Episode 1: She's Flawless

72 9 4
                                    

Puk. Puk. Puk.

Gumpalan-gumpalan kertas meluncur berkali-kali dan mengenai tengkuk Hwang Eun Bi. Gadis itu tetap bergeming, ia sudah tahu siapa pelakunya dan pada jam terakhir ini ia hanya ingin konsentrasi pada guru matematika yang mengajar di depan daripada mencari gara-gara. Awalnya ia tidak terlalu peduli karena ia lebih fokus pada Pak Lee yang sedang menerangkan trigonometri di depan, namun ini kali keempat bola-bola kertas itu meluncur dan itu membuatnya jengah. Ia menghentak-hentakkan meja di belakangnya menyuruh pemiliknya berhenti berulah dan lebih baik memperhatikan Pak Lee yang dari tadi melayangkan tatapan membunuh ke arah mereka. Tapi bukan malah diam, tapi semakin banyak bola kertas yang mengenai tengkuknya.

Sialan.

Gadis itu menoleh ke belakang. Dan, puk, si pemilik gumpalan kertas yang tidak ancang-ancang kalau gadis itu berbalik malah melempar gumpalan kertas itu tepat ke wajahnya.

"Bobby, sialan!" serunya tertahan. "Bisa tidak kau diam agar Pak Lee tidak menghukum kita lagi? Aku sudah lelah berdebat denganmu, bodoh!"

Bobby meringis. Laki-laki itu menepuk pipi Eun Bi. "Maaf, pipi dengan blush-on ini jadi sedikit tergores."

Pipi Eun Bi bersemu. Di saat-saat yang tidak tepat seperti ini dia malah melayang dengan kata-kata Bobby. Sialan.

"Berhenti berkata seperti, aku tidak pernah memakai blush-on, Kim Bobby."

Bobby hanya mengangguk mengabaikan, lalu pura-pura memperhatikan Pak Lee di depan.

Eun Bi mencubit pipinya gemas. Lalu kembali ke posisi semulanya.

Kim Hanbin berada di pojok, di belakang Bobby dan Eun Bi yang berada di barisan sampingnya, dua bangku di depannya. Selama ini Hanbin hanya mengamati dan mengamati. Meskipun kedua orang itu adalah sahabat baiknya. Dunia terasa tidak adil bagi Hanbin.

Dia terjebak dengan perasaannya sendiri.

Hanbin tahu, di dalam sebuah persahabatan antara lawan jenis pasti ada yang kalah, meskipun sampai sekarang hati kecilnya masih mengelak, dia hanya perhatian karena kasihan bukan karena menyukainya.

Menyukainya.

"Hei, Hanbin! Jangan melamun!" tiba-tiba Eun Bi sudah muncul di depannya.

Hanbin tidak menyadari jika bel pulang sekolah sudah berbunyi dan Pak Lee sudah meninggalkan kelas.

"Jadi ke rumahmu?" tanya Hanbin setengah kaget.

Eun Bi mengangguk. "Langit cerah sekali, lebih baik kita main di rooftop bibiku dulu."

Hanbin mengangguk, Eun Bi memang tinggal bersama bibinya.

"Mana Bobby?"

"Dia ke kamar mandi, kita duluan saja, let's go!" Eun Bi bersorak, sambil merangkulkan tangannya ke leher Hanbin. Jantungnya berdesir.

Berbeda perlakuannya ketika mengajak Bobby, Eun Bi akan menggamit lengan Bobby seperti sepasang kekasih. Hanbin tidak tahu kenapa alasannya, separuh hatinya terasa perih ketika Eun Bi seperti itu, namun separuh hatinya lagi mengelak buat apa dia berlebihan memikirkan itu.

Hanbin tersenyum, miris.

.

"Bobby, tangkap aku!"

"Tidak usah sok bermain skateboard kalau tidak bisa, bocah."

"Bobby, aku benar-benar akan jatuh!"

Kim Hanbin duduk di kursi panjang tak jauh dari mereka. Lagi-lagi hanya mengamati. Tersenyum ketika mereka bertingkah konyol. Dengan senyum khasnya, terlihat menawan namun miris.

Hanbin merasa jauh. Melihat Eun Bi. Gadis yang sempurna dengan caranya sendiri. Entah apa alasannya hati Hanbin terasa jauh. Laki-laki itu memang tidak sesupel Kim Bobby, dia tidak pandai melontarkan gurauan seperti Bobby.

Bagi Hanbin Eun Bi sangatlah menggemaskan. Gadis itu merawat kulitnya dengan baik, meskipun polesan make-up tipis. Hanbin pernah melihat kotak kosmetik yang sering dibawa Eun Bi hanyalah berisi BB cream, bedak, lip tint, cream blush, dan maskara transparan. Itu sangat wajar untuk ukuran anak sekolah tinggi di Korea Selatan. Rambutnya panjang dengan warna kecoklatan khas murid sekolah tinggi. Dia cukup pandai di kelas, apalagi pelajaran bahasa yang bagi Hanbin itu adalah sejenis alergi. Eun Bi sangat menyukai makanan pedas, tapi Hanbin sangat membencinya. Hanya satu kegemaran mereka yang sama.

Mereka sama-sama suka menari. Eun Bi dan Hanbin sangat pandai menari. Mereka sering berlatih bersama.

Begitupun Bobby.

Entah kenapa itu menjadi momok bagi Hanbin.

"Bobby, tolong aku!"

Bruk.

Eun Bi tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya di atas skateboard menghambur ke arah Bobby yang di depannya.

Waktu seakan berhenti.

Eun Bi masih memeluk Bobby, laki-laki itu terkejut, matanya membulat, dan Hanbin yang terkesiap menatap dari kejauhan.

"Ekhm." Bobby berdehem. Menjauhkan tubuhnya dari Eun Bi.

"Ma-maaf." Eun Bi menggaruk tengkuknya. Lalu menyengir tak berdosa, menetralisir suasana.

Gadis itu lalu dengan riang berjalan ke arah Hanbin lalu duduk di sampingnya. Meninggalkan Bobby yang masih terkejut dan mengalihkannya dengan bermain skateboard.

"Di mana bibimu?" tanya Hanbin basa-basi.

"Sedang belanja di supermarket."

Hanbin manggut-manggut. Eun Bi memang sudah lama tinggal dengan bibinya.

"Ya, sejak ibuku pergi aku sudah menganggapnya sebagai ibu kandungku sendiri. Menyenangkan sekali tinggal di sini." Eun Bi tersenyum riang. Hanbin tahu, senyum di bibir Eun Bi bukan berarti senyum di matanya. Mata itu masih menyiratkan kesedihan, gadis itu pasti terpukul kehilangan orang paling disayanginya. Gadis itu seakan punya dua kepribadian, di luar dia terlihat ceria, riang, bahkan tanpa beban namun Hanbin tahu di dalam hati gadis itu ada luka yang sulit disembuhkan. Hanbin merasa perih melihat sirat matanya.

Hanbin melihat sesuatu yang sedari tadi diselipkan Eun Bi di dalam novel Edgar Allan Poe-nya.

Tiket pesawat.

Bali. Tempat dinas ayah Eun Bi sekarang.

Hanbin menyelipkan tiket itu lagi di dalam novel ketika Eun Bi berbalik ke arahnya.

"Hei, hei, apa ya?" Bobby menghampiri mereka dari belakang. Melompati kursi dam duduk ditengah mereka. Merangkul leher mereka.

"Bobby, leherku sakit!" erang Eun Bi.

"Benarkah, maaf." Bobby menepuk-nepuk pipi Eun bi, lagi.

Jantung Hanbin terasa tertekan.

Ia tersenyum, miris.

Lagi.

.

Aku akan baik-baik saja, kau juga akan baik-baik saja.

Jika kau berkata seperti itu dan pergi, kau pikir aku akan baik-baik saja?

Story Of Season: Summer AirplaneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang