Aku menaiki satu demi satu anak tangga yang menjulang seperti pias. Kalau bukan wajah sendu ibu yang memaksaku ke sini, tentu aku enggan ke sini lekas-lekas.
"Cobalah, Nak. Mau sampai kapan kamu terlarut dalam masa lalu. Kamu mau jadi perawan tua?" mendadak ibu beralih jadi penggera. Membuat telingaku jengang mendengar susunan lema yang dicampur berulang-ulang
Yang membuatku bebal, bagaimana mungkin aku harus mmerajut pias-pias tangga dengan kakiku lebih dulu, setinggi itu, hanya untuk sekadar tahu namanya. Bukankah itu menyebalkan? Aku ini perempuan. Bukankah jika begini, seperti aku yang menjemputnya? Memangnya siapa dia, pangeran berkuda putihkah? Menyebalkan sekali
Tentu saja bukan, jika benar ada kuda putih di kendalinya. Akan dengan mudah ia pacu menerobos tingkat demi tingkat tangga yang mencekat itu
Mendadak, aku merasa sedang melakukan sebuah kebodohan besar hingga aku mau mengorbankan harga diriku sendiri
Aku berhenti di tangga entah ke berapa. Ingin sekali kutelpon ibu dan membatalkan pertemuan ini. Tapi, semburat wajah sendu ibu lagi-lagi menghalanginya.
"Cobalah, Nak. Dia anak yang baik." begitu selalu ibu berkata tanpa perlu menjelaskan apakah "baik" versinya adalah sama dengan "baik" versiku. Huh
Aku menghela napas panjang. Teringat tangga demi tangga yang juga berjumlah ratusan, yang pernah kunaiki sebelumnya. Bersama seorang pria. Tangga yang hanya mengantarkanku pada kekosongan ruang yang tak menjanjikan apa pun. Juga perkataan yang selalu saja berdenging di telinga, "Maafkan aku, Ra. Aku sudah membawamu sampai sejauh ini. Tapi aku tak bisa menjanjikan apa pun." Aku menggigit bibir
Sejak itu, aku membenci segala hal yang diawali dengan janji. Termasuk ritual "janji pulang sekolah" yang begitu senang diucapkan murid-muridku di PAUD setiap sekolah usai--jika kelak jadi kepala sekolah, itu hal pertama yang akan kuhapus, atau setidaknya akan kuganti kata "janji" dengan kata lain yang lebih mendamaikan hati
Seperti biasa, ketika mengingatnya, air mataku akan runtuh dengan sendirinya
YOU ARE READING
Angkasa Raya
RomanceKadang, kita tak pernah bisa menjeda rasa lelah. Apalagi jika segala lelah itu berpangkal pada harapan yang membumbung di awan. Kadang pula, kita tak mampu membentung rasa kecewa atas segala harap yang tak terlaksana. Apalah manusia yang tak kian me...