang sama-sama mendapat tugas kurve sudah makan dan sekarang menjaga tenda putra. Sementara itu, teman perempuan yang kurve bersamanya sedang mencuci piring. Jadi, dia menikmati sarapannya sendirian karena anggota lainnya sudah berangkat ke tempat kegiatan masing-masing.

"Kak, maaf." Iko mendongakkan wajah ke arah seorang perempuan yang menyapanya.

"Iya," jawab Iko sambil tersenyum ramah.

"Tadi saya pinjam ember di belakang. Tapi karena tidak ada orang, jadi saya bawa dulu. Sebentar lagi selesai, maaf Kak," ucap Bela meminta maaf.

"Iya, tidak apa-apa. Pakai saja." Bela pun pamit dan Iko kembali menekuri sarapannya.

Drrtttt Drrtttt.

"Hallo, Assalamualaikum, Mbak." Iko menyapa panggilan dari Sila.

"Waalaikumsalam, Ko," balas Sila di seberang.

"Tumben pagi-pagi telepon?" tanya Iko keheranan. Biasanya kakaknya itu akan sangat repot saat pagi dengan suami yang akan berangkat ke kantor juga kedua anak mereka yang ribut.

"Nggak boleh? Mbak lagi suntuk nih," adu Sila di seberang.

"Tumben aja, pagi-pagi kan, Mbak biasanya repot. Suntuk kenapa memangnya? " balas Iko.

"Anak-anak lagi mainan sama Emil, Masmu tuh bikin kesel aja," kesal Sila yang ditanggapi cengiran Iko. Memang setiap kali kakaknya memiliki masalah, Sila tak segan curhat pada adiknya begitu pun Iko. Baik Emil maupun Sila selalu menemui Iko jika sedang ingin berbagi keluh kesah. Bagi sahabat dan kakaknya, Iko adalah pendengar yang baik.

"Kenapa lagi?" Sila merengut di seberang sana. "Masa pagi-pagi udah main pergi aja ke rumah singgah, nggak pamit, nggak pesen apa-apa dan nggak ngajak aku juga," adu Sila menggebu. Iko mengela napas mendengar curhatan kakaknya.

Memang semenjak hamil kakaknya sudah jarang pergi ke rumah singgah yang menjadi saksi dulu Sila menemukan cintanya. Menemukan jawaban arti detak jantungnya yang selalu melaju dengan cepat saat bersama laki-laki, yang pada akhirnya menjadi suaminya kini.

"Mbak kan, kangen pengen ke rumah singgah lagi," Lanjut Sila. Semenjak hamil Sila jarang mendatangi rumah singgah, bahkan setelah memiliki anak juga tetap jarang karena suaminya sudah turun langsung mengelola rumah singgah bersama relawan lain yang dulu menjadi teman-teman dekat Sila.

"Udah ... nggak usah ngambek begitu, pasti Mas punya alasan kenapa nggak pamit. Yah ... mungkin Mbak nggak bangun-bangun kali pas dipamitin. Kan, tidur Mbak kayak kebo!" Iko terbahak, membuat Sila mendengus di seberang sana.

"Atau servisnya kurang bikin klepek-klepek?" Sila berteriak di seberang begitu Iko menyinggung urusan ranjangnya.

"Kurang puas gimana coba, Mbak disuruh berdiri, duduk, jongkok, tengkurep atau buka paha lebar- lebar juga nurut kok. Minta di kamar, di WC, di empang, di atas kompor juga Mbak jabani. Enak aja bilang dia nggak klepek-klepek. Orang tiap habis perang dia langsung keok, tumbang nggak bergerak," gerutu Sila berapi-api. Iko yang mendengar hanya mengusap dadanya 'sabar' menghadapi singa betina yang lagi kesal. Pantas saja tetangganya, kakaknya Emil pernah kabur melarikan diri ke Bandung gara-gara membuat singa betina marah bahkan Iko yang harus menjadi samsak kakaknya untuk meluapkan amarah yang berapi-api.

"Eh ... Lo...." Iko langsung memasang wajah ceria begitu suara di seberang berubah menjadi teriakan riang keponakannya.

"Hallo sayang," balas Iko dengan tersenyum riang. Tak disadarinya Tifa yang berdiri tak jauh dari tempat Iko, mematung begitu mendengar laki-laki yang duduk bersila dengan piring di depannya tengah bercakap mesra dengan seseorang yang entah siapa. Karena yang Tifa dengar laki-laki itu memanggil 'sayang' dengan wajah berbinar.

Tifa mundur dan segera meletakkan ember yang dipinjam Bela kemudian ia setengah berlari masuk ke tendanya sendiri. Entah kenapa ada rasa jengah mendengar kata 'sayang' dari bibir laki-laki tadi.

Dikeluarkan ponselnya dan mengetikkan sebuah pesan pada seseorang.

Mr. Mahar, merindukanku? telepon aku nanti malam jam 9.

__________________

Scout In Love (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang