Aku kadang berpikir. Bukannya setiap pertemuan pasti ada maksud? Dan dari sebanyak manusia yang ada di muka bumi ini, kenapa selalu Gerald yang harus ku temui lagi? Tapi kali ini dia meminta permintaan yang membuatku ingin mengubur diri dari dunia yang kejam ini.
Aku memegangi telingaku, "Coba kau ulangi, mungkin telingaku sedikit bermasalah."
"Telingamu tidak apa-apa, Gabriella. Dengarkan baik-baik, aku tidak akan mengulanginya lagi. Aku meminta mu menjadi istriku, sudah jelas?" ulangnya kesikian kali.
Tuhan, cobaan apa lagi ini?
Aku memejamkan mata dan memijat pelipisku, "Atas dasar apa kau memintaku menjadi istrimu?"
"Ini cuma pura-pura, Gab." ujarnya.
"Wanita di dunia ini bukan cuma aku! Kenapa kau memintaku untuk menjadi istrimu sih?!"
Dia memandangku datar, "Aku tidak terima penolakan. Besok aku jemput."
Aku menoleh ke arahnya, "Apa-apaan sih?!"
"Gab, kau tahu benar aku seperti apa. Mulai sekarang kita damai," ucapnya sepihak.
Shit. Siapa juga yang mau damai? Dia duluan yang mengibarkan bendera perang.
"Mana mau aku mempunyai suami egois sepertimu. Kau itu dingin, terlalu cuek terhadap lingkungan sekitar, tidak berpera-"
Ucapanku terpotong karena dia tiba-tiba menciumku. Tidak mencium dalam arti sebenarnya, hanya mengecup. Tapi kan tetap saja!
Aku mendorongnya supaya bisa menjauh dariku, sebelum bibirku ini makin ternodai. Akhirnya dia melepaskan kegiatan sialannya itu, "Sialan. Kau pikir kau siapa hah? Mau mu apa sih?"
Dia menyungingkan smirknya, "Menikah denganku. Aku dalam masalah genting, ayolah bantu aku. Dan mungkin saja ini tidak akan bertahan lama, doakan saja. Bagaimana?"
Dia menjulurkan tangannya, mengajakku berjabat tangan. "Cerewet! Baik, baik! Karena aku baik, kau ku tolong." ucapku sambil menerima uluran tangannya.
"Deal." ucap kita serempak.
Aku melepas seatbelt-ku sambil menenteng tas kecil yang selalu ku bawa, "Kalau begitu aku keluar. Jangan jemput aku siang-siang, aku ada kelas besok."
Kemudian aku keluar dari mobilnya. Dia hanya melihatku sambil mengangguk-angguk, "Oke, kalau begitu hati-hati."
"Kau juga," balasku dan langsung masuk ke dalam rumahku yang terbilang sederhana. Jelas jauh sekali dengan rumah milik Gerald.
Gerald orang kaya, sedangkan aku? Orang tua-ku bahkan meninggalkan ku ketika aku bayi, mereka membuangku di depan rumah yang sekarang aku tempati ini. Ya, aku di angkat sebagai anak oleh keluargaku sekarang, aku sangat berterima kasih karena mereka aku masih bisa hidup di dunia ini. Tapi sekali lagi, aku tidak punya apa-apa. Orang tua angkat ku meninggal tiga tahun yang lalu, dan aku sekarang sendiri. Tidak punya saudara dan sebagianya, hanya punya Meira yang selalu menemaniku.
Tapi aku tidak pernah bersedih, karena Tuhan tau aku bisa menjalani semuanya. Tuhan tau, aku kuat. Aku bukan gadis yang lemah.
Aku melangkah memasuki kamarku, lelah sekali. Sepertinya hari ini hari yang berat. Baru tadi pagi aku bertemu dengan Gerald saat di cafe, dan malam ini juga. Tiba-tiba dia datang ke rumahku dan mengajakku pergi. Sungguh aneh tetapi raut wajahnya serius sekali, sampai aku tertipu. Dan dengan santainya, memintaku menjadi istrinya. Kesialan apa lagi ini?
Aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas, dan aku mencoba menghubungi Meira. "Halo, Mei?"
"Ah, ya. Ada apa?" jawabnya dengan suara serak.
"Kau tidak apa-apa 'kan?" tanyaku memastikan.
Dia terkekeh, "Jangan khawatir, aku sedikit flu. Besok juga sembuh, dan ada apa menelpon malam-malam begini?"
Aku menghela napas panjang, "Mei. Kau tahu, aku baru saja di ajak menikah deng-"
Ucapanku terputus karena dia sudah berteriak, "Apa? Kau? Menikah? Dengan siapa? Apa-apaan ini!"
Aku menggigit bibir bawahku, kalau aku bilang ini hanya pura-pura, jelas Meira akan memarahiku. Aku juga bodoh, kenapa mau saja di ajak menikah oleh pria es itu. Ku putuskan untuk tidak memberitahu alasan aku menikah dengan Gerald.
"Aku menikah dengan.. Gerald, kau setuju bukan?" tanyaku hati-hati. Takut kalau-kalau Mei curiga.
Dia tertawa, "Lelucon apa ini Gab? Kau? Dengan Gerald? Oh, dunia mungkin akan hancur sebentar lagi."
"Aku serius." jawabku dengan nada yang serius.
"Aku tidak sedang bermimpi kan? Kau nyata kan?"
"Meira," tegasku. Kadang Meira bisa sebodoh ini kalau kau tahu.
"Oke, aku hanya memastikan. Kau- Ah! Ini tidak bisa di percaya! Akhirnya kalian akur juga, tanggal berapa kalian menikah? Aku menyarankan kalian honeymoon di Paris saja, aku yakin Gerald setuju."
What the- Meira otaknya sudah bergeser kah? Dia dengan mudahnya tidak curiga sama sekali? Apa-apaan ini? Dunia sudah keluar dari porosnya kah?
"Mei," panggilku sambil memberi jeda. "Apa aku tidak salah memberi keputusan? Maksudku, bagaimana dengan kuliahku yang tinggal satu semester lagi? Apa aku harus berhenti dan menjadi seorang istri yang baik?" tanyaku bingung.
"Hahaha, lucu Gab. Kau sangat lucu! Jelas sekali Gerald adalah CEO, dan kau sempat-sempatnya berpikir tentang masa depanmu saat orang yang mau menikahimu malah sudah mapan. Kau mau apalagi memangnya?" ujarnya.
Aku terdiam, bukan ini yang aku maksud. Aku tahu usiaku sudah dua puluh satu tahun, dan Gerald satu tahun lebih muda di atas ku. Kalau Gerald menikahiku hanya satu tahun? Bagaimana kehidupanku nanti? Sungguh malang nasibmu, Gab.
"Tidak ada. Ya sudah, aku mau istirahat. Sampai ketemu besok," ucapku lalu sambungan di matikan.
Aku menghela napas panjang lalu memejamkan mata. Aku meraih guling dan memeluknya, setiap aku gelisah aku selalu seperti ini. Aku hanya punya Meira, dan entah mulai kapan aku harus berbagi kehidupan dengan Gerald. Ini belum bisa ku percaya, maksudnya apa coba? Aku masih belum paham.
Aku beranjak dari kasur, lupa berganti baju. Lalu aku mengambil baju tidur di lemari dan berjalan ke kamar mandi. Berganti baju, tentu saja. Selesai berganti baju, aku melihat pantulan diriku di cermin.
Aku memukul-mukul kedua pipiku, "Seperti mimpi." gumamku.
Lalu aku mencuci muka di westafel, aku merasa cobaan hidupku belum pernah serumit ini. Apa keputusan yang ku ambil sudah benar? Dan, menurutku pernikahan bukan hal yang main-main.
Lalu apa yang sebaiknya aku lakukan? Aku mengelap mukaku dengan handuk kecil yang biasanya aku taruh di samping westafel, mungkin aku perlu istirahat.
Dan aku memutuskan untuk tidur, besok juga aku ada kelas. Untung saja tugas sudah aku selesaikan, jadi tidak perlu khawatir lagi. Huft. Melelahkan.
Sebelum aku menutup mata, ponselku tiba-tiba berdering. Karena penasaran, aku langsung mengambilnya dari dalam tas dan membukanya. Satu pesan dari nomor yang tidak di kenal. Siapa lagi ini?
Goodnight{} Aku mencoba menjadi calon suami seperti pasangan-pasangan yang lain dan tidak mengecewakanmu. Maaf kalau aku terlalu dingin.
- Gerald.
Tentu setelah membaca sederet kalimat di atas mukaku menjadi semerah kepiting. Aku tidak menyangka bahwa Gerald menganggap serius omonganku, dan ini seperti tidak masuk akal. Dia mengirim pesan hanya untuk menunjukkan bahwa dia ingin menjadi romantis, huh? Aku hargai perjuanganmu. Mungkin kita bisa mencoba menjadi pasangan (pura-pura) yang harmonis.
.[]
A/N : Chapter ini sebenernya udah jadi. Tapi publishnya di undur, jadi gue pubnya sekarang. Jangan lupa pencet bintang! See ya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Enemy to be My Husband
RomanceKalau Tuhan sudah menyatukan, kita bisa apa? -×-×- Made on, 20 Maret 2016 By: Fadiazzhra