Terdengar ketukan antara sepatu dan ubin yang saling bersahutan. Awan sesekali mengetukkan kedua sepatunya di lantai kala ia merasa bosan. Dihelanya napas panjang. Dia menatap arah depan dengan bosan. Sejarah, Awan sangat membenci itu.
Awan milirik keluar jendela. Terlihat seorang perempuan sedang mengintip ke dalam kelas. Matanya menyipit, mencoba menfokuskan diri pada objek di depannya itu.
"Ehem, baiklah anak-anak. Pelajaran kali ini selesai." Akhirnya, setelah sekian lama Awan menunggu kalimat itu pun terlontar dari mulut gurunya.
Awan bernapas lega. Ia membereskan peralatan tulisnya yang bejejer di meja dengan cepat. Senyumnya mengembang.
"Berdoa menurut keyakinan masing-masing, mulai." Ketua kelas yang menurut Awan sedikit sengklek itu memimpin berdoa sebelum pulang.
Setelah semua hal rutin dilakukan saat jam terakhir selesai. Para siswa berdesakan keluar kelas membuat suasana menjadi sesak. Padahal, sebelum itu, ruangan ini masih terasa dingin.
"Awa. Itu si Dau." Perkataan mengagetkan itu tiba-tiba saja memenuhi indra pendengarannya.
Awan menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Setya. Hanya punggung dengan rambut yang terlihat. "Lo mau candain gue apa gimana, sih, Set."
"Halah, gak percayaan lo sama gue. Ayo ke sana. Yang di sebelahnya itu Eris, cewek yang abis lo tabrak kemarin, 'kan?" tanya Setya.
"Hm."
Setya menepuk pundak Daun pelan. Refleks, Daun menoleh dengan senyum. "Ada apa?"
Setya membalas senyum Daun. "Ini katanya lo nyari Awan," jawabnya sembari menunjuk Awan yang terdiam.
Anggukan Daun membuat Setya terkekeh. "Lo lucu, Dau."
Yang dibilang 'lucu' oleh Setya hanya tersenyum kecil. Kemudian, Daun mendongak, ia beralih menatap Awan.
Daun diam, terpaku akan mata abu-abu yang menusuk penglihatannya dengan sejuta pesona.
Awan diam, terlena akan mata hijau yang membuatnya tenang dengan sejuta kenyamanan yang belum ia rasakan sebelumnya.
Eris dan Setya yang melihat kedua orang ini sama-sama terdiam dan saling menatap hanya terkekeh kecil. Lalu, mereka berucap bersamaan, "Udah gue tebak bakal gini jadinya." Setelah berucap seperti itu, mereka lalu pergi. Membiarkan dua orang ini saling bertatap tanpa memperhatikan kanan kiri.
"Eh, maaf," celetuk Daun salah tingkah. "Sebenernya, aku ke sini ma―"
"Aku?" tanya Awan heran.
Daun mengangguk. "Aku? Kenapa?"
"Coba ngomong pake 'gue' aja, biar enak," jawab Awan tenang.
"Aku udah pernah coba, tapi kesannya aneh." Daun menggeleng pelan.
Awan menyipitkan matanya, mencoba melihat lebih dalam mata Daun yang terkesan lugu. Mata itu terlihat penuh dengan keramahan. "Kata Setya, lo cariin gue. Kenapa?"
Dengan cepat, Daun mengangguk. "Aku cuma mau bilang sama kamu. Berhenti usilin orang lain. Apa lagi, yang kamu usilin itu sahabat Dau. Aku gak mau ya, sahabat aku digituin. Usil kamu itu jangan keterlaluan, Eris waktu itu lagi bawa buku banyak. Main senggol-senggol aja. Kalo semisal niat usil itu, abis usil minta maaf atau enggak tolongin. Jangan main pergi aja," jawab Daun panjang lebar dengan diakhiri senyuman.
Awan terdiam, ia mengangkat satu alisnya. "So, tujuan lo ngomong gini sama gue apa?"
"Supaya kamu berhenti jailin orang lain."
"Dau, itu udah tabiat gue. Susah ngerubahnya. Gue bisa janji berhenti buat usilin Eris lagi, tapi, gue gak bisa berhenti jailin orang lain."
Helaan napas panjang terdengar dari mulut Daun. Ia menunduk. Rasa kesal sekaligus gugup menyelimutinya. Daun paham, bahwa Awan terlalu mempesona untuknya. Ia tidak berani berlama-lama mentap mata abu-abu itu. Daun kembali berkata sembari menunduk, "Tapi kamu gak kasian apa sama orang yang kamu usilin."
"Enggak, kecuali yang gue usilin sepolos dan seramah lo."
Daun semakin menunduk dalam. Keringatnya mulai bercucuran. Ia melirik ke samping dan tidak menemukan Eris di sana.
"Kok nunduk?" tanya Awan heran. "Gue gak bakal usilin lo kok. Gak usah takut."
Daun menggeleng pelan. "Aku gak takut sama kamu," jawabnya tegas. Lalu, Daun mendongak dengan senyuman.
Seketika Awan terpaku. Mata abu-abunya menatap sepasang mata hijau itu lurus-lurus. Daun yang menyadari itu kembali menunduk. "Kamu jangan liatin Dau kayak gitu. Aku takut."
"Katanya tadi gak takut."
"Ih."
Seulas senyum tercetak di bibir Awan. Ekspetasinya tentang Daun salah besar. Ia kira, Daun sama saja seperti perempuan-perempuan yang selama ini mengejarnya. Yang berdandan menor saat sekolah, bajunya yang saat pas di tubuh, apa lagi, rok yang harusnya di bawah lutut malah dipotong menjadi sepaha. Awan sampai heran, mengapa perempuan-perempuan seperti itu tidak tau malu sama sekali. Mungkin yang ada dipikiran perempuan-perempuan tadi, penampilan seperti itu dapat memikat hati Awan.
Sekarang, coba tanyakan pada Neptunus, apakah perempuan seperti itu dapat memikat seorang Awan?
Sebelum kalian benar-benar pergi ke luar angkasa sana.
Jawabannya tidak, Awan lebih menyukai perempuan seperti Daun.
Daun yang bermata hijau dan berkulit putih, namun tak ingin dijuluki bule. Daun yang suka tersenyum setiap saat. Daun yang suka ketenangan. Daun yang suka bersepeda. Daun dan hanya Daun.
Awan dan Daun. Dua hal berbeda dan saling bertolak belakang. Namun, salahkah mereka jatuh dalam satu rasa yang bernama cinta?
-selesai-
°°°
An//
Hella, makasih yang udah baca Awan dan Daun, yang udah ninggalin jejak. Sayang deh, muah💃 aku tau ini alurnya kecepetan pake banget, hiks. Dan btw, aku bosen libur mulu, hue hue.
Tetap padamu, 23 Maret 2016
KAMU SEDANG MEMBACA
Awan dan Daun [3/3]
Short StoryNamanya Awan. Berkulit sawo mentah khas masyarakat Asia. Dengan mata abu-abunya. Dia Awan, dengan segala tatapannya yang mampu membuat siapa saja terpaku. Oh ya, jangan lupakan perempuan dengan senyumannya. Namanya Daun, berkulit putih bak masyaraka...