[2/3 : Daun]

610 105 27
                                    

Abu-abu, tidak tau mengapa mataku selalu terpaku saat menatapnya.

-DAUN-

ⓒ 2016 Nnrlxs


°°°

"Dau."

Panggilan singkat itu membuat Daun menoleh dengan senyum di bibirnya. Selalu begitu, dengan senyum mengembang, Daun menyambut siapa saja yang menyapa atau memanggilnya. Kesan ramah sudah ada di diri Daun sejak kecil.

"Kenapa, Er?"

Yang dipanggil 'Er' oleh Daun itu menghela napas panjang. Ia menghempaskan dirinya ke bangku di sebelah Daun. "Gue diusilin lagi."

Daun menumpu kepalanya dengan kedua tangan, siap mendengarkan segala kicauan Eris tentang seseorang yang mengusilinya. Tak pernah sekali saja, Daun mengabaikan kawannya yang satu ini. Daun selalu mendengarkan apa pun keluh kesah Eris. Tanpa merasa bosan atau kesal. Meski telinga Daun sendiri sudah panas mendengarnya.

"Lo tau yang namanya Awa, gak?"

Dengan polosnya, Daun menggeleng pelan. "Enggak, emang Awa kelas berapa? Kok Dau bisa gak tau."

Eris beralih menatap Daun. "Awan, dipanggil Awa kelas sebelas IPS tiga. Masa lo gak tau, sih. Tadi tuh, gue disuruh Bu. Laras buat kembaliin buku ke perpustakaan. Bukunya banyak banget loh, Da―"

Daun menyela perkataan Eris, "Kenapa Eris gak minta tolong sama Dau aja!"

Diliriknya Daun perlahan. "Gak sempet. Gue lanjutin nih, ya. Waktu gue lagi kesusahan bawa buku Awa tiba-tiba nyenggol gue. Disengaja lagi, alhasil, bukunya jatuh semua. Kurang kesel gimana lagi coba, abis nyenggol gak minta maaf, gak nolongin gue. Langsung pergi gitu aja."

Daun yang mendengar celotehan Eris itu terdiam. Dalam hati ia merengut kesal, siapa pun yang bernama Awan itu, akan ia berikan peringatan agar tidak mengganggu Eris lagi. Daun tidak mau, kawannya diperlakukan seperti ini.

"Eris, nanti kasih tau aku ya, yang mana si Awa."

Sejenak, Eris menatap Daun bingung. Namun, ia sadar apa yang akan Daun lakukan. Eris sudah tau dan hafal di luar kepala. Pasti, Daun akan memberikan peringatan kepada Awan. Seperti yang Daun lakukan kepada orang-orang yang memperlakukan Eris sebelumnya.

Bukan, Daun bukan ingin melabrak atau menindas Awan. Daun tidak mampu untuk itu. Daun hanya ingin memberikan peringatan halus dengan senyum yang tak luput dari bibirnya.

Setelahnya, Eris merangkul Daun erat. "Dau, makasih ya udah mau jadi sahabat gue."

Sedangkan yang dirangkul hanya tersenyum sembari berujar, "Ya jelas dong, Dau kan baik hati."

Eris mendelik. "Kumat."

Daun hanya tersenyum kecil melihat tingkah Eris. Tak lama perbincangan mereka terhenti dengan kedatangan guru dengan badan tinggi kurus. Daun membenarkan posisi duduknya dan mulai berdoa seperti biasa.

°°°

Helaian rambut Daun berterbangan. Mata hijaunya terpejam menikmati semilir angin yang menenangkan hatinya. Deru kendaraan bermotor berkali-kali terdengar di telinga Daun. Hari ini Daun gagal bertemu Awan karena Eris tiba-tiba mendapat kabar dari ibunya bahwa ada acara mendadak. Dan juga, Dau sempat menghampiri kelas Awan, namun Awan sudah keluar dari kelasnya. Alhasil, Daun memilih mengunjungi tempat ini sepulang sekolah tadi.

Tempat yang rindang dengan banyak pohon besar di sekitarnya menambah suasana sejuk tempat ini. Pemandangan hamparan sawah luas menyegarkan mata Daun yang hijau. Tak lupa suara aliran sungai dan kicauan burung menemaninya.

Daun suka ketenangan. Daun suka kebahagiaan. Daun suka senyuman.

Ia memperhatikan sekeliling. Sejauh mata memadang, hanya biru dan hijau yang terlihat di mata Daun. Beruntungnya, hari ini tak ada awan kelabu yang menghiasi langit. Hanya sekedar goresan jingga terlihat memanjakan mata.

Dua jam berlalu, Daun mulai beranjak dari tempat itu. Hari sudah sore, sebentar lagi maghrib akan tiba. Dan juga, Daun tidak suka membuat kedua orang tuanya khawatir.

Kembali ia berjalan sembari menuntun sepedanya melewati jalanan kota yang padat merayap saat senja tiba. Para pekerja kantoran mulai berdesakan di halte bis seperti biasanya. Daun, perempuan ini lebih suka menaiki sepeda untuk pergi ke sekolah.

Setiap ditanya mengapa, Daun selalu menjawab bahwa menaiki sepeda itu ramah lingkungan, hemat biaya, dan sehat.

Kecuali dalam keadaan terdesak, Daun selalu meminta Pak Jajang―supir Daun, untuk menjemputnya.

Beberapa kali, suara klakson terdengar nyaring di telinga Daun. Parasnya yang cantik menjadikan pandangan orang-orang di sekitarnya teralihkan. Banyak yang berkata bahwa Daun adalah bule. Namun, dengan secepat kilat Daun menyanggahnya, Daun bukan orang bule. Tetapi, hanya mendapat anugerah mata hijau. Daun tidak ingin merasa dirinya dipuja-puja sebagai bule. Ia hanya ingin menjadi raykat negara ini dengan segala kecintaannya.

Daun mencintai tempat kelahirannya, meski mata hijaunya selalu bertolak belakang dengan mata penduduk negara kelahirannya ini.

Sesaat, ia tersenyum kecil melihat pemandangan di depannya. Berbeda dengan tadi.

Kini, hanya warna jingga dan orange yang terlihat di mata Daun. Lampu jalanan dan kendaraan sudah dinyalakan. Tak lupa pencahayaan di sekitar ruko-ruko kecil yang berjejer rapi di pinggiran jalan juga dinyalakan.

Hidup itu indah, kawan. Saat semuanya dilalui dengan senyuman.

Awan dan Daun [3/3]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang