Lingkar Manis

17 0 0
                                    

Hari ini, untuk kali pertama aku akhirnya melepas cincin pertunangan kita. Entah bagaimana hati ini merasa begitu jemu dengan segala sikap dan perilakumu yang sungguh sangat jauh dari aku. Orang bilang, melihat sisi buruk pasangan adalah bagian dari ujian pernikahan. Begitupun dengan aku yang seolah baru terbuka atas sisi-sisi kamu yang baru kutahu. Juga kamu yang entah bagaimana aku merasa tak begitu ramah dengan apa-apa kesalahanku.
"Cincin kamu melukaiku, Mas." kataku suatu siang ketika mengadukan perihnya jari kelingking yang terluka akibat terlalu sering bergesekan dengan cincin.
"Aku kan seumur-umur gak pernah pakai cincin. Jadi kapalan, terus aku kelupas kapalnya jadi luka begini, huhu."
"Lepas saja dulu." katamu ringan, teramat ringan. Mungkin, kamu memang tak menganggap hal ini penting. Tapi entah mengapa seperti ada sayatan halus di batinku.

Perlahan, air mataku pun tak bisa lagi kutahan, sedih sekali melihat suara kerasmu melengking di telepon siang itu. Karena sebodoh-bodohnya aku, tak pernah aku meneriaki diriku sendiri. Mendadak akupun merasa menjadi orang yang teramat mencintai diriku sendiri. Aku ingin melakukan segala hal dengan sendiri.

Dengan sendiri, aku merasa jauh lebih baik. Aku tak perlu mengubahsuaikan jadwal harianku yang fleksibel dengan jadwalmu yang super terstruktur. Aku tidak akan memarahi diriku sendiri hanya karena kebiasaan meninggalkan benda di rumah lalu harus bolak balik rumah-kantor tiga sampai empat kali sehari. Paling-paling, aku hanya menertawai diriku sendiri. Aku sudah terbiasa memaafkan diriku sendiri, lain kali lebih teliti dong! Begitu ucapku paling jika kesalahan yang sama terulang lagi. Tapi denganmu, semua hal-hal kecil itu menjadi tak semudah kelihatannya, bukan?

"Gimana, sih, Dek? Masa begitu aja gak bisa?" katamu kalau sudah di puncak kesebalan.
Kata-kata yang keluar di saat emosi memang sebegitu menyakitkannya ya. Meski jika saat bersenda gurau keluar kata yang sama, nuansa rasanya bisa benar-benar berbeda.
Mungkin, aku salah jika mengharapkan apa apa yang biasa aku lakukan ke orang lain dilakukan juga olehmu kepadaku. Tentu, aku sedang menilai sesuatu dengan kacamata diriku sendiri: sesuatu yang menurutmu sungguh amat keliru.

Tapi boleh, kan, aku memberi tahu apa yang mendamaikan hati?

Bagi aku seorang yang teledor, yang seringkali kehilangan barang, yang terkadang tak bisa menjaga keawetan dan dipenuhi ketidakhati-hatian, tetap saja merasa sedih ketika kamu, seperti terpaksa, menitipkan bendamu kepadaku sambil berujar, "Nih bawa kamu, tapi jangan sampai hilang lho!" yang meski katakatamu benar bahwa aku memang suka menghilangkan barang, tapi hati seolah tak bisa menerimanya.
Mungkin, akan lebih baik rasanya jika kau bilang, "Tolong jaga benda ini ya, aku percaya padamu." bukankah maksudnya sama? Tapi tentu, aku tak patut menuntutmu bisa memilih kata dalam berkomunikasi denganku. Karena kamu sama sekali bukan aku.

Sesekali kuterperangah ketika ring itu tak melingkar di manisku. Semacam ada yang hilang rasanya, apalagi ketika melihat bekas lingkaran putih yang menajam di sana: tanda bahwa cincin emas itu sudah lama berada di sana. Pandanganku beralih kepada luka kecil di kelingkingku yang mulai mengering. Apa benar luka itu hadir karena cincinmu? Ataukah ada sebab lain yang tak kusadari?

Angkasa RayaWhere stories live. Discover now