Mati

87 4 2
                                    

Aku masih bingung dengan mimpi aneh itu. Apakah itu nyata? Apakah kami harus pindah secepatnya? Aku masih bingung akan mimpiku itu. 

Aku mengusap kepalaku sembari menuruni anak tangga. Aku bingung karena semuanya sudah rapi dan bersih, siapakah yang melakukan ini? Aku masih bingung lalu berjalan menuju ruang makan yang sudah penuh dengan sarapan pagi hari ini. 

''Pagi, Karin''senyum  Dony. ''Pagi yang cukup cerah''kata Ibuku sembari mempersilahkanku untuk duduk disebelahnya. Aku mengangguk sembari duduk disebelah Ibuku. 

''Apakah kamu tidur nyenyak nak?''tanya Ibuku yang sedang mengoleskan selai kacang di selembar roti untukku. Aku mengangguk pelan. 

''Dimana aku harus sekolah?''tanyaku sembari menyambar roti yang sudah penuh dengan selai kacang dari tangan Ibuku. ''Sekolah?''cemas Ibuku. 

''Dari rumah ini menuju sekolahmu itu sangat jauh, jika kamu nekad ingin sekolah. Besok akan Ibu antarkan. Tetapi kamu harus bangun jam 3 pagi, jika tidak mau terlambat''senyumnya lembut. Aku kaget mendengarnya.

Jam 3 pagi? Ia ingin aku sekolah atau jualan di pasar sih?  

''Apakah sejauh itu?''gerutuku. Ibuku mengangguk. ''Untuk menuju kota kita harus menempuh 3 jam perjalanan melewati desa dan hutan. Masih tertarik?''tanyanya. Aku menggelengkan kepala. 

''NO!''tolakku. Ibuku tertawa kecil lalu memberiku segelas susu putih yang sudah disiapkan sejak awal. ''Terima kasih''. Ibuku hanya tersenyum tipis. Tetapi aku hanya bisa menatapi segelas penuh susu putih yang ia berikan padaku. 

Aku masih ingin bergaul dengan teman temanku. Aku tidak ingin menghabiskan masa remajaku di rumah tua ini. 

''Tetapi kau tidak usah khawatir, Ayahmu akan mengajarimu tentang banyak hal''kata Ibuku sembari membuka gorden bercorak batik cokelat itu. 

Lalu aku menengok Dony yang sedang meneguk kopi sembari membaca majalah korannya pagi ini dengan  senyum lebar yang pernah aku miliki. 

''Oh iya, aku dan Desi akan pergi ke kota membeli beberapa barang lagi. Kalian belajarlah dengan serius''senyum Ibuku yang menarik lengan anaknya Desi yang masih memakan roti selai kacang. 

''Ternyata Ibuku mempunyai ide bagus! Iya kan', Dony?''senyumku sembari memamerkan kalung yang berbentuk hati dan namaku disitu. 

Dony menatap kalungku dengan tajam. ''Dari mana kalung itu?''tanyanya. ''Aku tidak merasa membelikannya padamu''lanjutnya.

Aku terdiam sebentar, ''Kau cemburu?''. Aku segera sadar akan omonganku lalu menutup mulutku dengan kedua tanganku. 

''Tidak, cepatlah pergi keruanganku. Dan bawalah buku bukumu itu. Sekarang''katanya dengan ketus. Ia terus menyeruput kopi hitamnya itu hingga aku berjalan meninggalkannya. 

Aku mengambil buku bukuku yang masih berada di box dekat Jam Besar itu. Kata kata 'Kamu Cemburu' itu masih terngiang ngiang di kepalaku. Terus muncul hingga pintu berwarna hitam itu tertutup rapat. Ini memang ruangan Dony, tetapi masih ada bau orang lain disini. 

Siapa?

Dony membanting kedua pintu hitam itu lalu berjalan dan duduk di kursi hitamnya itu. ''Kita belajar apa?''tanyanya. ''Aku tidak tahu, menurutmu?''tanyaku. 

''Kita akan belajar Matematika.''katanya sembari membetulkan kacamatanya. Ia membuka lembar demi lembari buku Matematikaku itu. 

''Apakah kita bisa belajar selain itu. Aku ingin pelajaran yang berhubungan dengan praktek langsung?''godaku. Aku menatapinya tajam bagaikan elang yang sudah mendapatkan mangsa. 

''Ya, IPA. Kau suka IPA?''senyumnya dengan nada sok mengerti. Sembari mencari buku IPA di tumpukan buku buku membosankan milikku. 

Sepertinya dia tidak mengerti apa maksudku.

''Bisakah kita bermain saja?''bosanku. ''Kau tidak mau belajar?''tanyanya sembari behenti mencari buku IPA-ku itu. Aku mengangguk. 

''Baiklah!''. ''Ambillah permainan yang ingin kamu mainkan''senyumnya. Aku senang bukan kepalang yang membuatku berlari kegirangan keluar ruangan, mencari permainan kartu dan dua bungkus makanan ringan 'Pocky'.

''Kau ingin bermain apa?''senyumnya. Aku memberikannya kartu remi dan 2 bungkus pocky. Kuharap sekarang ia tahu apa yang aku maksud.

''Ooh kamu ingin bermain kartu''tebaknya. Aku mengangguk. ''Dan jika menang kau bisa mengambil pocky dengan rasa yang kita mau!''katanya bagaikan orang yang sudah menyelesaikan masalah.

Hah?

Aku hanya menganguk angguk saja daripada membuatku malu. Seharusnya cowok yang harus sadar duluan! Aku suka padanya. 

Kami terus bermain hingga Dony terlelap di ruangannya. Aku mengecup keningnya. Aku menengok keluar melewati jendela besar dari ruangan Dony.

Dimanakah mobil sedan itu?

Lalu aku sempat menyadari bahwa pohon besar itu tiba tiba menjadi pohon mati. Dan disebuah ranting besarnya itu ada sesosok wanita yang tergantung di ranting itu. Lalu ia menyeringaiku, dan menghilang.

Tiba tiba ada yang memegang pundakku.

Aku takut!

''Sedang apa kamu?''sahut Dony. Aku menengok kebelakang sembari tersenyum lebar, memberitahu jika aku tidak apa apa. 

Tetapi yang aku temui hanyalah sesosok wanita penuh darah yang menyeringaiku. Tangannya menjalar berusaha mencekikku. Aku menjauh dan wanita itu terus mendekat. Terus mendekat. 

Entah mengapa ketika sadar aku sudah berada di kamarku yang bercat putih pudar itu. 

Apa maksudnya? 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 19, 2013 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jam Besar rumah TuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang