[1/3 : Awan]

1K 123 78
                                    

Hijau, seketika saja aku tenang saat menatapnya.

-AWAN-

ⓒ 2016 Nnrlxs

°°°

Suara jeritan perempuan yang berdiri di samping Awan membuat Awan tersenyum licik. Alisnya terangkat satu seolah penasaran dengan sebab yang membuat perempuan itu menjerit.

"Awa! Lo tuh ... argh!"

Sedangkan Awan yang disalahkan hanya menatap perempuan itu dengan wajah polos. Tak lama, ia menunjuk dirinya sendiri. "Kok lo nyalahin gue?"

Dijawab seperti itu dengan Awan, perempuan tersebut kemudian pergi dengan perasaan dongkol. Awan yang melihat hal itu terkekeh pelan.

Matanya kembali mengelilingi seluruh penjuru koridor. Mencari korban. Dan tentunya harus perempuan.

Ia terpaku pada satu titik objek perempuan dengan setumpuk buku di gendongannya. Senyum Awan mengembang. Dengan langkah yang terlalu santai, Awan melirik perempuan itu sejenak, lalu menyenggolnya sehingga buku-buku yang dibawa oleh perempuan itu terjatuh. Sesegera mungkin Awan pergi menghindari amukan maut dari perempuan tersebut.

Dia berjalan menuju arah loker untuk mengambil beberapa buku pelajaran yang akan dimulai pada jam selanjutnya.

Usil.

Satu hal yang tercap dalam diri Awan. Yang sudah diketahui seantero sekolah tentang kehebatannya dalam hal mengusili orang. Awan suka melihat orang kesal karenanya. Mendengar mereka mengomeli Awan dengan segala kemarahannya. Awan senang.

Awan hanya merasa, dia ada. Dianggap ada oleh semua orang. Namun, memang pada dasarnya Awan selalu dianggap ada.

Banyak orang yang mengetahui satu sisi Awan. Sisi usil pastinya. Namun, masih banyan sisi lain yang masih belum terlihat jelas.

Awan itu rancu. Suka keramaian. Usil. Namun, kadang serius. Dia terlalu sulit dimengerti.

Awalnya, Awan tidak bermaksud memiliki sifat jahil saat ia memasuki sekolah ini. Namun, ia melihat fakta bahwa di sekolah ini ia mempunyai banyak sekali penggemar yang membuat Awan sesak napas saat menghadapinya. Seribu satu cara Awan lakukan untuk membuat para penggemarnya ilfeel kepadanya. Tapi, itu hanya harapan Awan. Faktanya, semakin dia usil akan suatu hal, para penggemarnya itu justru menganggap Awan adalah laki-laki humoris dan lucu.

Awan sudah lelah menghindar dari penggemarnya. Apa lagi, puluhan surat beramplop merah muda yang setiap hari ada di lokernya, berisi deretan kalimat memujinya. Seketika itu juga Awan merasa mual.

Bukannya Awan tidak menghargai segala upaya para penggemarnya. Namun, bisakah mereka tidak membuat loker Awan penuh hanya karena surat-surat yang isinya hampir sama?

Awan tidak mengerti. Ada cara yang lebih baik untuk menarik perhatian seorang Awan daripada ini.

Sekarang, coba tanyakan pada Neptunus, apakah surat ini akan dibaca oleh seorang Awan?

Sebelum kalian benar-benar pergi ke luar angkasa sana. Jawabannya tidak, Awan tidak akan peduli dengan semua surat itu. Dipoles dengan seapik apa pun, surat itu tidak akan menarik perhatiannya. Sebagus apa pun tulisan dan diksi yang ditulisakan di lembar kertas itu, Awan tidak peduli.

Seperti namanya, Awan memang nyaman dipandang. Namun tak semudah itu bisa menggapainya.

°°°

"Awan!"

Kepala Awan menoleh, diangkatnya satu alis mengisyaratkan kata 'apa'.

"Tadi, ada cewek nyariin lo."

Raut wajah Awan berubah datar. "Udah biasa."

Laki-laki di sebelah Awan―Setya melotot. "Dia beda, Wa. Gak kayak cewek yang biasanya ngejar-ngejar lo. Nanti gue tunjukkin deh ceweknya yang mana, namanya Daun. Daun dipanggilnya Dau."

Tetap saja wajah Awan tidak berubah. Datar. Selalu saja begini jika ada seseorang yang menyinggung tentang perempuan yang menghampirinya. "Gue gak tertarik."

"Awas aja lo sampe gak kedip liat mata si Dau."

Awan terdiam sejenak. Terbayang di otaknya mata Daun seperti hantu-hantu perempuan di film horor. Ia bergidik ngeri. "Kenapa emang sama matanya?"

"Matanya bikin adem. Hijau-hijau gitu, kayak daun."

Mendengar itu, Awan hanya menggendikkan bahu cuek. Awan tidak terlalu peduli dengan urusan perempuan. Siapa pun Daun itu, perempuan itu akan sama saja seperti perempuan lain yang mengejar-ngejar Awan.

Awan bukan penyuka sesama jenis. Ia hanya ingin mencari perempuan yang benar-benar bisa membuatnya berubah, bisa membuatnya tak berkedip saat menatap. Sederhana, Awan tidak ingin memiliki perempuan yang hanya bisa menerbarkan pesonanya ke mana saja. Meskipun Awan usil, Awan sangat pemilih dalam beberapa hal, termasuk perempuan.

Yang ia inginkan adalah perempuan yang bisa mendandani diri. Mendandani hati dan akhlaknya menjadi baik. Bukan hanya mendandani rupa.

"Besok gue tunjukin yang mana Dau. Gue balik dulu."

Awan hanya mendengus malas, kenapa kawannya yang satu ini sangat terobsesi mempertemukannya dengan Daun. Bahkan, ia sangat yakin jika Awan akan terpaku saat menatapnya. Matanya hanya hijau, tidak lebih dari itu.

Di pikiran Awan, sosok Daun sudah terbayang.

Bule dengan mata hijau.

Sudah sering Awan melihat bule. Dan tak ada satu pun bule yang bisa membuatnya terpaku ataupun terdiam sampai meneteskan air liur.

Inilah Awan, selalu sibuk dengan ekspetasinya sendiri. Tanpa ingin melihat realita yang ada.

Hidup itu tidak selalu sesuai dengan ekspetasimu, kawan.

°°°
A/n

Hella semua warga wattpad! Selamat datang di dunia Awan dan Daun💃

Cerita ini hanya tiga bab, yang akan kuupdate rutin selama tiga hari. So, stay tune👌

Awan dan Daun [3/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang